by Darminto M Sudarmo
Tengah malam gelap pekat! Nampak dua sosok
bayangan hitam bergerak amat gesit. Yang satu berperawakan jangkung tegap,
satunya lagi jangkung membungkuk. Bayangan-bayangan itu mengendap bagai dua
ekor kucing mengincar tikus. Sesekali terdengar bisikan mereka. Pada kali yang
lain terlihat gerak-gerak tangan mereka saling memberi isyarat. Setelah itu
keaadaan semakin sepi menggigit.
Ketika jam dinding berdentang dua kali,
sesuatu telah terjadi di rumah pondokan mahasiswa “Niki Keri”. Daun jendela
tanggal dari tempatnya, dan bunyi gedombrangan kaleng bekas, panci, piring seng
dan lain-lain benda kelontong menyibak malam dingin itu. Seorang bertubuh
jangkung tegap telah tertangkap oleh salah seorang mahasiswi yang punya
kepandaian lumayan di bidang ilmu bela diri. Sedang seorang yang satunya lagi
lepas dari jaringan petugas siskamdok – system keamanan pondokan - yang semuanya terdiri cewek melulu. Seorang
petugas nekat memburu maling pengecut itu dari ceceren urine yang berderet membasah.
Diduga maling itu telah ketakutan setengah mati sehingga terkencing-kencing di
celana sambil berlari. Tapi petugas yang nekat itu tak memperoleh hasil
apa-apa. Sebab ceceran urine maling sialan itu makin lama makin mengecil. Dan
ketika mendekati lenyap diakhiri setumpuk tinja yang bukan kepalang baunya.
Menyaksikan itu tiba-tiba bulu kuduk petugas siskamdok yang cewek itu jadi
bergidig. Kalau dia ketakutan bagaimana mungkin bisa buang hajat demikian
nyamannya., pikir petugas itu dalam hati. Kini malah dia yang berlari balik
sambil terkencing kecil-kecilan.
Semua penghuni pondokan yang memencil tanpa
tetangga itu membangunkan dirinya dengan rela. Mereka saling berebut memburu
cermin dan sisir. Sebab maling yang ketangkap malam itu benar-benar maling
istimewa. Dan dengan kilat penghuni yang tak kurang dari lima belas perawan itu
telah merubung sang durjana yang tertegak dengan pandangan tak percaya.
Mendadak semangatnya untuk kabur dari pegangan tangan-tangan mulus itu jadi
lenyap. Dia tetap menunjukkan muka ketakutan. Biasa, pura-pura doang!
Dengan sikap garang, seorang yang menjadi
ketua dari pondokan itu menghampiri si durjana sambil melontarkan kata-kata
yang tak keruan nadanya. Mulanya bentakan, tetapi kemudian seperti rayuan,
kadang malah terdengar kemanja-manjaan. Sehingga misi untuk berunjuk gigi dan
pasang kewibawaan gagal sudah. Dia lalu melangkah surut dengan badan gemetar.
Maling itu kelewat tampannya sehingga membuat hatinya luluh lantak.
Seorang yang lain maju. Konon dia wakil
yang pertama. Dalam hati si perawan yang maju kali ini sudah bertengger
kata-kata pedas yang siap dia lontarkan. Tapi begitu dia berhadapan dengan
pemuda itu, kontan yang terdengar oleh telinga yang lain justru bunyi
puisi-puisi cinta yang cengeng dan menggelikan. Maka tak pelak ruangan itu
penuh derai tawa. Pemuda itu pun ikut-ikutan ketawa. Melihat gelagat tak sedap
itu mendadak si jago karate yang mula-mula menangkap maling itu segera
mengambil inisiatif. Pada saat ruangan bermandi gelak tawa, dia layangkan
sebuah tendangan kakoto geri yang tepat mengenai tengkuk pemuda itu hingga
sekali gebrak maling beruntung itu terjerembab mencium lantai. Langsung
pingsan. Tendangan itu memang penuh perhitungan, sehingga tak begitu
membahayakan.
Semua yang tertawa tiba-tiba berubah
memekik. Mereka langsung berebut hendak menolong si pemuda. Peristiwa perebutan
ini pun berlangsung sangat unik. Berpuluh-puluh tangan saling tepis-menepis
sehingga suasana berubah menjadi amat gaduh. Bahkan sesekali terlihat ada yang
tega main cakar-cakaran. Menyaksikan pemandangan tak sedap itu, lagi-lagi
dengan terpaksa si jago karate mengambil inisiatif, ketika bertepatan dengan
itu lewat seekor tikus di hadapannya. Dia comot tikus itu dengan gesit lalu dia
lemparkan ke tengah-tengah mereka yang saling untel-untelan. Hasilnya memang mengagumkan.
Mereka bubar dan menjauh membentuk lingkaran besar. Dan si jago karate memegang
perutnya yang tiba-tiba mules karena memendam tawa dengan ketat.
Pemuda itu masih pingsan!
