Telepon

by Darminto M Sudarmo 

Tengah malam tepat, ketika aku sedang asyik-asyiknya mendengkur, telepon di sampingku berdering. Kriiiiiinggg…kriiiiing…..kriiiiiing!! dengan mata kuyu dan jantung berdenyut-denyut karena keqinya nggak ketulungan, aku sambar tangkai telepon.
“Halooo…siapa ini…?”
“Hallo selamat malam..saya bicara dengan bapak…?”
Suara dari seberang terdengar serak di telingaku. Berat dan membuat mulutku eh, perutku terasa mual.
“Iya! Siapa dong…? Tengah malam begini jangan ganggu, saudara tahu…?! Ini jam berapa…?”
“Jelas saya tahu Pak, ini jam dua belas tengah malam khan?”
“Iya, makanya kalau tahu cepat bilang saudara siapa keperluannya apa, ngerti…!!!” setengah mengumpat aku teriak sambil menahan geram.
Orang dari seberang itu tertawa ngakak. Aku kian gemas, maka tangkai kubanting. Prak! Kuraih selimut dan melanjutkan impian yang tadi terputus dengan paksa.
“Jadi mas benar-benar cinta sama aku…?” Erna mengajuk dengan manja seraya menggayutkan dadanya ke bahuku.
“Eh jadi…kau belum percaya kalau aku sangat mencintaimu?”
“Percaya sih percaya….tapi mana buktinya dong…?”
“Bukti apaan…?”
“Idih blo’onnya. Masak nggak tahu ya…?”
“Berani samber Gatutkaca deh.”
Erna mengerling dengan manja. Aku jadi gemas dibuatnya, maka spontan kuraih bahunya dan bibirnya yang merekah seranum delima itu ingin cepat-cepat kusumbat. Tapi malang, selagi kami berdekatan dalam beberapa centi, telepon keparat itu berdering lagi. Kriiiiing…. Kriiiiing…kriing..! impianku buyar. Mulanya aku bertekad untuk membiarkan telepon itu meraung-raung. Tetapi lama kelamaan kian menjadi. Dan telingaku berasa risih bukan main.
“Demi langit dan bumi….kalau ini manusia cepat katakan kamu siapa dan apa keperluanmu….?!!!”
Dari seberang terdengar tawa renyah lagi, suara tawa yang berat dan memualkan.
“Masih ingat suara saya Pak…?”
“Kamu siapa ha…?!!”
“Sabar dong Pak….kenapa sih, malam ini bapak mendadak jadi pemarah…? Terus terang saja deh pak, apakah bapak tidak senang bicara dengan saya…?”
“Bukan begitu…tapi tahu diri dong. Bagaimana jika saudara sendiri ketika sedang enak-enak tidur, tengah malam pula tiba-tiba diganggu telepon dan diajak ngobrol yang enggak karuan ujung pangkalnya, apa saudara tidak marah dan keqi ha…?!”
Suara dari seberang sana tertawa terkekeh-kekeh lagi.
“Tentu saja tidak dong Pak, bahkan kalau bapak mau tahu saya paling gemar ngobrol lewat telepon pada saat-saat seperti ini.”
“Sudahlah jangan banyak cakap. Kamu ini siapa dan apa maumu…?”
“Ha…ha…itu tidak penting untuk bapak ketahui. Tapi saya tahu bapak paling gemar bicara soal….”
“Soal apa…?”
“Tentang mistik, alam ghaib, ramal-meramal bahkan pula tentang situasi yang menentukan perihal hari depan negeri ini kan…? Misalnya tentang Ratu Adil.”
Aku kaget setengah mati, tapi dilain pihak ada sebersit rasa gembira, karena ternyata maih ada orang yang mau ngobrol denganku tentang hal-hal seperti itu. Padahal selama ini nyaris semua orang mencemoohku, jika dalam setiap pertemuan aku sedikit menyinggung soal-soal semacam itu. Lumayan, siapa tahu dia bisa jadi teman bicara yang mengasyikkan. Hanya satu hal yang tak kusukai, yaitu ajakannya untuk bicara pada setiap tengah malam ke atas. Ini jelas keterlaluan. Aku bisa bangun kesiangan dan di kantor tak bersemangat bekerja. Apalagi kalau ketahuan mengantuk.
