Genangan Air


by Darminto M Sudarmo


SORE ini, merupakan penerbangan Dody yang kesembilan ratus dua puluh lima. Ia tetap menggunakan pesawat dari perusahaan penerbangan yang sama. Melintas di atas ketinggian 75.000 kaki dari Jakarta - Yogyakarta, atau sebaliknya. Di dua kota itu ia memimpin beberapa perusahaan. Dalam seminggu tak kurang dari empat kali penerbangan. Bulan Oktober, baginya merupakan bulan yang menyenangkan. Setidaknya cuaca saat itu tidak terlalu buruk.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Anak Penyamun di Sarang Perawan


by Darminto M Sudarmo

Tengah malam gelap pekat! Nampak dua sosok bayangan hitam bergerak amat gesit. Yang satu berperawakan jangkung tegap, satunya lagi jangkung membungkuk. Bayangan-bayangan itu mengendap bagai dua ekor kucing mengincar tikus. Sesekali terdengar bisikan mereka. Pada kali yang lain terlihat gerak-gerak tangan mereka saling memberi isyarat. Setelah itu keaadaan semakin sepi menggigit.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sang Waktu


by Darminto M Sudarmo


Seperti ada yang mengajak aku berlomba, ketika aku duduk tidak mengerjakan apa-apa. Menopang dagu, melepas lamunan melintas dimensi tanpa tepi. Angin kubiarkan saja bertiup. Ombak kubiarkan saja bergolak. Dan sepi terus saja bertengger. Bukan hening, bukan eling, tapi kekosongan dan kesia-siaan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Ajur-ajer


by Darminto M Sudarmo


SAMBIL melintas waktu, aku hidup sebagai apa saja. Udara, zat, botol, air, kopi, uang, orang, kebo, peluru, bus, becak, atau bom sekalipun. Dimensiku tanpa tepi. Kecepatan berubahku bisa secepat mimpi dan kelambatan perubahanku bisa seajeg keabadian.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Yang Tersingkir


by Darminto M Sudarmo

DI kamar yang agak lembab dan sempit itu, terdengar batuk Pak Kasman melengking bertubi-tubi. Batuk yang melekat lengket di usianya yang lebih dari setengah abad. Usia tua yang kata orang seringkali akrab dengan berbagai macam penyakit.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Guru dan Murid


by Darminto M Sudarmo

SEBAGAI guru muda yang masih bujangan, saya merasa tak bisa membohongi diri. Saya telah tejerat benang asmara pada salah seorang siswi; murid saya sendiri. Anak itu cantik dan manis dengan rambut menggerai sebatas bahu. Kulitnya kuning dan halus dengan tinggi badan yang amat serasi. Dan lagi, sinar matanya itu! Sering saya lihat menerawang jauh seraya mengerutkan alis dan memancarkan gelombang perasaan yang sulit diterka. Saya sering menghela nafas jika mengingatnya dalam keadaan demikian.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sang Guru


by Darminto M Sudarmo


            MENJELANG tahun ajaran baru!
            Seminggu ini, saya telah menerima lima orang tamu yang mempunyai maksud sereba aneh. Salah seorang yang bertamu sambil memperkenalkan diri dengan nama yang masih asing di telinga saya; berkata dengan suara renyah dan penuh keakraban.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tukang Cukur


by Darminto M Sudarmo

            DI sudut kota, dekat sekali dengan tumpukan sampah yang menggunung aku buka praktek. Letak yang kupilih, atau lebih tepat terpaksa kupilih, memencil. Hampir diabaikan orang. Tenggelam oleh raksasa gedung dan belantara teknologi. Meskipun demikian, aku merasa tak ada alasan untuk mengeluh.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Ciuman Maut Raden Antarja


by Darminto M Sudarmo

Senja itu udara diliputi mendung. Tak ada angin bertiup sepoi-sepoi basah. Yang ada desiran angin puyuh. Menerbangkan rumput kering menumbangkan ranting-ranting lapuk. Pada saat demikian, biasanya orang enggan ke luar rumah. Lebih enak tidur menekuk kaki memeluk guling. Atau tiduran berselimut bulu domba (jika punya). Tapi tidak demikian halnya dengan Raden Antarja, si putra Bima yang sulung ini. Dia baru saja lulus dari pendidikan militer yang maha dahsyat. Hasil gemblengan kakeknya sendiri Prof. Antaboga yang punya istana di bawah tanah.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Iklan Duka Lara


by Darminto M Sudarmo

Di senja yang ramah itu saya menikmati kue dan teh manis di kebun samping rumah. Cuaca memang terasa nyaman, meski sebentar lagi malam siap membungkus dengan kegelapan. Saya duduk pada bangku malas yang telah saya rancang sedemikian santainya, sehingga membuat siapa saja yang duduk dapat lupa berdiri. Beberapa rimbunan bunga-bunga di kebun itu gemersik kala angin senja mengkili-kili dan menggoyang-goyangkan dedaunannya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Buruh Bangunan


by Darminto M Sudarmo

SEKARANG, tak ada lagi Bandung lautan api. Yang ada Bandung lautan kendaraan. Jika Anda pendatang baru, belum lengkap rasanya mengenang Bandung bila Anda belum pernah kesasar. Jalan-jalan di Bandung memang istimewa. Punya daya pikat luar biasa untuk membuat pendatang baru kesasar. Semakin sering orang kesasar, semakin indah rasanya melahap pesona kota ini.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Balada Si Anak Tunggal


by Darminto M Sudarmo

Demi Tuhan, izinkanlah aku bilang, bahwa akulah anak yang paling bahagia di dunia ini. Umurku baru delapan belas tahun. Tak punya kakak tak punya adik. Akulah si anak tunggal. Akulah yang menjadi raja di rumah orang tuaku. Mereka terlalu sayang padaku. Mereka terlalu cinta padaku. Karena aku anak tunggal. Karena aku anak yang punya tunggul satu-satunya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kalabendana Gim


by Darminto M Sudarmo

BUNYI bolduser yang dinaiki Ditya Kalabendana meraung-raung seperti teriakan orang kesurupan setan. Saat itu otak Kalabendana nyaris teler. Pelipisnya benjut kena pukulan Angkawijaya, sakitnya tak karuan. Sebentar-sebentar terasa nyut … nyut … nyut. Kontan saja kendaraan yang dinaiki sebentar oleng ke kanan, sebentar oleng ke kiri. Dan manakala dia sampai di daerah yang lapang, buldoser itu langsung berputar-putar membentuk lingkaran atau kadang angka delapan. Anehnya si Kala yang bendana ini kelihatan senyum-senyum sambil memperlihatkan baris-baris giginya yang yellow sweet.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Uang


by Darminto M Sudarmo

Senja yang kuning  itu Senjaya nampak memperlihatkan wajah yang lumayan cerahnya. Berkali-kali dia cengar-cengir sendiri. Lalu tengok kanan kiri. Lalu ketika diketahuinya tak seorangpun di sekitarnya, dia berjingkat mempercepat langkahnya. Ingin dia bisa sampai rumah secepat mungkin.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Diplomat Kresna Ngamuk


by Darminto M Sudarmo

Kurang lebih sekitar pukul tujuh pagi, persidangan tingkat tinggi di Wirata resmi dimulai. Hadir pada acara penting ini antara lain Prabu Matswapati, Prabu Kresna. Yudhistira (Prabu Puntadewa), Bima , Arjuna, Nakula dan Sadewa. Fokus permasalahan yang tengah digarap adalah sekitar pengingkaran janji dari Prabu Duryudana yang hingga kini kesediaannya untuk mengembalikan negeri Astina pada yang berhak, yakni Pandawa, belum juga dilaksanakan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Penipu Tertipu


by Darminto M Sudarmo
 
Pulang kuliah dua saudara kembar, Ditya Kalasrenggi dan Ditya Srenggisrana langsung menghadap ibunya dengan sikap uring-uringan. Tas dan buku yang mereka bawa, dilempar di sembarang tempat. Sepatu yang mereka pakai, terlebih dulu mereka benamkan ke dalam got lalu diinjak-injakkan ke kasur yang bersprei putih. Bajunya pun juga dirobek-robek menjadi serpihan-serpihan. Beberapa kaca jendela dan genting rumah juga mereka pecahkan, hingga menjadi puing-puing yang tak mengenakkan hati.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sang Pelukis


by DarmintoM Sudarmo

Masih pagi sekali saya sudah siap di depan sebuah bangunan yang lumayan antiknya. Duduk menunggu pintu pagar dibuka oleh seorang pembantu. Di depan, saya tak bisa duduk dengan santai karena tak sebuah tembok pun yang terjangkau pantat saya. Di samping bentuk pagar yang cenderung bergaya Spanyolan, juga terangkai benda-benda yang bisa menyakiti manusia, jika orang nekat meletakkan pantatnya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

The Woman Driver


by Darminto M Sudarmo

It was a stinking hot day, with the sun burning down relentlessly and dense clouds of dust whirling about, as everybody tried to fan away the choking pollution.

Srikandi kept her cool as she sat astride her motorbike. She was the only woman in the group, and she was also the only women who made her living driving an “ojek”. An “ojek” was a motorbike commonly used in Indonesia to transport passengers cheaply.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Ani dan Rose


by Darminto M Sudarmo

Hardi mengetuk pintu berkali-kali. Sepi. Tak ada sahutan dari dalam. Ia menghela nafas berulang-ulang. Peluhnya masih berleleran di sekitar dahi. Denyut jantungnya juga berdetak tidak keruan. Aneh, pikirnya, malam Minggu begini kemana si Ani? Kemana orang tua Ani? Tapi lampu yang tak begitu terang tetap menyala dengan kelengangan rumah. Tergantung di ruang tamu sendiri.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sang Pemabuk

by Darminto M Sudarmo


“Hoah  ha….ha…..ha…..ha…..! Lengkaplah sudah hidupku! Minum….merenung…..membual…..mengejek…...menghibur diri! Hi….hi….hi….semua sudah aku jalani! Tinggal apa lagi…..? Hidupku sudah puas…..biar tanggal dua lima kiamat! Biar tanggal tiga belas kiamat……! Biar esok pagi kiamat! Aku sudah tak rugi! Nyem….nyem….nyem….nyem….!” Lelaki itu meremas leher Martini dengan mesra. Menciumnya dengan penuh gairah. Kemudian menimang-nimang penuh rasa kecintaan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