“Kau keterlaluan Ning!” bentak sang ketua
kepada si jago karate, “Mestinya kau hanya melakukan apa yang kuperintahkan
saja, dan … kalau dia sampai mati kita semua bakal kena urusan yang berwajib.”
Nining tersenyum penuh hormat.
“Mbak Tut tak usah kuatir, dia tak apa-apa.
Cuma pingsan saja. Sebentar juga akan sadar. Nah, saya mengusulkan dia dipindah
ke pelbed.”
Mereka beramai-ramai menggotong tubuh tegap
dan jangkung itu, yang kini cuma terdengar deru nafasnya. Kelima belas perawan
itu merubung dengan hati cemas dan kuatir. Masing-masing lengan mulus itu ingin
dapat meski sekedar memijit jidat maupun cuma lengan atau kakinya.
Seorang perawan yang agak kocak, mencoba
menarik-narik hidung dan telinga pemuda itu, dengan sikap mesra tentu saja.
Sementara seorang satunya lagi yang kelewat binal malah dengan gemas
menarik-narik segala sesuatunya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tentu saja
pistol pemuda itu tak ketinggalan. Jangan buruk sangka! Pistol yang dimaksud
memang pistol beneran, cuma itu terbuat dari plastik campur metal, alias pistol
mainan yang gunanya buat nakut-nakuti calon korban. Maklum dia kan anak seorang
penyamun kawakan! Menyaksikan anak buahnya yang agak ‘buas’ itu, Mbak Tuti sang
kepala pondokan, segera menatap satu-persatu anak buahnya dengan sorot mata
setajam burung hantu.
“Kalian apa sudah pada sableng? Tak
ingatkah kalau kalian itu seorang mahasiswi. Seorang yang berpendidikan,
seorang yang telah mengenal norma-norma susila dengan nglotok. Kenapa kalian
lakukan itu semua? Kenapa ha?!”
“Nah, agar besuk tak bangun kesiangan,
kalian boleh tidur sekarang, kecuali Nining yang harus jaga di luar kamar
beserta regu jaga malam ini. Mengerti?!!”
“Mengerti mBaaaaaakkk …!” dan
berhamburanlah perawan-perawan intelek itu ke kamar masing-masing. Tapi satu
dua orang di antara mereka sesekali menoleh ke arah pemuda itu yang nampaknya
sudah mulai merem melek.
Ruangan tempat menyekap pemuda itu kini
sepi. Yang ada Mbak Tuti dan pemuda yang masih dalam keadaan ‘pingsan’. Itu
jika dilihat dengan mata telanjang. Sementara di luar kamar, Nining dan
konco-konconya nampaknya agak penasaran. Satu persatu dari mereka bergantian
mengintip lewat lubang kunci, apa yang dilakukan ketua pondokan terhadap
tawanannya.
Kegiatan intip-mengintip itu rupanya
berlangsung dengan tertib sekali. Bergantian secara adil dan bijaksana. Baik
waktu, maupun posisi. Kekompakan itu dapat berjalan dengan licin tenang,
meskipun sekali satu dua orang tak kuasa mengendalikan cekikikannya. Dan apa
yang tengah dilakukan Mbak Tuti kepada pemuda itu? (Sungguh mati saya tak
tahu!) Sebab selang beberapa menit regu jaga itu tak bisa lagi melihat ke
sasaran semula. Mereka cuma dapat melihat cahaya seperti kilat di tengah
kegelap-gulitaan. Mungkin saja cahaya itu berasal dari aliran listrik negatip
dan positip yang bertemu sehingga kadang menimbulkan pula ledakan-ledakan
kecil. Kesimpulan ini baru ‘kemungkinan’. Sebab memang pada jam itu lampu
tiba-tiba padam seluruhnya. Dan sebagai ketua regu jaga Nining lalu
memerintahkan rekan-rekannya segera berwaspada, barangkali akan ada sesuatu
yang kurang beres.
Benar saja, belum ada sedetik terdengar
bunyi : Glonthang! Dan langkah kaki yang mengendap-endap. Nining beserta team
regunya segera bersiap diri dengan manis. Pasang kuda-kuda dan jurus elang
menyambar lonthong. Sesaat ketika terlihat sesosok bayangan berkelit di depan
hidung mereka, dengan gesit Nining menyambarnya.
“Auuuuuu …! Aku Susy Ning!” teriak si
Binal.
“Heh! Ngapain lu keluyuran gelap-gelap
begini. Gua kira maling.”
“Sorry dah … aku mau cari geretan dan
lilin.”
“Apa? Cari geretan dan lilin? Kenapa
kemari? Kenapa bukan ke ruang dapur?”