“Hallo…eh tunggu saudara, apakah tadi saya tak salah mendengar…?”
“Tidak! Bapak tadi telah mendengar dengan jelas dari mulut saya. Tak usah kuatir semuanya bisa diatur. Nah, sampai jumpa esok tengah malam berikutnya. Daaaaag…!”
“Tungguuuuu….hallo…hallo…?!!”
Slompret! Begitu tahu dirinya dibutuhkan kontan orang itu jual mahal. Duh, betapa gondoknya tenggorokan ini. Maka sambil melepaskan kedongkolannya aku putar nomor telepon sembarang. Sepi, nggak ada yang menyahut. Putar lagi, putar lagi, akhirnya terdengar jawaban suara wanita, yang nampaknya meladeni bicara sambil mengantuk.
“Hallo…”
“Saya bicara dengan siapa…?”
“Dengan saya sendiri, Rina. Apakah ini mas Anto…?”
“Tepat sekali.” Jawabku sekenanya.
“Bagaimana mas…kau sudah memperoleh jawabannya sekarang…?”
“Oh sudah…sudah!”
“Jadi mas setuju usul saya itu…?”
“Setuju. Bahkan setuju sekali!”
“Bulan depan kan mas…?”
“Iya dong.”
“Awas lho jangan sampai lupa. Anto kecil sudah mulai rewel minta ini itu, ngidamnya serba antik kok mas. Maklum kan sudah lima bulan.”
“Sudahlah jangan terlalu kuatir.”
“Mas…mas…”
“Apa Rin…?”
“Kalau malam larut begini, aku merasa kesepian sekali. Aku selalu berharap keindahan tempo hari bisa kita nikmati kembali.”
“Tentu…tentu,!”
“Mas…mas…”
“Ya…”
“Aku rindu sekali.”
“Aku juga.”
“Hmmmm…”
“Sekian dulu ya Rin…sudah ya cayang…daaaag selamat tidur…”
“Daaaag…”
Semoga bahagia calon nyonya muda. Aneh, aku kian ketagihan untuk menggoda orang lain. Kuputar nomor lainnya, suara nenek-nenek yang kelewat parau. Ogah, kuputar lagi, suara laki-laki. Aku tak berminat melayani, maka ketika dia tanya ini itu dan kubiarkan saja, mulai timbullah keqinya. Dia menyumpah-nyumpah seribu satu nama dari kebun binatang hingga ke belantara. Aku ketawa dalam hati. Kuputar lagi nomor yang lain, seorang ibu-ibu menyahut, nampaknya sedang cemas nggak karuan. Ini tentu sebuah obyek yang menarik.
“Hallo….! Ini papi…?!”
“Benar mam….benar sekali. Mami tidak salah.”
“Jadi berita dari kantor itu bohong ya…?”
“Berita apaan…?”
“Tadi siang papi dikabarkan oleh teman sekantor, bahwa papi kecelakaan ketika sedang mengadakan perjalanan dari Jakarta ke Bandung. Dan papi dikabarkan luka berat, sekarang sedang dirawat di RSUP Bandung. Anak-anak yang mengurus ke sana. Saya belum diijinkan dokter menengok, karena kesehatan saya belum memungkinkan. Lagipula saya jadi cemas sekali pap…saya kuatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan…tapi….syukurlah kalau menilik suara papi, kelihatannya papi sehat-sehat saja kan…?”