The Generous Man

by Darminto M Sudarmo

Mr. Gembrul was the richest man in my village. He had a nice house, surrounded by a wall that was topped by spiky shards of glass. He also owned large rice fields. He owned not just one or two cars, but several. Unfortunately he was also very tight-fisted. His house was always locked and looked haunted. No neighbors ever visited the house unless they had a very good reason.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Lurah Desa

by Darminto M Sudarmo

Seorang gelandangan tua berjalan terseok-seok sambil membawa sebuah bungkusan besar. Tak ada yang tahu apa isi bungkusan itu (selain saya yang membuat cerita). Wajahnya keruh, mulutnya berkali-kali mengucapkan kata-kata : Masya Allah…. Hampir tak terhitung lagi. Sebelah tangannya yang memegang tongkat dengan gemetaran itu, berlelehan keringat panas dingin yang telah membasahi sebagian lengan bajunya yang telah robek dan bertambal sulam.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Nostalgia Terminal Pulogadung

by Darminto M Sudarmo 


Biar siang biar malam, biar hujan biar panas, Parmin tak mungkin bisa melupakan sebuah pengalaman manis (manis sombong) yang pernah dialaminya beberapa waktu lalu. Sebagai seorang wiraswastawan sejati yang masih bujangan, Parmin selalu merekam baik-baik setiap kenangan asyik yang sempat mampir ke benaknya. Kenangan yang berawal dari terminal Pulo Gadung, Jakarta.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Angkawijaya Kawin Lagi

by Darminto M Sudarmo


Tidak ada hujan tidak ada mendung kok terdengar suara geledek apa nggak aneh? Hayo siapa bisa nebak apa sebabnya? Tidak ada? Ugh! Teka-teki segitu aja tidak bisa. Gampang, sebabnya tak lain dan tak bukan selain ini, kebohongan kaum lelaki! Bagaimana mungkin? Begini ceritanya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Fitnah Tante Sarpakenaka


by Darminto M Sudarmo

Sudah bertahun-tahun dihabiskan Rama dan Shinta untuk berbulan madu di hutan belantara. Tak terasa hampir sepuluh tahun kurang lima bulan lewat dua hari selisih empat jam lima puluh menit. Kemesraan mereka berdua luar biasa romantisnya. Sebab selalu aman dari gangguan siapapun. Di samping di hutan memang tempatnya sepi, juga ketenangan mereka berdua semakin terjamin, karena dijaga oleh Lesmana, adik Ramawijaya.
“Apakah kau masih tetap betah tinggal di hutan ini dinda…?” kata Rama suatu hari memancing pembicaraan Shinta. Sebab meskipun telah bertahun-tahun hidup di hutan, ternyata Shinta masih saja menampakkan wajah ceria, tak pernah mengeluh dan selalu setia pada suami. Padahal kalau ditilik dari silsilahnya, Shinta putri seorang raja besar, dan biasa hidup enak di kerajaan.
Mendengar pertanyaan suaminya yang agak aneh itu, Shinta hanya menjawab singkat sambil tersenyum.
“Asal bersama kanda, dinda tetap betah diamanpun berada.”
“Sungguh…?”
“Kenapa tidak? Apa sepuluh tahun masih kurang bukti?”
Rama manggut-manggut, lalu memetik setangkai bunga menur dan diselipkan disela-sela beha Shinta.
“Tapi dinda….kenapa selama ini dinda tak pernah marah atau ngambeg…?”
Shinta yang ganti manggut-manggut. Tapi toh dia tak bisa menyembunyikan senyumnya. Maka berkelebatlah warna putih cemerlang dari deretan giginya yang seperti kapur tulis dan setiap hari selalu digosok dengan pasta gigi Serabutdent.
“Kanda sungguh lucu hari ini…apakah ini suatu firasat bagi kita…?”
“Lho…kenapa sampai firasat segala…?”
“Iya dong. Menurut kenyataannya jika seseorang sering aneh-aneh atau tiba-tiba mokal-mokal, padahal sebelumnya tak pernah, biasanya ada sesuatu yang luar biasa bakal terjadi.”
Mendengar penuturan bininya itu Rama tak dapat menahan ketawanya, ia sampai terkentut-kentut. Bahkan pula Lesmana yang berada dalam jarak kira-kira sepuluh meter, sampai kaget dibuatnya, mendengar kentut Rama. Sehingga sebagaimana yang sudah-sudah jika dia mendengar sesuatu yang mencurigakan, segera dia pasang kuda-kuda.
“Kanda Rama….! Saya mendengar suara yang mencurigakan, bolehkah saya menyelidiki…?”
Rama menghentikan tawanya lalu menyahut dengan nafas tersengal-sengal. “Tidak perlu dinda, kau tak akan pernah berhasil menyelidiki suara yang mencurigakan itu.”
Selamanya Lesmana selalu patuh pada kakaknya, maka dia lalu diam saja dan yakin akan perkataan kakaknya yang sakti dan waspada itu.
Rama lalu memandang bininya dengan muka lucu.
“Kau hari ini juga aneh dinda…?”
“Aneh…?”
“Ya, seperti tukang ramal!”
Keduanya lalu sama tertawa. Shinta menyubit Rama, Rama mencolek Shinta. Cubit colek makin meningkat. Dan karena gemes, Shinta terus menyerang Rama dengan cara mengkilik-kilik bulu ketiak suaminya yang terkenal peka itu. Rama menggelinjang-gelinjang seperti ketek ogleng.
“Aduh! Kapok deh mam. Sudah mam! Papa nggak nakal lagi deh.”
“Ayo janji tidak akan macem-macem lagi…!?”
“Iya deh.”
Shinta menghentikan agresinya. Tapi dasar Rama suka curang, begitu Shinta diam, langsung dia terkam. Akibatnya….? Shinta kaget dan hampir menjerit. Tapi lagi-lagi Rama memang lihai, sebelum mulut Shinta sempat membuka telah lebih dulu dia tutup dengan mulutnya. Sehingga beberapa detik kemudian terdengar sebuah suara yang khas dan terdengar nyaring, terutama bagi telinga Lesmana. Sikap sekuriti yang patut diandalkan dari Lesmana segera bekerja. Nalurinya segera memerintahkan waspada! Itu barangkali suara yang mencurigakan dan akan mendatangkan bahaya!
“Kanda Rama! Saya mendengar sebuah suara yang amat mencurigakan dan terdengar berulang-ulang. Bolehkah saya menyelidiki….?”
Rama kaget, tapi dengan sedikit jengkel dia menyeka mulutnya yang kebanyakan pelumas lalu berseru.
“Jangan! Apapun yang terjadi sebelum ada komando dari saya kau tetap berjaga disitu. Okey…?”
“Ya deh!”
Lesmana lalu tak ambil pusing dengan suara-suara yang datang dengan gencarnya. Bahkan suara-suara yang khas tadi makin meningkat menjadi suara seperti bunyi langkah kerbau yang berjalan di daerah berlumpur.
Semetara itu, tanpa sepengetahuan Rama dan Shinta, juga Lesmana, diatas mereka ada seorang tante yang bernama Sarpakenaka, adik Prabu Dasamuka dari Alengka, tengah mengendarai pesawat mini yang tak bersuara. Pesawat produk mutakhir yang dirancang sedemikian rupa, bisa sekaligus dipakai sebagai pesiar dan patroli. Kebetulan saat itu Sarpakenaka di samping pesiar juga dapat tugas dari abangnya untuk patroli daerah perbatasan Alengka dan Ayodya. Ketika dia melintasi daerah hutan Dandaka, wilayah Ayodya, dia melihat dua orang manusia lawan jenis, masing-masing berwajah tampan dan cantik tengah bercumbuan dengan asooiinya. Tentu saja ini sangat menarik perhatiannya. Sebab selain dia memang seorang tante gembira, juga seorang penggemar blue film dan buku-buku stensil. Bahkan dia secara rutin berlangganan majalah Play Boy dan Pent House.
Menyaksikan adegan yang mengundang sejuta bayangan itu, tak sadar tante Sarpakenaka mengeluarkan air liur lewat telinganya. Apalagi setelah dia juga menyaksikan tak jauh dari kedua orang itu ada seorang kesatria yang tengah melamun seorang diri. Satria yang satu ini pun tak kalah tampannya, kontan penyakit iseng tante Sarpa kumat lagi. Dia mendaratkan pelan-pelan pesawat pribadinya yang tak bersuara itu, sehingga soal keamanan dan kelancaran rencananya berjalan lancar sekali. Begitu dia turun dari pesawat kontan pula muncul di otaknya bayangan-bayangan cabul yang luar biasa sadisnya. Maklum dia seorang perempuan yang bermuka raksasa, dan berbody atlet. Tapi dengan kesaktiannya yang luar biasa, dia mampu merubah dirinya menjadi seorang putri jelita dalam sekejap saja.
Tante Sarpa yang kini telah jadi putri cantik berjalan dengan gemulai menghampiri Lesmana. Pinggulnya yang penuh, dan payudaranya yang padat montok, tambahan pula kulitnya kuning langsat, membuat dia tak beda seperti seorang bidadari yang baru keluar dari salon kecantikan. Saat itu Lesmana masih juga melamun. Entah apa yang dilamunkannya, mungkin utang-utangnya yang belum terbayar, maklum selama dia ikut mengembara bersama Rama dan Shinta, tak satu pun dari mereka yang bekerja buat menyambung hidup. Makan minum kadang dia peroleh dari tumbuh-tumbuhan. Tetapi yang seringkali adalah bon di warung-warung yang sempat mereka singgahi.