Si Binal mendesiskan kata:
“Sssstt! Sebenarnya aku kangen sama si …”
“Oh ya? Kasihan kau sobat, malam ini kau
tak mungkin kebagian.” Dan meledaklah tawa renyah yang ditahan-tahan memenuhi
lorong itu. Hanya beruntung sekali tawa mereka seratus prosen tak masuk ke
telinga seseorang yang kena sindir. Belum habis tawa itu berderai-derai,
mendadak terdengar bunyi glonthang lagi yang beruntun. Kesiagaan mereka terus
berefleks. Tetapi setelah pembuat huru-hara itu tertangkap semua, situasi jadi
berubah mendadak. Sebab yang ditangkap dan yang nangkap sama-sama satu atap.
Maka situasi yang menggelikan itu tak bisa dibendung lagi. Dan meledaklah tawa
mereka menyibak malam. Malam yang sebentar lagi bakal dihiasi pagi.
Memang aneh sekali. Tawa keempat belas
perawan yang berderai-derai itu ternyata tak mengusik dua orang yang ada di
kamar penyekapan maling. Sehingga mereka terus mengumbar tawanya melebihi para
pengunjung yang nonton pentasnya Srimulat plus Gepeng. Dan ketika fajar tiba, pagi
pun segera merayap dengan cepatnya.
Keempat belas perawan itu akhirnya tak
dapat lagi menyembunyikan kecurigaan mereka terhadap dua orang yang menghuni
kamar ‘tawanan’. Buru-buru salah seorang di antara mereka, yakni wakil Mbak
Tuti, segera meraih kunci duplikat kamar. Dan memasukkannya ke lubang kunci
dengan tangan gemetar, sedikit takut, sedikit ngiler, sedikit ngeri.
Namun begitu pintu terbuka, betapa kaget
mereka. Mbak Tuti dan anak penyamun itu tak ada lagi. Mereka lenyap tanpa
jejak. Nining segera memeriksa almari pakaian, barangkali ngumpet di situ. Tak
ada. Ke kolong dipan, tak ada. Ke atap rumah, tak ada. Membongkar kasur dan
bantal, juga tak ada. Tapi ketika tangannya meraih daun jendele, segeralah daun
jendela itu terbuka.
:Mereka telah lari lewat jendela!”
“Belum tentu! Siapa tahu justeru pemuda itu
yang melarikannya.”
“Itu juga belum dapat dipastikan, mungkin
salah seorang yang lolos datang lagi dan memberi pertolongan pada pemuda itu
sambil menyandera Mbak Tuti. Ugh! Sungguh kasihan nasib Mbak Tuti. Cepat! Kita
panggil polisi!”
“Tunggu dulu! Apa yang tergeletak di atas
meja? Sebuah surat. Ya, sebuah surat dialamatkan kepada kita semua.”
Nining segera menyambar surat itu.
“Boleh aku membacanya keras-keras?”
“Kenapa tidak? Biar kita tahu semua!”
Adik-adikku yang manis di Wisma “Niki Keri”
Surat ini mungkin kalian temukan pada saat
kalian berada di puncak keheranan, kecemasan maupun kejengkelan, itu tak jadi
soal. Tapi yang penting saja, kakak harap kalian tidak begitu kaget sepenerimanya
surat ini.
Terus terang saja, kakak dan ‘pemuda’ (yang
sebetulnya pacar kakak sejak es em a dulu) telah sepakat untuk pergi entah ke
mana, yang jelas rahasia. Karena percintaan kami sekian tahun selalu mendapat
tantangan keras dari orang tua. Terutama orang tua kakak sendiri. Maka drama
semalam itu anggaplah sebagai memori, sebuah kenangan manis dari kakak. Sebab
kakak sudah tak mungkin jadi mahasiswi di sini lagi. Kakak dan calon suami akan
menempuh kehidupan masa mendatang yang penuh harapan dan optimisme, menurut
perhitungan kami sendiri.
Sekali lagi jangan kaget, segalanya yang
berlangsung semalam memang sudah kami atur dengan cermat. Supaya ada surprise.
Dan demi Tuhan, sekali-kali kami bukan meniru petualangan Harry dan Ninung,
pasangan remaja dari Salatiga itu, bukan. Semuanya hanya kebetulan saja. Nasib
kami dan mereka tak jauh berbeda.
Sekian adik-adikku yang manis. Selamat
belajar!
Mari kita saling berdo’a untuk kesuksesan
kita semua. Daaaaagggg!
Mbak Tuti & Mas Bowo
Keempat belas cewek itu menghela nafas
dengan tak tahu apa artinya helaaan nafasnya itu. Hanya yang bisa dilakukannya
cuma menghela nafas dan saling melempar pandang. Itu saja. Dan begitu warta
berita jam enam mengudara, mereka segera bergegas mengurus dirinya
masing-masing.*****
Mohon Perhatian!
Dengan penuh kerendahan hati kami mohon pengertiannya agar tidak meng-copy-paste cerita yang termuat di blog ini kecuali seizin dari penerbit - kombatbuku@gmail.com
Dengan penuh kerendahan hati kami mohon pengertiannya agar tidak meng-copy-paste cerita yang termuat di blog ini kecuali seizin dari penerbit - kombatbuku@gmail.com
0 comments:
Post a Comment