“Benar sekali mam…papi memang luka tapi sedikit. Tak usah terlalu risau, tak lama lagi segera sembuh. Mami harus bertenang diri, mohon pada tuhan semoga kita mendapat pelindungan dan dijauhkan dari malapetaka. Sudah ya mam…selamat tidur…”
Semoga bahagia nyonya tua. Aku menguap, rasa kantuk tiba-tiba datang menggigit dengan nyerinya. Kuraih selimut dan meluruskan kaki dengan sedikit melepas ketegangan. Aku tersenyum dengan harapan bisa merangkai mimpi yang tadi berantakan. Lagi siap pasang kuda-kuda untuk meluncur ke dunia mimpi yang yahud mendadak telepon disampingku menjerit lagi. Sambal terasi! Aku raih tangkai telepon dengan perasaan jengkel sembilan ratus sembilan puluh sembilan prosen. Syetan mana pula yang gentayangan mengganggu orang pada hari begini.
“Masih ingat suara saya…?”
Hah! Suara cewek…? Aku putar otak, siapa gerangan cewek yang bersuara merdu. Oh ya, Erna! Ya, tak salah lagi pasti dia.
“Erna bukan…?”
“Eh, tajam benar pendengranmu mas.”
“Tentu dong….spesial buat suara Erna.”
“Duileh genitnya.”
“Eh, ngomong-ngomong tumben hari begini Erna telepon saya tentu ada perlu yang amat sangat penting barangkali.”
“Tentu saja. Abis kangen sih mas…Erna selalu deh mimpi ketemu mas. Sampai-sampai nggak bisa tidur semalaman ini. Bagaimana dengan mas sendiri…?”
“Oiii…kalau saya bukannya tidak bisa tidur, bahkan juga nggak enak makan nggak enak ber…eh, bukan! Nggak enak makan nggak enak minum. Bahkan kalau Erna mau tahu, sudah sepekan ini aku selalu teringat kau Er, wajahmu selalu mengisi ruangan ini. Dering suaramu selalu mengiang di telingaku. Bahkan tiap detik, eh, tiap denyut jantungku berdetak selalu bunyi Erna…Erna…Erna…begitu seterusnya.”
Dari seberang terdengar tawa kecil Erna yang menggemaskan. Demi Tuhan saat itu dibenakku tiba-tiba timbul bayangan yang amat mengasyikkan, maka ma’afkanlah tingkahku jika tiba-tiba lantas aku menyambar bantal guling dan memeluknya kuat-kuat. Tapi untunglah, hal itu tak bisa berlangsung lama, karena dari pantulan cermin yang kupasang di dinding aku jadi tahu gambaran diriku. Malunya meck! Aku lempar bantal guling dan melanjutkan pacaran dengan Erna.
“Eh…mas sejak kapan sih belajar merayu…kok tumben malam ini begitu maut…!”
“Ah jangan berolok dong…soalnya anu….ah, aku begitu bahagia malam ini. Ya, bahagia bisa ngobrol lama-lama denganmu Er. Sebenarnya ada segudang kata cinta yang bertengger di benak ini untuk kubisikkan padamu, tapi nyatanya setelah bisa ngobrol langsung begini, segalanya bumpet deh. Duh, betapa tidak berdayanya beta.”
Erna tertawa kecil lagi, kali ini lebih merangsang, sehingga membuat aku beberapa detik mabuk kepayang. Aku kecup tangkai telepon berkali-kali. Dan baru selesai, eh, maksudku baru kuhentikan ketika mendapat peringatan dari Erna.
“Idiiiih….! Nggak lucu ah!”