Tante Sarpa memperkeras goyangannya, dan ketika tepat berada di depan Lesmana, ternyata Lesmana masih juga tak memperhatikannya. Maka sambil diiringi kerlingan genit dia berseru.
“E cowok! Godain dong…!”
Lesmana kaget. Tapi dia seperti orang yang baru bangun tidur. Masih bingung.
“Aih…siapa sih kau sebenarnya…?” tanya putri palsu itu.
Lesmana menjawab dengan grogi.
“Aku Lesmana. Pemuda dari negara Ayodya. Kau siapa…?”
“Ah apa perlunya mengetahui aku. Yang jelas aku seorang gadis yang sedang kena sakit asmara. Selama ini aku mengembara dari hutan satu ke hutan yang lainnya, tujuannya adalah untuk mencari pemuda pujaan yang sering kuimpikan itu, tapi ternyata selama aku mengembara itu yang kujumpai bukannya satria atau pemuda bagus dan cakep seperti kau, melainkan monyet-monyet buruk yang banyak gentayangan. Maka mungkin Dewata telah bermurah hati mempertemukan kita. Dan kurasa hanya kaulah yang bisa menyembuhkan penyakitku itu wahai pemuda…”
Lesmana menjawab dengan tenang.
“Wah kalau itu yang kau kehendaki….sorry saja. Aku ini seperti pastur atau pendeta, wadat tidak kawin, sering puasa. Puasa nasi, minum maupun wanita. Kau berwajah ca’em, tapi tingkahmu seperti cewek jagoan eh, maksudku seperti cewek berandalan. Tak bisa jual mahal sedikit juga. Maka kalau pengin cinta, di sana ada kakakku, dia bernama Ramawijaya putra raja Ayodya, mungkin dia mau meladeni cintamu. Nah kudoakan berhasil.”
Tante Sarpa lalu mendekati Rama dan merayu dengan sikap sebagaimana dia merayu Lesmana tetapi apa jawaban Rama.
“Wah, sayang sekali kau gadis masa kini. Cantik dan menarik, tapi ketahuilah, bagiku gadis tercantik di dunia ini bukanlah seperti you, bukan Brijit Bardot, Jen Semor, Rakuel Weh, atau Lidia Kondom, tetapi hanya istriku inilah, Lady Shinta. Nah kalau kau pengin cinta, disana ada adiku Lesmana, barangkali dia mau meladenimu. Sebab setahuku hingga kini dia belum punya pasangan. Mungkin sedang patah hati, atau memang…tak pengin kawin. Cobalah kau dekati, kudo’akan kau berhasil.”
Mendengar jawaban Rama ini, bukan main malu dan gondoknya tante Sarpa. Ia marah kepada Lesmana. Bahkan menurut catatan beberapa ahli psikologi tante Sarpa menderita  semacam penyakit “The big birahi” jika tidak memperoleh saluran, bisa merusak pencernaan dan menimbulkan penyakit maag.
Maka kemarahannya kali ini sekaligus bercampur dengan pemuncakan nafsu berahinya. Maka tanpa peduli soal gengsi dan sebagainya dia tubruk Lesmana dengan darah yang menggelegak. Dia gulat, dia kecup, dia piting, dia jepit. Bahkan kalau bisa dia ingin meremuk leburkan tulang sungsumnya. Mengetahui kegilaan cewek badung itu, Lesmana segera bertindak tegas. Dengan sekuat tenaga dia meronta untuk melepaskan pelukan cewek badung yang sudah mata buat eh, mata buta itu. Usahanya berhasil. Tapi cewek yang tak punya rasa malu itu terus menerjang dan mendaratkan ciuman mautnya. Lesmana bergerak cepat, ketika cewek itu menerjang lagi, cepat dia tangkap itu tangan lalu dia bekuk. Tante Sarpa tak berkutik. Tapi mulutnya melontarkan berbagai sumpah serapah sekaligus rayuan muluk. Lesmana jengkel, dia puntir hidung tante Sarpa hingga copot. Darah muncrat! Putri palsu itu berubah wajah aslinya, seorang raksasi dan telah tak berhidung. Sarpakenaka meraung-raung dengan sadisnya. Lalu ancamnya.
“He, Lesmana aku adalah Sarpakenaka, putri Alengka, adik Prabu Dasamuka. Perbuatanmu yang kurang ajar ini akan kuadukan padanya. Dan kau akan tahu, bagaimana kalau kanda prabu marah. O…….Mas Karadusana dan Trimurda….tolonglah aku ini…!” dia menyebut kedua suaminya yang dia cintai (ingat, Sarpakenaka seorang poliandris).
Tapi memang Sarpakenaka tidak main-main. Dia mengadukan halnya kepada suaminya dan Dasamuka. Kepada suaminya dia bilang ketika ketemu kedua satria Ayodya itu, dia mau dipekosa beramai-ramai oleh Lesmana dan Rama. Tentu saja dia menolak. Tetapi setelah kedua satria itu tak berhasil, dia disakiti, yaitu dipuntungi hidungnya.
Mendengar laporan palsu ini, yang dianggap benar-benar oleh kedua suaminya, tak bisa tidak membuat darah kedua suami itu meloncat samapi langit saf tujuh. Mereka marah besar. Lalu sekali perintah telah siap pasukan sebanyak satu laksa terbang menuju Dandaka. Tapi gerombolan raksasa itu cuma dalam sekejap bisa dibasmi oleh Rama dan Lesmana.
Mendengar kegagalan suaminya, Sarpakenaka makin uring-uringan, lalu dia lapor kakaknya. Mula-mula Dasamuka kurang tertarik. Namun dengan kelihaian Sarpakenaka yang diantaranya mengetahui kelemahan Rahwana (Dasamuka, yang diantaranya gemar wanita cantik) segera Sarpakenaka berkata.
“Mas Dasa…sebenarnya kalau mas mau menolong saya, bukannya mas telah dapat menumpas musuh bebuyutan Alengka, tetapi sekaligus mas bisa merebut istri Rama yang bernama Shinta. Wuah! Cantiknya selangit deh!” Dasamuka terdongak, cuping hidungnya kembang kempis.
“Apa betul itu Sar…?”
“Kapan saya pernah berbohong kepadamu mas…?”
“Oke kalau begitu! Aku sendiri yang akan berangkat. Panggilkan Kalamarica ke mari hei jongos!”
Jongos yang dimaksud segera berkelit, menekan tombol aipone dan memanggil dengan gaya seorang tuan. Padahal yang dipanggil itu adalah seorang kapiten dan panglima perang Alengka bagian wilayah Timur. Tak berapa lama Kalamarica datang. Dasamuka lalu membisiki sesuatu ke telinga Kalamarica. Kalamarica manggut-manggut. Saat itu Sarpakenaka tak tahu bahwa kakaknya cuma tertarik untuk menggaet ceweknya doang. Dan tak peduli dengan dendam adiknya.
Syahdan, siasat Dasamuka dengan cara merubah Marica menjadi kijang kencana untuk memikat Shinta sehingga meminta kepada Rama untuk menangkap binatang itu. Rama makin terpisah dari Shinta, sebab kijang palsu itu sulit sekali ditangkap. Akhirnya Rama memanah dan kena. Si Marica pura-pura teriak dengan cara menirukan suara Rama yang seolah-olah minta tolong. Mendengar itu Shinta segera memerintahkan Lesmana untuk membantu kakaknya yang mungkin dalam bahaya. Lesmana menjelaskan bahwa teriakan itu bukan berasal dari suara Rama. Shinta tak mau mengerti, bahkan menuduh kalau Lesmana mau menyenangi dia, sehingga tega membiarkan kakaknya dalam bahaya. Kesalah pahaman semakin meruncing, Lesmana terpaksa meninggalkan Shinta sendirian, karena dituduh yang nggak-nggak.
Pada saat Shinta sendirian itulah Dasamuka merubah diri menjadi seorang tua renta yang penyakitan dan seolah tak kuat lagi berjalan. Dia mendekati Shinta, sambil merengek seperti kucing kedinginan. Shinta jatuh kasihan dan bermaksud menolongnya, tapi begitu tangannya menggapai segera diserobot dan dibawa terbang oleh Dasamuka dengan pesawat supersonik. Singkat cerita, sampai sahabat ayah Rama yang berupa burung Jatayu mau menolong tak juga berhasil. Bahkan menemui ajal setelah ketemu Rama dan Lesmana, dan memberitahu siapa yang menulik dan dibawa kemana.
Sejak itu Rama menjadi linglung, sering ndoyong, sering gandrung merayu pohon-pohon, batu-batu, yang dianggap istrinya. Bahkan sering melarikan frustrasinya ke arah minum-minuman (bukan minuman keras! Melainkan air sungai dan telaga). Rama terkadang menari-nari seperti orang gila dan menagis tersedu-sedu jika teringat istri yang amat dicintai itu. Lesmana kian cemas, maka suatu hari dia memerlukan membawa Rama ke seorang psikiatri. Sejak itu keadaan Rama agak mendingan. Bahkan sejak dia merasa mendingan itulah dia mulai mencanangkan sebuah perang besar yang dalam waktu dekat atau jauh pasti terjadi. Perang besar buat menggulung habis rezim Dasamuka yang serakah dan haus wanita dengan mengerahkan jutaan balatentara berupa monyet-monyet. Dari mana Rama bisa tahu sesuatu yang belum terjadi itu….? Ya dari saya dong. Nah!
Dong crek!…..crek…..crek….ning….nong….ning….gung! gung gung genjur!
Bubar !

