by Darminto M Sudarmo
Tepat jam dua belas tengah malam, terdengar
dering bel telepon di rumah saya. Suara itu amat mengusik telinga, bahkan
terasa menghujam ke ulu hati. Akibatnya jantung saya berdegup tak ketulungan
kerasnya. Berbarengan dengan bunyi itu, sebuah lukisan yang berisi wajah-wajah
humoris dunia, seperti Chaplin, Mark Twain, Bob Hope, dan lain-lain, bergerak
dengan amat misterius, Bergoyang ke kanan bergoyang ke kiri, ke atas ke bawah.
Buku-buku yang berjajar di rak saling berdesak-desakan.Pena di atas meja
menari-nari dengan sendirinya. Sandal jepit yang hendak saya pakai,
meloncat-loncat bagai katak, menghindar begitu saya bangun dari pembaringan.
Dan tape-recorder yang sejak semula memang tak berisi kaset, tiba-tiba mendendangkan
lagu yang amat memikat. Lagu jenis apa saya benar-benar tak tahu. Tetapi berani
sumpah, lagu itu cukup merdu untuk dinikmati di tengah malam sunyi.
Gagang telepon saya raih. Lalu sebuah suara
tanpa basa-basi langsung menyampaikan maksudnya.
“Kami telah sepakat untuk mengadakan sebuah
seminar tentang manusia dan humor di tempat Anda. Di kamar Anda, maksud kami.
Ya, persis di kamar Anda. Dan satu-satunya warga manusia yang mendapat
kehormatan hadir, cuma Anda, sebab Anda telah berbaik hati menyediakan tempat
dan fasilitas. Sekian teng kyu! Siap-siaplah, Bung.”
Klotak! Gagang telepon saya letakkan dengan
gugup. Bulu roma saya merinding. Namun tiba-tiba ada sebuah tangan halus
membelai kuduk saya, sehingga merindingnya tak berkelanjutan. Bahkan bulu-bulu
yang berdiri itu, karena belaian halus menjadi tertidur lagi. Sedikit tenteram
hati saya.
Lewat ventilator yang menganga tanpa kasa,
masuklah angin malam yang membuat tubuh saya kedinginan bukan main. Saya meraih
rokok dan korek api. Ketika hendak menyalakan korek, tahu-tahu rokok telah
menyala dengan sendirinya. Cihuuuuui! Asyik juga, rek. Bagai menikmati servis
hasil teknologi tingkat supra.
Bersamaan dengan itu, berhentilah semua
kegiatan tadi. Lukisan berhenti. Buku-buku diam beku. Tape recorder juga. Sepi
untuk beberapa saat. Saya merasa sangat sendiri. Terasing dan lengang! Dan
sebagai gantinya muncullah sesosok tubuh yang tak bisa saya bayangkan kepada
Anda macam apa ujudnya (sebaiknya Anda bayangkan sendiri). Sosok itu berkata
dengan suara yang besar dan berat. Memberikan sebuah benda yang harus saya
kenakan pada saat ikut menghadiri pertemuan yang konon amat penting itu.
“Oke … oke,” kata saya.
Sosok tubuh itu lalu menghilang. Saya
berpakaian serapi mungkin, tetapi beberapa suara mentertawakan tingkah saya
itu. Heh! Apakah saat ini saya tengah menjadi tontonan mereka; warga yang
menyebut dirinya bukan manusia, tetapi juga bukan binatang … itu?
Setelah saya berpakaian rapi, saya mencoba
mengenakan benda yang diberikan oleh siluman tadi. Dan byaaaar! Betapa saya
kaget. Saya ini berada persis di tengah-tengah ruang pertemuan yang luks dan
intelek.. Rata-rata dari mereka mengenakan kaca mata tebal. Entah minus atau
plus. Seorang yang berfungsi sebagai moderator mulai membuka suara.
“Selamat datang untuk warga kehormatan,
meskipun kedatangannya tak melupakan budaya jam karet. Tak apalah itu juga
salah satu bentuk humor dari warga manusia barangkali,” hadirin menyelingi
dengan tawa yang riuh dan demokratis.
“Saya harap Anda tak kecil hati, meski Anda
sendirian. Terus terang saja diskusi ini akan memungkinkan tumbuhnya
peluang-peluang yang lebih demokratis dan sehat. Percayalah, kami biasa
menghina orang lain dan diri sendiri. Kami biasa dikambinghitamkan orang lain.
Itu wajar saja terjadi dalam budaya silumaniawi. Nah, pembicara, Anda
dipersilakan memulai acara sesuai topik yang Anda bahas, ‘Humor sebuah dunia
yang tak kenal dimensi’”
Pembicara mencolek moderator lalu
membisikkan sesuatu. Moderator bicara lagi.
“Maaf hadirin, saya salah menyebutkan topik
tadi, seharusnya bunyinya demikian, ‘Humor, sebuah dunia yang kaya dimensi’,”
moderator berhenti. Pembicara memeriksa makalahnya, tetapi ia geleng-geleng
kepala lagi, mencolek moderator dan membisikkan sesuatu. Moderator terperanjat,
ia salah dengar lagi. Ia salah menyebutkan judul, eh, topik yang dimaksud
pembicara.
“Maaf hadirin, seharusnya bunyinya
demikian, ‘Humor, sebuah dunia yang kaya ruang …’”
Hadirin tertawa, entah apa yang
ditertawakannya. Saya hanya diam termangu-mangu.
Lalu moderator melanjutkan. “Sejak dulu Pak
Pembicara memang alergi sama kata-kata asing, maka untuk kesalahan saya yang
amat fatal ini, saya bersedia untuk dijatuhi sanksi.”