Aku nyengir sendiri, dan sempat kulirik wajahku yang beracting di cermin sana. Duh, betapa tidak lucunya. Mulut mencong mata kehausan, sungguh deh, aku tak sampai hati menceritakannya. Maka agar aku tak terlalu terpusat pada ketololanku, aku ngobrol lagi sekenanya dengan Erna. Pokoknya yang serba lucu dan mesra. Sekalipun nggak pernah kusinggung tentang pembunuhan sadis. Tentang mayat yang dipotong tiga belas bagian dengan sekian ratus sayatan. Nggak pernah kusinggung tentang pendapat beberapa aparat kepolisian yang lagi-lagi menyalahkan generasi muda. Nggak pernah kusinggung tentang penodongan dan perkosaan. Pokoknya aku ingin membahagiakan Erna meskipun cuma lewat bisikan dan rayuan. Tapi anehnya setelah lewat beberapa jam, suara Erna kian lama kian berubah menjadi parau. Dan akhirnya membesar seperti suara laki-laki. Aku benar kaget ketika diakhir pembicaraan kudengar tawanya yang sudah tidak asing lagi itu. Ya, tak salah lagi! Pasti suaranya. Maka tidak ada gading yang tak retak. Malam itu aku menempati rekor paling tinggi dalam hal sumpah serapah selama hidupku. Aku mengutuknya untuk dua puluh satu turunan. Biarlah ada dewa lewat atau malaikat lewat, yang penting aku tidak ingin jadi orang memendam batu karang di dalam hati. Aku ingin agar dendam dan kesumat sekali ini bisa meledak untuk kemudian netral. Aku memang telah dipermainkan, karena tak bisa membalas, aku balas mempermainkan orang lain. E…..e dia tetap tak mau terima kenyataan itu. Dia balas lagi mewakili orang yang kupermainkan. Sungguh pahlawan atau pengecut julukan yang tepat baginya. Tapi yang jelas dia memang tipe orang usil yang pernah menggangguku belakangan ini. Aku banting lagi tangkai telepon itu lebih keras, praak! Aku sambar selimut dan alhamdulillah malam itu aku bisa tidur dengan nyenyak, mungkin karena capeknya. Yang jelas aku tak bisa mimpi, nggak bisa mengkhayalkan yang bukan-bukan.
Sesuai dengan janji yang telah diucapkannya sendiri, yaitu untuk mengontaku pada tiap tengah malam guna membicarakan hal-hal yang amat selubung itu, maka kini beberapa detik lagi lonceng segera bergoyang dua belas kali. Aku menunggu dengan hati dag dig dug. Bagaimana tidak? Menghadapi orang semacam dia memang layak untuk bercuriga. Segalanya serba penuh misteri. Dari asalnya, suaranya, keusilannya. Dan pengetahuan tentang diriku yang melebihi seorang intel. Mungkin dia juga tahu bagaimana isi benakku ketika melihat wanita cantik lewat di depan hidungku. Tapi peduli amat, bagiku dapat teman ngobrol yang mengasyikkan atau menjengkelkan hampir tak ada bedanya. Di kota besar semacam Jakarta, teman saja musti berharga duit. Terlalu dingin kita disangka angkuh, kelewat ramah kita dicurigai kalau-kalau mungkin mau menipu.
“Kriiiing…..kriiiiiing……!”
“Hallo…. Selamat malam….”
“Bagaimana sudah siapkah anda…maaf sekarang saya tak memanggil bapak lagi, saya merasa lebih sreg panggil Anda agar persahabatan kita bisa lebih erat. Setuju bukan…?”
Aku mengangguk. Eh, bukankah aku sedang bicara di telepon, maka buru-buru kujawab, “ya”.
“Bicara soal dunia gaib, dunia supra rasional adalah juga berbicara soal yang tak bisa dijangkau oleh akal pikiran. Bicara tentang sesuatu yang ada di atas akal kita. Maka sebelum kita mulai, hal-hal apa saja yang mendorong Anda sehingga Anda menyenangi hal-hal semacam itu.”
“Banyak. Misalnya tentang adanya kekuatan yang tak kelihatan yang ada dalam diri kita. Kekuatan mempengaruhi orang lain. Kekuatan untuk mengalahkan lawan tanpa menggunakan fisik. Dan kekuatan-kekuatan untuk masuk dan menjangkau pada dunia silam dan yang akan datang. Semuanya serba mengasyikkan untuk dipelajari apalagi dipraktekkan.”
“Jadi kalau disempitkan permasalahan kita, kamu percaya akan adanya Ratu Adil yang kelak akan muncul itu….?”
“Tentu saja dong.”