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Telepon

by Darminto M Sudarmo 

Tengah malam tepat, ketika aku sedang asyik-asyiknya mendengkur, telepon di sampingku berdering. Kriiiiiinggg…kriiiiing…..kriiiiiing!! dengan mata kuyu dan jantung berdenyut-denyut karena keqinya nggak ketulungan, aku sambar tangkai telepon.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Penglaris


by Darminto M Sudarmo


Engkoh Chui Lan Bhak Phao duduk menopang dagu dengan muka seguram sore itu yang hitam legam bak mendung mencaplok langit biru. Dahinya berkerut-kerut seperti ukiran Jepara kelas satu. Sinar matanya redup seperti minyak kehabisan pelita (eh, sumbu kehabisan minyak!). Pikirannya menerawang jauh, jauh sekali! Sang bini, Cik Lan Thang tak kalah gelapnya. Sehari penuh dia telah berhasil menyumbat mulutnya untuk tidak ngomong pada siapapun. Maka total kopral marsekal, sehari itu restoran yang sekaligus merangkap rumah tempat mereka berdagang berbagai macam minuman plus makanan, telah mencapai rekor tersepi di deretan restoran yang mangkal disitu. Tak seorang pun manusia nylempit jajan! Bayangkan? Buat diapakan tuh makanan masak segudang penuh?!
“Kalau wegini telus-telusan, jangan tanya lagi, owe pasti bisa wunuh dili mah!” kata suaminya membuka percakapan.
Sang bini tak bereaksi. Melengospun apalagi! Cemberut dan semakin kusut.
“Coba pikilkan! Owe udah keluar modal. Owe udah wanyak keluar duit! Tapi mana keuntungan? Mana labanya? Jangankan untung, kembali modal aja sulitnya nggak ketulungan. Aduh thian! Kalau wegini terus-terusan owe bisa bangklut! Hu…hu…hu…!” Engkoh Chui tak kuasa menahan kalutnya, sehingga diseling-seling sesambatnya yang menggunakan bahasa Indonesia versi Mandarin, dibumbui sedikit bahasa daerah, muncratlah air matanya seperti air terjun. Karena semakin lama menangis semakin banyak air keluar nerocos, maka sang jongos yang setia dengan gesit meraih mangkok bakso dan meletakkan di depan Engkoh Chui. Selang lima menit kemudian, penuhlah mangkok itu berisi air mata. Engkoh Chui tak menyadari itu, maka ketika selesai menangis dia merasakan tenggorokannya kering dan sangat haus. Kontan tanpa menunggu ha atau hi, dia comot mangkok itu dan diminum dengan penuh rasa segar. Sejenak dia merasakan sesuatu kemukjizatan. Perasaannya tiba-tiba sangat terang dan cemerlang! Oh! Owe tak seharusnya tak sesedih ini, ya owe tak seharusnya berlarut-larut dalam kesedihan ini. Owe, musti cari jalan keluar! Katanya dalam hati dengan penuh keyakinan.
Sementara itu Cik Lan ketika mengetahui suaminya telah berubah wajahnya, dan sering cengar-cemgir sendirian, tentu tak ada lain dugaannya. Bahwa Engkoh Chui telah jadi sakit ingatan. Oleh sebab itu ketika Engkoh Chui mendekatinya dengan sikap mesra, Cik Lan buru-buru mengelak dan penuh ketakutan.
“Mamah, aku telah menemukan jalan keluarnya mah!”
“Sebodo! Mau jalan keluar kek, mau jalan ke dalam kek, terserah kamu!”
Engkoh Chui kian mempermesra sikapnya. Cik Lan kian takut saja. Karenanya adegan di restoran itu jadi terlihat unik. Engkoh Chui mengejar istrinya untuk memberi pengertian, sementara Cik Lan semakin memperkencang larinya untuk menghindari suaminya, jangan-jangan akan mencelakai dirinya. Adegan kejar-mengejar kian seru. Sedang di pojok Mas Paijo dan Tukinem dua pembantu yang sama-sama konyolnya, cuma menyaksikan adegan itu seraya melempar senyum. Dan diam-diam mereka menyantap beberapa hidangan nikmat, yang dikuatirkan akan mubazir!
“Aneh Nem, kita bukannya ikut prihatin melihat tauke kita berantem dan dagangan sepi, tapi malah enak-enak nongkrong sambil memanfaatkan kesempitan di dalam kesempatan.”
Sambil mengunyah Tukinem menyahut.
“Itu urusan majikan. Urusan kita sebagai pembantu ya, pembantu. Pokoknya kamu jangan mengelak-elak, kita sambung lagi omongan tadi, kapan kau mau mengawini aku? Itu saja yang penting dan segera ingin kudengar pengakuanmu.”
“Kawin?”
“Iya dong! Kamu jangan main-main. Lihat nin, jari ini!”
“Apa lagi dengan jarimu?”
“Hitung tolol! Belagak bego aja kamu. Coba hitung!”
“Satu…dua…tiga….ya, tiga. Apa artinya tiga?”
“Apa artinya tiga?!! Kau sungguh bikin aku mau nagis aja! Tiga itu artinya tiga. Kita sudah tidak berdua lagi! Kita sudah bertiga. Ngerti nggak?!!” Tukinem meninggikan suaranya.
“Iya, aku ngerti, tapi siapa dong yang satunya itu?”
“Yang satunya ini monyong! Perut ini yang satu.”
“Iya aku juga tahu perut kamu memang satu.”
Tukinem marah bukan main, dia raih pisau daging, seraya mengancam dengan sengit.
“Pokoknya kalau kau tak mau mengawini aku, maka sekarang juga aku akan menghabisi nyawaku.” Tukinem berkelit, Paijo kaget bukan main, dia melompat mengejar.
“Tunggu Nem…! Nemmmm! Tunggu!”
Tukinem berlari, Paijo mengejar. Mereka kejar-kejaran di restoran itu juga. Sehingga menurut catatan data statistik, diruangan itu ada dua pasang manusia yang tengah mengadakan sebuah acara unik. Yang persis nampaknya tapi berbeda motifnya.
“Mamah…cobalah kau mengerti sedikit. Kendalikan amarahmu, jernihkan dulu kau punya otak.” Engkoh Chui berkata dengan nafas ngos-ngosan. Jantungnya berdegub laju.
“Alaaa banyak mulut doang! Biarkan aku sendiri, jangan ganggu…aku ngeri! Ngeri….!”
Dua sosok bayangan lain melingkar diantara mereka.
“Nem! Tunggulah Neem” kau harus bisa bersabar sedikit. Perkawinan itu bukan main-main. Kita harus punya bekal yang cukup…”
“Alaaa gombal! Bertele-tele! Kalau mau, mau. Kalau tidak, tidak! Kasih ketegasan dong, biar nyawaku nggak penasaran dan menkaut-nakuti kau terus. Ayo yang sportif dong!”
Perasaan Paijo seperti diaduk-aduk mendengar perkataan Tukinem. Sedih, cemas, tapi juga geli bergalau menjadi satu. Akhirnya dipuncak kesabarannya dia tubruk kuat-kuat bayangan Tukinem yang berkelebat didepan keningnya. Dan Auuuuu! Paijo menangkap sosok tubuh kuning langsat dan mulus. Hati Paijo agak tenteram karena tubuh yang dia tubruk itu tak berusaha mengelak.
Sementara itu, Engkoh Chui yang sudah tak sabaran lagi untuk memberitahukan rencananya mengenai program selanjutnya bisnis mereka, menjadi kian ambisi berdekat-dekat dengan bini tersayang. Dia tangkap dengan kedua tangan terbuka tubuh bininya yang semampai itu, dengan perasaan penuh kasih, ketika bayangan tubuh bininya berkelebat didepan bibirnya. Dan Auuu! Engkoh Chui menangkap sesosok tubuh hitam manis dan berambut panjang tergerai. Perasaannya pun menjadi kian tenteram karena tubuh yang dia tangkap tak berusaha mengelak. Apalagi protes!
Saat itu, antara Engkoh Chui dan Paijo tengah dilanda perasaan yang sama terhadap seorang wanita yang dicintainya. Akhirnya sebagai realisasi dari perasaan hati seorang Adam terhadap lawan jenisnya, mereka segera menumpahkan kerinduannya. Mempertemukan lip dengan lip dengan penuh perasaan bergairah. Konon menurut laporan tokek dan cicak serta tikus yang sempat mengcover peristiwa itu, acara pembersihan bibir itu sempat berlangsung beberapa menit dan berjalan teratur tanpa huru hara maupun kegaduhan yang berarti. Tetapi beberapa menit kemudian ada sesuatu perubahan yang amat mendadak. Sampai-sampai seekor kucing yang tengah mendengkur di emperan tiba-tiba terlonjak bangun. Sebab Cik Lan berteriak nyaring sambil mendelik. Sebab Paijo berteriak nyaring sambil melotot. Sebab Tukinem berteriak nyaring sambil mendelik. Sebab Engkoh Chui berteriak nyaring sambil pura-pura mendelik. Sebab saat itu sudah pukul tujuh petang. Sebab saat itu mereka lupa menyalakan lampu.
Tetapi karena penghuni tempat itu adalah pribadi-pribadi yang unik dan khas, maka kejadian semacam itu bisa dianggap sebagai kesalahan teknis belaka. Kesalahan teknis adalah suatu hal yang wajar di Indonesia.
“Sudahlah….yang sudah ya sudah! cuma owe minta kalian semua dengarkan owe punya bicara ini. Khusus untuk mamah, begini…kita sudah lama buka restoran ini, tapi sampai saat ini kita punya waktu, ternyata kita belum memperoleh keuntungan yang berarti. Kadang kita jadinya ngiri ama restoran tetangga sebelah yang luarisnya nggak ketulungan. Semula owe pikir-pikir, apakah soal kelezatannya yang kita kalah, atawa soal serpisnya yang kita kurang bonapit, semua telah kita coba dan usahakan persis menyamai restoran tetangga itu, tapi apa nyatanya? Restoran kita tetap tidak bisa selaris yang dia punya. Owe jadinya pusing dibuatnya. Owe pikir tentunya pembeli-pembeli itulah yang bodoh-bodoh, karena nggak bisa membedakan  mana barang yang baik, dan mana yang yang kurang baik. Tetapi pikiran semacam itu cuma bisa hidup beberapa hari di otak owe punya.
Karena itulah owe punya otak terus owe putar. Akhirnya owe jadi ingat sesuatu. Dan sesuatu itu memang amat rahasia, karena hal yang rahasia makanya owe harap lu Paijo ama Tukinem main aja deh kalian berdua di belakang….”
Paijo dan Tukinem saling lirik kemudian undur ke belakang. Tangan Paijo meraih bahu Tukinem. Tukinem mengelak. Tanga Paijo menarik lengan Tukinem, Tukinem mengelak tapi keburu ketangkep. Tukinem melotot, Paijo nyengir.
“Kang cepat jawab dulu kapan…?”
“Sabarlah….”
“Sabar…..sabar! keburu main drumband!”
“Tak usah kuatir, beri sedikit waktu buat berpikir dong.”
“Iya deh, tapi jangan lama-lama ya.”
Paijo tak menjawab. Keduanya lenyap ditelan kegelapan.
Engkoh Chui dan Cik Lan saling lirik, saling melemparkan senyum.
“Rahasia apa tuh pah? Kau jangan bikin gara-gara lagi ya?”
Engkoh Chui meraih bahu istrinya dan mendudukkan bininya dan dipangkuannya. Duilah! Mesra betul, gumam sang bini.
“Sssst mah…dengerin owe bisikan ya?!”
Cik Lan terlonjak, selesai suaminya membisikkan sesuatu. Matanya bersinar terang benderang.
“Eiii pah! Kenapa yah tidak sejak dulu!”
“Iya ya mah! Kenapa tidak sejak dulu!” karena suka citanya keduanya saling tubruk dan saling peluk dengan yahuuuudnya. Tetapi pertemuan kedua suami istri itu terlalu keras. Sehingga tepat disaat pertemuan itu terjadi, terdengarlah bunyi: dug!” dan dua kening sama-sama benjol.
Matahari telah hampir mandi di laut barat ketika kedua laki bini itu tiba didesa lereng gunung Lawu. Sedan yang dibawanya cuma bisa didaerah yang bisa ditembus mobil. Selebihnya naik becak dan jalan kaki.
Setelah naik turun gunung mereka baru sampai di sebuah padepokan yang asri tapi menyendiri, pukul sepuluh malam. Seorang juru kunci (catat, bukan ahli bikin kunci!) yang bertugas khusus di lereng, mempersilahkan mereka masuk. Dan mereka sempat kaget bukan main sewaktu menyaksikan Mbah Dukun yang nongkrong disitu dan buka praktek, ternyata tidak seseram yang dia buka. Orang yang disebut Mbah Dukun itu ternyata sangat tampan dan berusia belum lagi tua. Bahkan berpakaian jas yang rapi bukan main, bak orang kantoran tulen. Dan yang lebih membuat laki bini itu bertambah tak habis herannya, interior ruangan itu disusun sedemikian rupa. Persis hasil karya dosen-dosen seni rupa ITB yang menggarap interior di hotel Horison, Jakarta. Sisi lain terdapat video tape, proyektor film-film blue, kulkas, tivi, radio plus seperangkat komputer mini yang gunanya tak seorang pengunjung pun tahu. Dan ruangan itu diterangi lampu listrik. Bayangkan! Listrik sudah masuk gunung.
“Selamat datang tuan dan nyonya!” sambut Mbah Dukun yang ramahnya seperti orang-orang Yogya. Laki bini itu memberi anggukan. Belum sempat laki bini itu membuka suara, Mbah Dukun itu telah menyerobot lagi.
“Selamat jalan tuan dan nyonya. Terima kasih atas perhatiannya.”
Kedua laki bini itu saling pandang. Engkoh Chui mau buka mulut.
“Tapi…tap…”
“Selamat jalan tuan dan nyonya. Terima kasih atas perhatiannya.”
Kedua suami istri itu saling pandang lagi tak mengerti. Melihat hal itu sang juru kunci  segera memberi isyarat. Dan kedua suami istri itu menurut. Di luar padepokan dia menerangkan.
“Sudahlah Engkoh sama Encik nggak usah risau, sekarang juga musti pulang. Kalau Mbah Dukun bilang begitu, tandanya beliau sudah tahu maksud kedatangan tamunya. Dan permintaannya dituruti.”
Meskipun dengan perasaan heran campur bingung. Mereka toh menurut juga. Diperjalanan pulang keduanya tak banyak cakap. Hanya Engkoh Chui sesekali tersenyum sendiri sewaktu menyaksikan daun-daun hijau didaerah rimbun. Warna hijau itu mengingatkan dia akan sesuatu yang berwaran hijau. Biasanya setiap ada warna hijau berarti tak jauh dari situ tentu ada uang.
Sesampai dirumah mereka mulai kerja keras dibantu dua pembantunya yang setia untuk mempersiapkan hidangan hari itu. Aneh bin ajaib! Restoran itu belum buka, kurang lebih seratus pengunjung telah siap menunggu didepan pintu. Begitu dibuka, kontan brool! Pengunjung melimpah.
Esoknya keadaan lebih yahuuudd. Pengunjung selalu meningkat. Tambah pegawai, masih kuwalahan. Tambah lagi tetap kurang tenaga. Akhirnya lokasi ditingkat lima. Pegawai ditambah sepuluh kali lipat. Beberapa tahun keadaan itu berlangsung dengan menggembirakan.
Tak terasa laki bini pemilik restoran itu sudah punya tujuh anak. Semuanya cewek-cewek. Ayu-ayu pula, yang jelas dibawah Sang Kuang Ling Fung sedikit. Kemewahan yang dimiliki oleh Engkoh Chui dan Cik Lan itu, membuatnya sedikit lupa akan asal-usul keberhasilannya. Maka ketika anaknya yang sulung telah berusia tujuh belas tahun ke atas, si remaja jelita ini pulang sekolah tiba-tiba merasakan kepalanya amat pening. Lalu muntah-muntah. Demikian seterusnya, hingga beberapa bulan kemudian, perutnya membengkak. Papah mamahnya mengamuk hebat. Si sulung ini dituduh ini itu. Akhirnya karena penasaran diperiksakan ke dokter. Hasil pemeriksaan dokter membuatnya semakin kalang kabut. Sebab ternyata anaknya masih perawan. Tetapi anehnya dia betul-betul mengandung. Jadi membengkaknya itu bukan tumor atau sejenisnya. Tepat sembilan bulan bayi mungil keluar dari rahim si sulung. Dan jadilah dia seorang ibu.
Yang lebih mengherankan, sejak kelahiran bayi itu, usaha Engkoh Chui kian melangit dan selalu serba mujur. Tambah mengorbit. Pendeknya hasil kekayaannya untuk beli separo pulau Jawa saja masih tersisa.
Demikian seterusnya, ketika anak nomor dua mencapai usia tujuh belasan juga mengalami hal serupa dengan kakaknya. Sementara kakaknya sendiri tiap setahun selalu melahirkan anak satu. Akhirnya ketujuh anak perawan Engkoh Chui selalu melahirkan anak tanpa suami. Tanpa pernah merasakan prosedur konvensional. Sehingga sampai meninggalnya Engkoh Chui dan bininya, total brutal ketujuh perawan itu telah memproduksi anak tujuh puluh bayi. Sebuah keluarga besar dengan kekayaan yang besar.

Mohon Perhatian! 
Dengan penuh kerendahan hati kami mohon pengertiannya agar tidak meng-copy-paste cerita yang termuat di blog ini kecuali seizin dari penerbit - kombatbuku@gmail.com



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Pacar Terbang


by Darminto M Sudarmo

Namanya orang beruntung pun tidak seberuntung Bob Kliwon. Bagaimana tidak? Dia tergolong pemuda yang serba boleh tepuk dada dalam banyak hal. Boleh pasang taring di mana-mana. Boleh berlagak buat remaja sebaya. Boleh angkat dagu didepan ribuan cewek yang bahenol-bahenol. Boleh pasang tarif didepan jutaan orang tua yang merindukannya sebagai menantu. Pendek panjangnya, dia memang merasa dan menyadari keberuntungannya.
Di rumah Bob Kliwon punya predikat sebagai anak jutawan negeri ini. Makanya kalau orang sempat mengintip ke dompet atau sakunya, maka akan berkelebatanlah lembaran puluhan ribu duit kertas yang melambai-lambai, eh, berdesak-desakkan tidak kebagian tempat.
Dalam dirinya sendiri pun dia punya predikat sebagai seorang sarjana (entah sarjana apa), sebab sesekali dia mencantumkan Drs, dr, DR atau Sh di depan atau di belakang namanya, pada saat menggoreskan tanda tangannya. Dan itu bisa dia lakukan sebebasnya, tergantung selera. Pokoknya tidak ada yang berani menyindir apalagi mengkritik langsung. Dan orang pun tidak ada yang berani utik-utik, bagaimana sejarah prosesnya dia bisa lulus jadi sarjana. Sebab meski soal ilmu pengetahuan kegolong idiot, toh nyatanya bisa lulus dan menyambar titel yang dirindukan remaja modern. Konon walaupun dalam hal yang seperti itu dia lemah, tapi toh syahwatnya tidak selemah yang disangka orang. Sebab dia punya senjata yang kelewat ampuhnya. Senjata yang mampu melumpuhkan rumus-rumus rumit dan bait-bait kebijaksanaan serta kebaikan. Senjata yang bisa menggugurkan iman. Dan tentu saja memang amat mengukuhkan kedudukannya. Yaitu duit. Nah kalau senjatanya yang ini berbunyi : “kreset” bereslah segalanya.
Di samping itu dia juga menjabat sebagai direktur presiden, eh presiden direktur PT. NGRUDA PEKSA, sebuah perusahaan yang diberikan oleh babenya yang tiap hari selalu dilanda kegelisahan dan penyakit bingung. Yakni penyakit bagaimana membuang duit. Bukan hanya sampai disitu, ternyata dia juga diberi keberuntungan lain oleh Tuhan Yang Maha Pemurah, yaitu wajah yang bukan main gantengnya berikut postur tubuh atletis, sehingga dalam sekali lirik jatuhlah seribu cewek cakep ditelapak kakinya. Belum lagi jika mersi taigernya berkelebat bagai kuda putih yang gagah dan elok siap membikin pesona siapa saja yang menatapnya.
Nah, makanya tak sepantasnya kita heran jika dengan segala kebolehan yang dipunyai Bob Kliwon itu dia dalam setiap harinya punya acara rutin untuk mengunjungi pacarnya yang jumlahnya seratus orang, yang bertempat tingal di Sabang hingga ke Merauke. Bahkan sesekali dia juga sempat berpacaran dengan bintang-bintang top Mandarin yang sering nongkrong di Hongkong. Bagaimana dia bisa menggilir kekasihnya yang jumlahnya selangit dan bertempat tinggal terpisah-pisah itu dengan lancar dan aman tentram dan damai? Inilah masalahnya. Bagi dia yang punya duit hingga berceceran di tong-tong sampah, soal semacam itu tidak lantas membuat bingung apalagi pusing. Dikamarnya terdapat sebuah skedul kunjungan pacar berikut nama cewek dan alamat tempat tinggal. Dan jangan kaget, jika nyaris di tiap propinsi atau kota besar di Indonesia terdapat daftar nama kekasihnya. Sebagai misal contoh dibawah ini :
-          Zulaika, Jalan Melati, Banda Aceh parkir dua jam.
-          Bety, Jalan Pahlawan, Medan, parkir tiga jam
-          Reni, Jalan Gonggong, Denpasar parkir dua jam
-          Tuti, Jalan Cekcok no. 13 Jakarta, parkir tiga jam.
-          Rima , Jalan Pleburan raya Semarang, parkir dua jam, dan seterusnya……
Bob Kliwon tersenyum lebar sambil mengkorek korek lubang hidungnya. Dia cengir kesana nyengir kemari sewaktu memandangi daftar skedul wakuncar yang bukan main panjangnya itu. Dia comot sisir, bergaya sejenak didepan cermin lalu menyambar tas ekolaknya yang berisi bungkusan mutiara seharga lima juta. Kado buat Diana malam minggu ini. Beberapa detik dia bicara lewat telepon menghubungi ke air port lalu ngabur ke mersi taigernya.
“Paimin….cepet tancap ke air port, beberapa menit lagi pesawat jurusan Ujung Pandang bulu segera berangkat!”
“Siap tuan muda!” jawab Paimin seraya memasukkan perseneling empat. Dan mersi putih segera melonjak seperti kuda binal.
Waktu belum terlalu malam tetapi juga tidak terlalu sore ketika Bob Kliwon memasuki sebuah pekarangan yang cukup mewah di jl. Hasanudin Ujung Pandang bulu. Langkahnya tegap dan hangat. Dia pencet bel, tidak ada satu detik, Diana langsung menubruknya.
“Duilah! Lama banget Bob baru nongol, Diana udah setengah mati nungguin….” Lalu irama jazz yang tengah mengalun lembut diruangan itu segera diimprovisasi oleh bunyi “ cup…cup…cip…! Dan setelah lebih dari satu jam musik tambahan itu hadir tanpa pemisi dan spontan, langsung keduanya terengah-engah. Diana memandangi Bob dengan mata berbinar-binar karena bahagianya, sedang Bob memandangi Diana dengan mata bersinar-sinar karena kagumnya. Sebab malam minggu itu Diana tak beda dengan  putri yang turun dari kahyangan. Cantik, molek, bahenol, segar dan mengundang kegairahan untuk kelelakian Bob, si play boy romantis yang gemar merayu pacarnya dengan puisi-puisi mbeling. Bob merengkuh bahu Diana dan mendekatkan pada barang yang dibawanya.
“Lihatlah Diana…aku bawa apa untuk kau hari ini. Bisa terka….?”
Diana menggeleng dengan manja seraya menggayutkan punggungnya di dada Bob.
“Bukalah…….ini buat merayakan ultahmu.”
Diana membuka bungkusan dengan mata terbelalak. Setelah mutiara itu dia kalungkan dilehernya, dengan senyum ketulusan dia peluk Bob penuh rasa haru.
“Oh, Bob, hanya kepadamu jiwaku, cintaku, dan diriku kuserahkan,” bisiknya lirih. Bob balas memeluk tak kalah hangatnya.
“Oh, Diana, hanya kepadamu cintaku, hatiku dan diriku kuserahkan.” Lalu keduanya terlibat kemesraan, terlibat cubat-cubit dan senggal-senggol.
Entah bagaimana mulanya Bob tiba-tiba ingin main bilyard. Dia ambil stick, dan Diana segera beranjak mengambilkan bola. Tapi anehnya cuma dua. Maka ketika Bob menyodokkan sticknya yang panjang tepat pada bola itu, meluncurlah si bola dengan gesitnya ke arak lubang. Bola masuk Diana bergegas mengeluarkan lagi dan menyediakan bola ditengah arena. Bob menyodok lagi bola masuk lagi. Diana mengeluarkan lagi. Begitu seterusnya, sehingga setelah keduanya capek, Bob pamit pulang. Di halaman rumah Diana Bob berpikir sejurus, lalu mulutnya nyengir. Bob memanggil taksi lalu meluncurkan diri ke air port. Pesawat yang membawa tubuh Bob mendarat di Surabaya. Bob turun lalu menyewa taksi menuju ke sebuah alamat.
“Hallo Indri…”
Indri tidak menyahut tapi pasang muka agak cemberut dan sedikit cemburu. Bob tersenyum mendekati.
“Jangan dulu marah sayang….kau seharusnya tahu, aku terlalu sibuk belakangan ini….lagi pula….ada sesuatu yang ingin kukatakan….penting deh pokoknya.”
Indri memperbaiki sikap, meskipun mukanya mendung, tapi pada saat begitu, bukan main anggunnya dia. Sikapnya yang tenang dan penuh keibuan itu segera tersenyum penuh arif.
“Apa yang akan kau katakan Bob?”
“Penting deh pokoknya.”
“Cobalah kau katakan….”
“Kau cantik sekali malam ini.” Indri tersipu-sipu, mukanya sedikit merah, kedongkolannya yang bercokol sejak pukul tujuh mendadak lenyap nyap! Tapi Indri cuma menundukkan muka seraya tersenyum kecil.
“Huh! Tukang rayu….!”
“Eh, benar yang kukatakan Dewiku, kau sungguh seperti dewi yang hidup didunia dongeng pada saat memakai gaun putih berbunga kecil-kecil seperti itu. Kau tak percaya? Lihatlah didepan cermin sekali lagi.”
“Aneh memang seakan-akan apa yang dikatakan oleh Bob Kliwon seperti ludah api, artinya besar pengaruhnya dan serba dipercaya. Dan Bob tersenyum kecut waktu menyaksikan Indri segera bergegas ke belakang lalu keluar lagi dengan muka beseri-seri. Sejenak keduanya melepas rindu sambil bercanda tentang utara dan selatan. Dan si Bob si jago rayu tak lupa menyelipkan pembicaraan apa-apa yang ada tentang diri si Indri, sang pujaan hati. Maka tak heran jika Indri bagai dibawa melayang ke dunia fantasi yang penuh kesejukan, dan keindahan tentu saja.
“Eh ya, sebenarnya aku ada usul In, bagaimana kalau jam sembilan ini kita nonton bioskop. Filmnya bagus lho…”
“Apa sih Bob….?”
“The Great Cassanova From The Sky”
“Oh ya itu ditangani sutradara kenamaan dari Itali kan…?”
“Tepat sekali….”
“Okey…oh ya kita pakai mobil papi aja ya Bob…?”
Bob tak menjawab langsung merengkuh bahu Indri.
Di dalam bioskop Indri sering terdengar meronta-ronta halus (entah kenapa,padahal kelihatannya si Bob duduk tenang-tenang disampingnya). Tapi dasar si Bob aktor ulung, maka dalam kebisuannya itulah sesungguhnya dia tengah giat mengadakan aksi bergerilya. Mengadakan gerakan dibawah tanah dengan rumus-rumus seorang trouble maker yang militan. Tambahan pula suasana film yang kian panas itu, membuat kegaduhan halus diantara semua penonton yang memang telah diisyaratkan. Bahwa penonton disamping tujuh belas tahun ke atas juga harus berpasangan. Tak peduli entah itu pacarnya, suami istri atau comot partner sembarangan dijalanan, sebab dikuatirkan dengan film sepanas itu, jika penonton tidak berpasangan bisa usil gentayangan ke tetangga sebelah. Dan ini bisa jadi bibit kegaduhan dan kebrengsekan. Maka pengusaha bioskop telah menetapkan pesan yang cukup bijaksana.
Pulang nonton Bob menyeret Indri ke arah tempat yang agak gelap.
“Ngapain sih musti kesini segala Bob…?”
“Sssst! Tenanglah manis…..”
“Ah, ogah kalau ditempat yang gelap begini!”
“Alaaaa….biar gelap toh segalanya nanti akan jadi terang. Percayalah deh ama Bob.”
Dan memang Bob telah membuktikan ucapannya. Kini Indri menjadi terang akan persoalannya, meskipun sesungguhnya saat itu berada ditempat gelap.
“Sudahlah manis, Bob pulang dulu….”
Indri semula menangis kecil, tapi ketika Bob mendaratkan ciuman mautnya, segala sesal dan duka sekejap sirna. Bahkan Indri sempat pesan agar Bob sering-sering main ke Surabaya. Bob meluncur naik taksi malam dan menginap di hotel yang termahal di kota buaya itu. Sebelum memejamkan mata dia sempat berpikir sejurus tentang acara besok pagi.
Hari minggu pagi cuaca cerah bukan main. Bob Kliwon meluncurkan mersi taigernya menuju ke arah jalan Kebon Kacang 4/29 Jakarta tempat pacarnya yang kesekian memarkir diri. Ketika mobil putih itu membelok dengan manis memasuki ruangan rumah Eny yang mewah, seorang gadis yang kelewat yahuuud telah hampir satu jam menunggu diteras dengan penuh kesabaran. Demi sang pangeran, segalanya bisa dilakukan dengan ikhlas. Tak berapa lama keduanya berpelukan dengan amat mesranya. Saling memupus rindu dendam. Saling cerita tentang hal-hal yang mengasyikkan. Kurang dari satu jam mersi putih itusegera melesat menuju puncak. Bob bernyanyi-nyanyi kecil, Eny bergayut dengan manja di dada sang pemuda.
Tiada hari tanpa cinta
Senin Selasa Rabu Jumat hingga Minggu
Hatiku melaju menembus awan biru
Ya Tuhan, sungguh bersyukur kuucapkan atas rahmatMu