“Alasannya…?”
“Hal-hal gaib tak bisa dijelaskan dengan rangkaian kalimat analistis. Lebih tepatnya sebuah naluri yang menuntut jalan pikiran kita.”
“Jadi menurut perkiraan Anda siapa yang kelak bakal jadi Ratu Adil di negeri ini….?”
“Saya.” Aku jawab dengan mantap.
“Ha…ha…ha…anda jangan berguaru. Ratu itu wanita. Apakah Anda wanita…?”
“Kalau saya yang jadi, bukan Ratu Adil namanya. Raja Adil ngerti nggak…?”
“Itu menyalahi konteks dari mbah Joyoboyo.”
“Biarin! Pokoknya sudah lama saya dapat wangsit tentang itu. Bahwa kinilah saatnya saya membuktikan kepada rakyat. Dia eh, maksudku para rakyat sudah lama menunggu kehadiran saya di tengah mereka. Mereka harus cepat ditolong, kalau tidak saya sangat cemas bagaimana nasib mereka. Saudara tahu bagaimana keadaan zaman kini…?”
“Sssst….! Anda nggak takut diamankan…?”
“Takut sih sebenarnya takut. Tapi apa bedanya kita diam saja juga dihantui ketakutan. Tidak diam juga dibayangi ketakutan. Jadinya gimana dong…?”
“Ya nngak tahu itu urusan anda.”
“Lho…saudara musti konsekuen dong! Kalau berani menghidupkan api musti juga mau menjaga jangan sampai api menjalar ke mana-mana, apalagi sudah menimbulkan kebakaran, lalu saudara ambil langkah seribu. Kawan apa itu namanya….?”
“Jangan kaget ya, itu tugas saya.”
“Apa…..? Tugas saudara….?”
“Ya, mencari bibit-bibit baru. Mencari calon pionir.”
“Dan menyulut api….?”
“Tentu saja, bagaimana semangat bisa berkobar tanpa disulut oleh seorang motivator.”
“Tapi saudara bicara belit. Pada hal-hal yang menyulitkan Anda tak mau sudi ikut campur. Jangan mau nangkanya sementara getahnya buat orang lain. Saudara ini siapa sih sebenarnya….?”
“Ingin tahu saya…..?”
“Ya!”
“Saya selalu bernasib malang. Saya selalu dijadikan sasaran kambing hitam pada semua persoalan yang jelek.”
“Saya tak mengerti maksud saudara.”
“Saya selalu sering kena kutuk. Saya sudah dicap dalam kehidupan ini dengan daftar hitam. Makanya saya takut menyebutkan identitas saya, sebab semua orang kalau sudah tahu siapa saya sebenarnya, pada lari tunggang langgang. Jadinya saya merana. Saya kehilangan sahabat. Kehilangan kawan karib. Oleh sebab itu saya juga ragu-ragu mengucapkan siapa diri saya sebenarnya pada anda. Padahal kalau Anda mau bersahabat dengan saya, saya telah sedia ide-ide besar. Ide-ide cemerlang! Yang akan mengangkat harkat anda.”
“Itu tidak selalu benar. Coba katakan siapa Anda sebelum telepon ini kututup. Belum menyebutkan siapa anda, toh Anda telah merampas sebagian dari kebahagiaan saya, dengan cara Anda yang luar biasa itu.”
“Jadi Anda juga ada perasaan tidak senang pada saya?”
“Kadang sedikit, kadang banyak, tapi memang ada.”
“Kalau begitu Anda tak usah kaget, karena saya adalah ! Syetan !”
“Ha….?!!!”
Telepon ku banting. Fantastis pada akhir rekening aku kena tarif pulsa sedikitnya lima juta! Duh…..!


Mohon Perhatian! 
Dengan penuh kerendahan hati kami mohon pengertiannya agar tidak meng-copy-paste cerita yang termuat di blog ini kecuali seizin dari penerbit - kombatbuku@gmail.com



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment

Contact