Dan Bob menyelingi siulan-siulan yang berirama rock, blues atau kadang kebaya berganti-ganti. Senyumnya mengembang. Seribu kemenangan ada di tanganku. Seribu keindahan ada di hatiku. Seribu keberuntungan ada di telapak tanganku. Ya, akulah si jantan yang akan selalu hidup dan dikenang seribu wanita. Akulah lelaki dunia yang digandrungi seribu wanita. Si tampan pujaan. Akulah itu tiada lagi yang kan menandingi. Dan tiba-tiba :
“Ciiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit!” rem mersi itu meraung-raung. Seorang anak kecil tiba-tiba dan amat mengejutkan melintas didepan hidung si Bob. Eny si cewek yahud tak kalah pula reaksinya, menjerit histeris.
“Oiiiiiiiii! Mami papi kakek nenek om tante adik kakak!”
Bob dengan sebelah tangannya menggoyang-goyang bahu Eny setelah dengan manis dia bisa mengatasi situasi genting.
“Heh! Apaan lu En….! Satu pasukan lu sebut semua.”
Eny tersadar, lalu geleng-geleng kepala.
“Gue ngeri benar deh Bob. Lu tahu waktu kecil gua pernah diajak orang tua gua ke Bandung. Dalam perjalanan papi gua yang pegang setir pernah nabrak anak kecil yang nyelonong seperti tadi….ih ngeriiii deh!”
“Terus bagaimana nasib anak kecil itu….?”
“Iih nggak bisa disebut lagi.”
“Mati….?”
“Bukan cuma mati, remuk!”
“Tenanglah….bersama gua lu aman deh pokoknya.”
Mobil meluncur terus setelah melewati Ciawi, Cipayung, Cisarua, dan setelah mampir sejenak buat mandi di Cibulan, terus saja ngeluyur ke atas dan akhirnya dengan lembut menyelinap ke sebuah villa yang cukup sejuk dan rimbun. Dan angin terus pula membelai dengan mesra kedua pasangan yang nampaknya memang sedang dilanda kebahagiaan.
Konon kata anak-anak kecil dari tetangga sekitar daerah itu, dua orang muda-mudi itu sering main film disekitar villa yang punya areal luas dan sebuah kolam renang. Mereka biasa menonton dari ujung perbukitan dibalik rerimbunan ketika adegan film itu berlangsung. Kadang memang tak bisa dihindari munculnya film tujuh belas tahun ke atas. Tapi bagaimana lagi, sensor nggak ada. Yang jaga bioskop nggak melarang, mereka tetap merasa aman mengikuti jalannya pertunjukan dari awal hingga the end. Dan biasanya setelah menonton pertunjukan itu mereka pulang dengan perasaan tak menentu. Ada sesuatu yang mengusik  dalam hati. Tapi ada juga rasa kebanggaan. Apalagi ketika bercerita didepan teman-temannya yang lain. Sehingga dari sistem mulut ke mulut itulah dari tiap acara pertunjukan praktis penontonnya selalu bertambah.
Tapi nasib malang rupanya tengah melanda anak-anak kecil itu dipagi yang segar dan penuh gairah, sesaat pertunjukan film berlangsung, nampaknya ada penonton baru  yang tak bisa berdisiplin tinggi, sehingga karena keusilannya itulah kedok yang sekian lama bisa dipertahankan dengan rapi jadi ketahuan. Si pemuda yang sadar akan adanya sesuatu yang mencurigakan segera melempari daerah rawan itu dengan batu-batu kerikil. Tapi berapa lama memang segera ketahuan reaksinya. Tiga anak meraung bersamaan. Kepala mereka pada benjol. Yang lain teriak-teriak entah kesenangan atau ketakutan. Makanya sejak saat itu, film tak pernah lagi di putar. Dan anak-anak itu saling menyalahkan satu sama lain.
Empat bulan kemudian semua media di negeri ini, entah radio, televisi, koran, majalah, maupun mulut manusia memberitakan sebuah berita yang amat menggemparkan. Yaitu berita tentang kecelakaan pesawat terbang. Dari beberapa deret nama penumpang yang tewas ada juga disebut nama Bob Kliwon, putra tunggal jutawan George Pahing. Tentu saja kenyataan ini amat mengejutkan, terutama pihak-pihak yang pernah berhubungan erat dengan dia. Sang ayah yang punya penyakit jantung itu lagi-lagi jatuh pingsan. Sang ibu yang punya penyakit cengeng lagi-lagi meraung-raung. Pada saat itulah semua pembantu dekat maupun relasi-relasi penting berusaha membujuk dan merayu agar beliau-beliau bisa menerima kenyataan dengan tenang, ikhlas dan tawakal, tapi bujukan itu tak pernah punya arti apa-apa, sehingga seorang dokter pribadi beliau terpaksa menyuntikkan obat penenang.
Ketika acara pemakaman berlangsung, kedua beliau itu belum sadar juga. Waktu acara selesai, semua melayat (selain kerabat dekat) sudah pulang semua. Hanya segerombol cewek yang jumlahnya tak kurang dari seratus masih tekun melingkari makam Bob dengan tangis yang memilukan. Mereka ada yang berdo’a. ada yang meraung-raung. Ada yang diam mematung. Semuanya diliputi oleh suasana hati masing-masing. Salah seorang diantara mereka rupanya telah sempat menghubungi sekretaris pribadi jutawan George Pahing dan memberitahukan identitas mereka.
Ketika George Pahing dan istrinya sadar dan tahu kalau jenazah putranya telah dimakamkan, marahlah beliau itu. Tapi dengan lembut dan penuh rasa kasih sekretaris pribadi beliau menjelaskan persoalannya. Mendengar itu beliau lalu manggut-manggut memaklumi. Dan ketika beliau bertanya kenapa dihadapannya ada sepasukan gadis-gadis cantik? Sang sekretaris itu segera memberitahukan perihal yang sebenarnya. Kedua beliau itu sejurus lamanya terbelalak. Dan ketika seratus gadis itu berdiri untuk menyalami, makin terbelalaklah beliau, karena ternyata kesemuanya dalam keadaan bunting. Suami istri jutawan itu spontan roboh dan tak pengin bangun lagi selamanya.

Mohon Perhatian! 
Dengan penuh kerendahan hati kami mohon pengertiannya agar tidak meng-copy-paste cerita yang termuat di blog ini kecuali seizin dari penerbit - kombatbuku@gmail.com



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Obat Awet Muda


by Darminto M Sudarmo 

Nyonya Kemayu Brontokrai merasa sangat cemas menjelang usianya yang ketiga puluh lima. Selama ini dia selalu merasa bangga dengan kecantikannya yang aduhai. Selama ini dia selalu menerima pujian dari teman sekolega maupun kerabat-kerabat yang lain. Lebih-lebih suaminya sendiri Raden Mas Brontokrai yang selalu getol mencari duit sebagai direktur PT. Andum Senyum dan rajin berapat, demi kelestarian bini tercinta dalam soal menjaga dan merawat kecantikan.

Tentu saja kecemasan Nyonya Kemayu Brontokrai kian menjadi-jadi, sebab belakangan ini suaminya nampak sering bersikap acuh tak acuh. Sering nggak pulang sampai berhari-hari. Uring-uringan dan segala tetek bengek yang serba membuat dia selalu bertanya-tanya.

“Apa saya sudah tidak cantik lagi? Apa wajah saya sudah kelihatan keriput? Apa penampilan saya sudah tidak menggairahkan suamiku lagi? Ataukah suamiku sudah menceng hati dan teratrik pada wanita lain? Ah, sungguh bingung aku jadinya.”

Esoknya nyonya itu pegi ke salon (bukan saran lontong, lho!) berdandan model first lady, siapa tahu barangkali suaminya tertarik dengan dandanan demikian. Eh ketika melihat kenyataan semacam itu, suaminya semakin sewotnya. Esoknya lagi ke salon yang lebih top, berbusana dan berdandan mode mutakhir yang lebih hot dan nges. Eh, masih juga beliau tak mau memicingkan mata. Esoknya lagi esoknya lagi, bahkan sehari tiga kali seperti jam makan orang Indonesia, pagi, siang dan sore, toh hasilnya masih tetap juga. Bahkan biaya khusus untuk ke salon itu kalau nyonya itu sempat menghitung, hampir seratus juta lebih. Tentu saja hal ini semakin membuat sang suami jengkel, sebab penarikan itu dilakukan lewat banknya. Dan ketika bertemu dimeja makan atau ketika sedang duduk-duduk berdua di teras rumah, istrinya sama sekali tak menyinggung perihal penggunaan bagjet yang royal itu. Dia sebenarnya ingin marah pada istrinya, tapi perasaan cinta yang menggebu dan terselubung di kalbu itu, tambahan pula toh dia menjabat sebagai direktur PT. yang bonafid-nya belum ada tandingan, rasanya harus gengsi mengungkit-ungkit uang yang cuma seratus juta. Maka sebagai suami yang baik, dia mengekspresikan kedongkolannya pada istri lewat sikap dan seribu basa. Atau ngambeg kluyuran sesukanya.

Dengan cara begitu tak mempan, sebaliknya justru membuat nyonya Brontokrai kian penasaran, sebab sehari yang lalu ketika dia belanja sendirian di Aldiron Plaza, dia terus dikuntit tiga lelaki, eh bukan, tiga anak muda yang terus melancarkan suit-suitnya sambil memberi komentar, duillah cantiknya cewek! Tentu saja keusilan yang kurang ajar ini sempat membuat hatinya berbunga-bunga. Ternyata masih ada lelaki yang mengatakan diriku cantik. Sampai dirumah nyonya Brontokrai berputar-putar di depan cermin, dia buka gaun dan ganti gaun malam yang tipis, dihidupkannya lampu temaram diakamar, lalu dia meliuk-liukkan tubuhnya seperti penari ballet profesional. Demi Tuhan, dia kagum sendiri melihat ketika dirinya berakting itu ternyata tak beda dengan seorang bidadari yang turun dari bis kota. Cantik, anggun dan mempesona. Dia menelan ludah, sungguh aneh suamiku, dengan kecantikanku yang demikian seharusnya dia selalu rajin mencium telapak kakiku.

Nyonya Brontokrai tidak putus asa, perawatan kecantikan lewat salon tidak mempan, seharusnya cari cara lain barangkali bisa cocok, begitu katanya pada diri sendiri. Akhirnya mencoba beli alat-alat kecantikan yang asli bikinan luar negeri. Dia tak mau beli alat-alat itu yang dijual di Indonesia, sebab seringkali kena tipu. Esoknya setelah dapat izin dari suaminya, dia terbang ke Paris.

“Madame, this is the best one.” Kata seorang pelayan toko yang telah terlatih berbahasa Inggris (dan Anda seharusnya menolak desas-desus yang mengatakan bahwa jika orang masuk Prancis harus berbahasa Prancis, itu isapan jempol. Buktinya, nyonya Brontokrai dilayani dengan bahasa Inggris).

“Yes yes! I like this one, that one and so that!” nyonya Brontokrai menunjuk hampir seperempat dari kosmetika kelas dunia yang tersedia di toko bengonk itu. Akhirnya dia hampir pingsan ketika menyaksikan angka rekening. Satu milyard. Tapi sebagai nyonya yang bergengsi tinggi dan istri direktur pula, tambahan anggapan semua orang asing yang memitoskan bahwa setiap nyonya yang belanja di luar negeri  pasti kaya-kaya, apalagi nyonya-nyonya yang datang dari Indonesia, rasa keterkejutan itu cuma mampir sejenak. Sesudahnya dia cuma bersikap tenang-tenang sambil memasang mimik bahwa uang segitu adalah tak ada artinya apa-apa. Pelayan itu mengangguk dengan simpatik, sewaktu nyonya itu selesai menandatangani rekening yang diajukan.

Sesampainya dirumah, nyonya Brontokrai nangkring di depan cermin selama tak kurang dari tiga puluh jam. Selesai dia berdandan keluarlah dari kamar dengan penuh kebanggaan. Paijo, pembantu laki-laki yang sering ngintip majikan putrinya ketika sedang mandi ini, mendadak jatuh pingsan, ketika menyaksikan seorang bidadari yang kelewat cantik dan menyebarkan aroma kebirahian lelaki. Parfumnya yang sesekali menyentuh hidung, sesekali menyentuh kuping itu memang bisa membuat kaum laki-laki edan mendadak. Tapi tak lama kemudian dia siuman kembali, dadanya tiba-tiba gemuruh, darahnya mengalir sangat cepat, bahkan mungkin melebihi kecepatan 100 km per jam. Oh, bagaimana bisa begini, keluhnya. Akhirnya dipuncak ketakjubannya, dia teringat Painem pacarnya, pembantu tetangga sebelah.

“Painem….Painem! aku rindu padamu. Aku rindu setengah mati!” dia tubruk nyonya Brontokrai dari belakang. Sementara itu nyonya Brontokrai yang berjalan dengan setengah kesadaran, karena dari pantulan cermin dia sudah tidak mengenali wajahnya sendiri, maka tak aneh jika pada saat itu pikirannya tengah mengapung dalam genangan telaga asmara. Terekam lagi kenangan indah semasa dulu berpacaran dengan Raden Mas Brontokrai, ketika mereka sama-sama masih remaja.

“Oh mas Brontokrai! Aku juga rindu padamu. Aku rindu setengah pingsan!” keduanya berpelukan dengan mesra. Suatu pemandangan yang kontras dan menakjubkan. Sang putri bergaun indah gemerlapan, sang pangeran bercelana kolor dan berkaos oblong sobek punggungnya.

“Painem….Painem kau begitu cantik hari ini….”

“Ah masa iya mas?”

“Tentu…tentu. Kau seperti…”

“Seperti…..apa mas? Seperti bulankah?”

“Oh bukan…..bukan!”

“Seperti Lady Di?”

“Seperti Rika Rahim?”

“Bukan!”

“Seperti Marlyn Monroe?”

“Bukan! Nama itu baru kukenal sekarang.”

“Lalu seperti siapa dong mas….?”

“Anu…..anu seperti Ndoro Putri Kemayu Brontokrai”

“Hah! Itu memang saya! Lalu kau siapa ha?!! Kau siapa?!! Plak! Plak! Plak! Jongos tengik, kurang ajar kau! Cepat pergi dari sini!!”

“Anu ndoro….anu kok, aaaanu saya….saya….ya..titi…tidak….!”

“Sudah…..sudah cepat minggat!”

Nyonya Brontokrai menjatuhkan tubuhnya di atas pembaringan dengan kesal. Ternyata suaminya tidak pulang malam ini. Dia remas bantal, guling, kasur dan rambutnya sendiri.

“Sia-sia aku bersusah payah demi kau mas! Semuanya tak ada gunanya. Semuanya percuma!” maka sepasukan kosmetik itu yang telah mencapai rekor harga bukan main, diobrak-abrik nggak keruan arahnya. Sebagian dibanting, sebagian dilempar keluar jendela, sebagian dimasukkan WC dan sebagiannya lagi mungkin buat rebutan dua orang putrinya yang menginjak gadis remaja. Sedang sebagiannya sebagian lagi, sempat jadi rebutan para pembantu. Lain-lainnya habis.

Malam itu tuan Brontokrai ternyata lupa, ia tertidur di meja kerjanya. Semua pegawainya tidak ada yang berani membangunkan. Bukan karena capek seharian bengong. Tak disangka ada setitik rasa cemas sempat mampir dibenaknya, ketika dia melihat kuitansi semilyard untuk biaya kosmetik istrinya. Apakah demikian tanda-tanda kebangkrutan itu?

Esok paginya sesampai di rumah keadaannya sungguh sangat menyenangkan hatinya ketika dia menyaksikan alat-alat yang telah dibeli dengan keringat dan jerih payah itu cuma dibutuhkan buat dicerai-beraikan. Tuan Brontokrai menghela nafas dengan lega, tentu istrinya sudah sadar dan tak mau terlalu royal lagi. Dan sebagai tanda protes terhadap kemewahan yang berlebihan itu, dia membuang semua kosmetik miliknya, betapa pintarnya istriku, kata tuan Brontokrai dalam hati.

“Aku sungguh gembira sekali istriku, kau sekarang tambah pintar.”

Nyonya Brontokrai cuma cemberut dan melengoskan muka.

“Kalau marah begitu, kau justru tambah cantik Mam.”

“Jangan merayu! Sana ngeringkel saja di ranjang sekretarismu!”

Tuan Brontokrai terperanjat.

“Hah! Apa maksudmu Mam….?”

“Jangan pura-pura…….kau sudah bosan aku kan Pap? Karena aku sudah tua kan Pap?  Karena kulitku sudah keriput kan Pap? Katakanlah saja….. kau sudah pengin bini muda lagi kan Pap?”

“Iya, eh bukan! Bukan! Maksudku…….aku semalam…..semalam…..”

“Lembur? Rapat? Lokakarya? Ya toh….?”

“Bukan eh….iya bukan! Aku ketiduran di meja kantor Mam. Sungguh mati deh mam. Kau jangan salah sangka.”

“Ketiduran di meja kantor? Kok aneh benar, bantalnya sekretaris itu kan?”

Pertengkaran tak bisa dihindarkan lagi. Tapi setelah keduanya capek, semuanya menghentikan omelan dan celotah bekekeh. Dua hari dua malam mereka tak saling sapa, meskipun satu kamar. Tiga empat hari, nyonya Brontokrai cemas lagi. Dia menyesal, telah menuduh tanpa bukti. Dan lagi……tak sanggup lama puasa dan ditelantarkan dalam keadaan sangat rindu. Suaminya bahkan semakin acuh tak acuh. Semakin diam, dan mulai ada tanda-tanda masa bodoh.

Menyaksikan ketidak pedulian suaminya yang kian menjadi-jadi, nyonya itu justru sangat takut, jangan-jangan karena jengkel suaminya bener-bener cari bini muda lagi. Maka dia harus bergiat membuat dirinya bergairah dan muda kembali. Dan dapat menarik suaminya ke dalam alam kemesraan yang indah agar tidak keburu mencari sasaran sembarangan. Dia giat konsultasi ke biro-biro yang mengurusi perkara perkawinan, mendapat petunjuk ini itu, itu ini, setelah dipraktekan hasilnya nol. Ke psikolog, dapat segudang nasehat dan coba dilakukan hasilnya juga nol, bahkan nolya kian gede.

Akhirnya pikir punya pikir, terbersit ide untuk minta tolong pada seorang dukun. Karena beberapa jamu tradisional maupun nasional setelah dicoba untuk membuat diri muda atau awet muda agar tetap bisa menjerat suami dikandang sendiri, ternyata tak ada hasil. Oleh karena itu tekadnya untuk menghubungi seorang dukun ternyata tak bisa dibendung lagi.

“Nyonya, sebenarnya khusus untuk nyonya, bisa untuk membuat diri awet muda atau mungkin malah membuat diri menjadi lebih muda dan bisa membuat suami selalu tergila-gila pada nyonya.” Kata dukun itu setelah sejam lamanya memepetkan berbagai pertanyaan yang tak mudah dijawab.

“Benarkah Mbah dukun?”

“Tentu dong….cuma ada syaratnya nih.”

“Syaratnya apa sih Mbah?”

Dukun itu membuat tulisan di udara. Nyonya Brontokrai membuka dompet dan menyerahkan uang sebanyak sepuluh biji. Dukun itu membisikkan sesuatu ke telinga tamunya. Tamunya mula-mula mendelik, tapi setelah diberi uraian panjang lebar, tak sadar dia manggut-manggut.

“Begitulah resepnya, dan ini dua obat yang penggunaannya berlainan.”

Setahun kemudian, benarlah apa yang dikatakan oleh mbah dukun itu, nyonya Brontokrai tambah muda sepuluh tahun lagi, setelah menuruti apa yang dinasehatkan. Dengan bekal obat yang satunya itulah dia bisa memindahkan zat kemudaan dari beberapa perjaka ting-ting ke sari tubuh dan hormonnya selama setahun persis. Sementara dengan obat yang satunya dia berhasil membuat Raden Mas Brontokrai menjadi suami yang benar-benar teladan dan patut dicontoh. Setia, patuh, jujur, tidak pernah marah, selalu gembira dan optimis. Hal ini pernah dibuktikan oleh nyonya Brontokrai sendiri, sepulang kerja suaminya melihat di kamar tidurnya sang istri sedang bergelut begitu asyoi-nya dengan seorang pelajar SMA yang remaja tulen. Tapi apa reaksi tuan Brontokrai? Dia cuma berkata dengan bijaksana:

“Tenanglah sayang…..aku tahu kau memang butuh hiburan.” Dan dia sabar menanti untuk menunggu di teras sambil baca koran guna bersama-sama makan siang dengan sang istri tercinta, yang cantik dan setahun lebih muda.

Suami istri itu benar-benar sudah sama-sama sinthing!


Mohon Perhatian!
Dengan penuh kerendahan hati kami mohon pengertiannya agar tidak meng-copy-paste cerita yang termuat di blog ini kecuali seizin dari penerbit - kombatbuku@gmail.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Pelari Ulung


by Darminto M Sudarmo


Dua menit yang lalu saya bertemu dengan seorang pelari ulung (bukan pelari istri orang!) yang bertaraf internasional. Dia asli orang Indonesia, bahkan berasal dari desa. Desa yang jauh dari hiruk-pikuk dan kebisingan. Desa yang terpencil. Pokoknya jauh sekali!
Adakah yang menarik dari si pelari ulung ini? Ada. Apa? Ya, riwayat hidupnya dong. Sebagai atlet eh, atlit apa atlet ya nulisnya? Dia telah merebut predikat profesional. Namanya? Tak use ye….! Rahasia dong. Dia kini jadi orang kaya raya, jadi nggak mau dikenal nama apalagi alamatnya. Tentu saja khawatir, sebab akhir-akhir ini banyak perampok cari sasaran orang-orang terkenal.
Sang pelari ulung ini total jenderal telah dapat hidup dari larinya. Pertama, karena dia sering disewa oleh orang-orang berduit untuk melakukan sebuah pekerjaan yang membutuhkan kecakapannya berlari. Yaitu melarikan barang-barang selundupan, ketika muncul petugas hendak menggeropyok. Kedua melarikan gaji pegawai negara, eh, negeri eselon kelas kambing. Ketiga lari-lari tiap pagi sehabis semalam lari di kasur. Demi Tuhan! Bukan di kasurnya pa atau bu kasur. Keempat dan seterusnya adalah lari-lari biasa yang tidak istimewa. Misalnya lari sendirian ketika melihat orang pada diam bersamaan. Lari tunggang langgang, ketika menjumpai seekor ulat atau lintah. Dan lain-lainnya.
Nah, ketika tiba saatnya dia kena wawancara saya, berceriteralah dia dengan santainya. Ceritanya begini. Ini kurang lebihnya lho. dan tentunya juga telah saya humorisir.
“Saya sebenarnya tak menyangka lo Mas, kalau saya punya bakat lari. Sebab itu saya sejak kecil jarang lari. Bahkan seringnya duduk-duduk saja. Maklum kan anak desa. Pagi-pagi nongkrong di depan perapian seraya bakar singkong, betapa nikmatnya, kan? Nah, seperti itulah kebiasaan saya sehari-hari. Tetapi setelah saya agak besar, saya jadi jenuh dengan kebiasaan saya ini. Saya mulai cari variasi. Kalau dulu saya bakar singkong, terus ganti bakar sate. Setelah itu lalu kecanduan bakar kemenyan. Dan ketika usia sudah mengharuskan saya sekolah di es-em-pe, tak berkutiklah saya dengan hobi begituan, maka sejak itu saya ucapkan good bye dengan segala nongkrong dan bakar-bakaran itu. Sebab dirumah saya (eh bukan! Rumah orang tua saya) hingga ke sekolah praktis memakan jarak sejauh tujuh belas kilometer. Ingat kilo meter! Bukan senti atau desi. Tambahan lagi, dari rumah ke tempat sekolah tak ada kendaraan umum, sepeda, andong, dan lain-lain, maka mau tidak mau saya musti bangun sekitar pukul tiga pagi. Mandi lalu jalan kaki, dan hasilnya tepat pukul tujuh di sekolah. Pulangnya sampai rumah pukul lima sore. Asyik juga sebenarnya. Tapi lama-lama saya merasa capek juga. Sehingga akibatnya saya sering terlambat. Dan otomatis, kena marah guru. Sebab bangun kesiangan. Ya mas, bangun jam empat saja saya bisa kesiangan. Tapi celakanya…….kalau datang terlambat saya disuruh lari. Itu terutama jika pas yang mengajar guru olah raga. Suatu ketika karena jengkel disuruh lari terus, saya jadi nekad. Waktu itu hari Senin, saya dibentak guru dan disuruh lari, sebab biasa datangnya terlambat satu jam. Kontan saya lari mulai pukul delapan hingga maghrib tiba. Guru yang menghukum saya ketakutan sendiri. Berkali-kali saya disuruh berhenti. Saya tak hiraukan, saya lari terus putar lapangan di sekolah. Sehingga kontan waktu itu orang-orang sekitar, terutama guru, murid dan warga setempat jadi geger. Mereka nonton saya. Tapi saat itu juga nama saya menjadi populer. Orang banyak memuji saya. Bahkan seorang dukun tiba-tiba ambil kemenyan dan pasang aksi ditengah lapangan sambil mengepul-kepulkan asapnya, dan terutama seraya komat-kamit pula. Membaca apa entahlah. Hanya firasat saya mengatakan tentu dia menyangka saya kemasukan setan. Tetapi seorang yang rasional berkomentar, bahwa saya tidak punya puser. Sedang seorang yang gemar klenik mengatakan, kalau saya ada bakat lari. Ngeri deh pokoknya kalau mendengar komentar mereka. Anehnya seminggu sejak peristiwa itu, saya langsung dijagokan oleh Propinsi untuk mewakili tingkat Nasional. Eh, nggak tahunya saya peroleh pegang juara pertama. Saya dapat hadiah macam-macam. Sebagian diantaranya saya belikan sapi dan kerbau. Ternak itu diurus orang tua saya. Dan perkembangan berikutnya mas bisa lihat sendiri kan…..? Ya seperti saat inilah.”
Saya manggut-manggut. Akhirnya berjabat tangan sekedarnya, dia langsung lari sekencang-kencangnya, sebab keburu pengin buang hajat besar, dan lagi memang saya telah merasakan tanda-tanda bahwa polusi halus yang sering mengganggu hidung saya itu, tak mustahil akan dijadikan alasan bagi dia untuk lari dari saya. Sebab disamping saya wawancarai dia juga saya todong agar mau sekedar memberi uang good will buat memperlancar artikel yang akan saya muat. Tapi nyatanya toh dia sudah mencium iktikad saya dan sebelum saya berbuat yang lebih jauh, dia telah mampu lari dari tiap masalah yang bernama : sokongan dan sumbangan. Saya cuma bisa menghela nafas.
Kemudian dalam hanya beberapa detik saja saya telah berhasil menghimpun beberapa wawancara dengan para atlet yang lain. Tentu saja yang berprestasi dong! Dari seorang jago lempar lembing, dia bercerita bahwa dirinya ditemukan oleh orang, ketika suatu hari kena marah orang tuanya, karena seringkali pulang larut malam. Sehingga tiap melakukan kebandelan semacam ini, selalu orang tuanya memberi lemparan palang pintu kepadanya. Perlakuan demikian baginya cukup mengganggu, maka begitu benda itu melayang ke mukanya, dengan sigap dia tangkap dan dia lempar ke hutan bambu yang tak jauh dari rumahnya. Palang pintu nyangkut di atas ranting sejauh dua puluh satu meter.
Dari seorang lempar peluru bercerita, bahwa prestasi maksimalnya berasal dari kebandelannya pula. Sejak kecil dia gemar melempar genteng kaca seorang terkaya didesanya sekaligus terkenal pelit dan galaknya. Maka setiap malam, minimal dia punya jatah untuk memecahkan satu genteng tanpa ketahuan siapapun, kecuali Tuhan, tentunya. Kebiasaan melempar pelurunya baru dia kenal sejak dia sendiri secara yakin menyadari bahwa dirinya juga telah berpeluru.
Dari seorang pemain catur yang telah mencapai tingkat yahuuud, juga bercerita bahwa kehebatannya itu diketahui orang sejak dia jadi jongos juragan ternak kuda, yaitu seorang tuan tanah. Karena tiap hari selalu melihat kuda, dan terutama tahu betul siasat majikannya bagaimana cara memperkuda orang dengan jitu, dia jadi orang yang waspada, artinya setiap saat selalu siap pasang kuda-kuda jika bahaya mengancam.
Dan akhirnya setelah hobi caturnya dia kembangkan, jadilah dia pemain ulung yang unik. Karena kekuatan yang paling menonjol dari bidak-bidak caturnya adalah justru terletak pada kuda. Kemudian orang lalu memberi julukan pada permainannya  yang apik itu dengan si kuda binal.
Akhirnya pemain bridge yang ulung banyak muncul dari kalangan penjudi-penjudi kartu. Dan orang pun menemukan mereka. Pemain-pemain golf kaliber nasional  juga diketemukan dari mereka-mereka yang dulunya menjabat sebagai tukang sapu. Sedang pemain-pemain tenis jempolan justru lahir dari mereka-mereka yang sering menghukum anak-anak lewat sabetan-sabetan rotan. Peloncat-peloncat tinggi, banyak ditemukan dari orang-orang yang dulunya bekerja sebagai pencuri. Dan pesenam-pesenam kampiun juga muncul dan lahir dari para lulusan penghuni rumah sakit jiwa. Kalau bulu tangkis (ahli menangkis bulu, semua jenis bulu!), ping-pong, pencak silat dan lain-lain hampir berasal dari profesi yang seragam yaitu, mereka-mereka yang dulunya gemar cek cok dan berantem. Sering main pukul, tangkisan dan sebagainya. Sedang atlit-atlit suap, konon dilakukan oleh para atlet yang masih kanak-kanak, karena kebanyakan kalau makan masih minta disuapi oleh ibunya. Sekian dulu ah! Capek, saya tak bisa menemukan semuanya. Soalnya….saya tak tahu apa-apa tentang olah raga.*****


Mohon Perhatian!
Dengan penuh kerendahan hati kami mohon pengertiannya agar tidak meng-copy-paste cerita yang termuat di blog ini kecuali seizin dari penerbit - kombatbuku@gmail.com


 



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Contact