Kembali hadirin tertawa. Demikian pula
saya.
Ruangan itu kemudian kembali hening.
Pembicara muncul di podium dengan anggunnya. Mengenakan kaca mata dengan kalm
dan tenang. Memeriksa mike sudah bisa bunyi atau belum. Sebagaimana yang biasa
dilakukan orang pembicara itu mengketuk-ketukkan ujung jarinya untuk mengetahui
seberapa jauh efek suara yang bisa diperoleh dari alat yang bernama corong atau
loud-speaker itu. Di luar dugaan bunyi yang muncul ternyata amat menggelikan
paling tidak bagi saya, sehingga saya tak bisa mengendalikan diri untuk tidak
tertawa. Dari speaker terdengar bunyi.
“Duuuuuut … duuuuuut … duuuuuut!” persis
orang kentut.
Dan anehnya semua hadirin diam tepekur
dengan sikap amat hormat. Edan! Apa-apaan ini? Belakangan baru saya tahu, bahwa
bunyi itu bukan berasal dari mike yang diketuk-ketuk., melainkan
sungguh-sungguh keluar dari bagian terpenting sang pembicara.
“Hadirin …..!” kata pembicara memulai.
“Telaah tentang humor telah berulang kali
dilakukan oleh manusia. Baik yang di Jakarta oleh LHI, di Semarang oleh
Pertamor, atau di TIM belum lama ini. Semua pembicara mencoba membuat
kesimpulan atau batasan-batasan yan maha hebat., sehingga membuat orang-orang
awam menjadi ngeri dan tiba-tiba jadi mumet, padahal tak sakit kepala. Hebatnya
di antara mereka ada yang setuju bahwa para pencipta humor itu memiliki ai-kyu
yang rata-rata masuk kategori tinggi. Anda semua sudah tahu toh apa itu ai-kyu?
Kalau dalam bahasa kita seringkali disebut Intelegence of Quotion.
Ini sungguh gejala polusi argument yang
gegabah. Kita harus menolaknya. Sebab orang yang disebut IQ-nya tinggi itu sesungguhnya
cuma memiliki tiga karakterisasi. Pertama, ramah-tamah; kedua, dermawan;
ketiga, cinta damai. Sedang para humoris itu? Kerjanya tukang ngritik,
mengejek, nonjok kanan-kiri, ngece, bahkan kegatalan untuk menghina. Bah!
Saudara-saudara tahu toh slogan dan motto
humor yang sangat populer itu? ‘Tertawa Itu Sehat’. Tetapi kenyataannya, dengan
adanya orang yang gemar ngece, menghina, mengecam, akhirnya apa yang terjadi?
Keruh, orang saling membawa kesumat dan kejengkelan dalam hati. Akibatnya
kondisi itu tak nyaman lagi. Kondisi yang tak nyaman, mana bisa disebut sehat?
Inilah.”
Suasana hening sekali. Sepi dan sangat
mati.
Tiba-tiba terdengar sebuah suara tawa yang
melengking menyibak sepi. Suara itu lalu lenyap lagi. Pembicara dengan tenang
memberi komentar atas reaksi si pentertawa tadi.
“Saudara-saudara tak usah heran! Tawa itu
sebuah reaksi dari makhluk yang tak setuju argument saya. Celakanya makhluk itu
datang kemari tanpa diundang. Kenapa bisa begitu? Itulah, soalnya dia setengah
manusia, setengah siluman.”
“Siapa, Pak?” tanya moderator dengan gesit.
“Arwah Setiawan.”
Semua hadirin terpingkal-pingkal. Termasuk
juga saya tentunya. Semua yang hadir tahu, Arwah Setiawan itu adalah ketua
Lembaga Humor Indonesia (LHI) pada periode itu, yang nama depannya agak aneh:
arwah. Artinya, jiwa orang yang sudah meninggal.
Setelah puas mengupas secara antithesa
terhadap semua anggapan yang selama ini hidup dan subur dalam benak manusia,
pembicara pun mulai meluaskan pembahasannya. Tentang tetek-bengek, hingga
akhirnya sampai pada gugatan terhadap pada makhluk yang bernama manusia.
“Manusia itu memang satu ujud dari humor
yang paling unik dan canggih. Perilakunya yang serba kontradiktif, hipokrit,
dan lain-lain. Bahkan banyak yang sampai pada tingkat pengecut. Coba Anda
sekalian simak, setiap muncul sebuah perilaku buruk, tengil, dan sebagainya,
dikatakan oleh mereka, itu semua gara-gara setan. Padahal, kami tidak pernah
bilang, bahwa semua keburukan yang dilakukan warga kami adalah gara-gara
manusia. Ya toh? Meneliti hal ini, mestinya manusia sudah saatnya belajar
sportif, jantan, dan jangan suka main tunjuk dan tuduh. Seandainya saya jadi
hakim kehidupan, saya akan tanya, coba buktikan bahwa yang bersalah itu setan.
Atau setiap kesalahan karena setan. Nah mati kutu, lu!” Tepuk tangan hadirin
nyaris membuat ruangan runtuh.
Saya geleng-geleng dalam hati, setan pun
punya budayawan dan cendekiawan. Ini baru satu siluman yang ngomong, lalu kalau
semuanya ikut ngomong, apa jadinya aku?
Hadirin makin riuh mentertawakan kenyataan
yang barusan dipaparkan. Celakaaaaaanya …, sayalah kini yang jadi pusat
sindiran mereka. Mereka seakan dapat saluran paling empuk untuk menumpahkan
kegatalannya.
Saya celingukan ke sana ke mari. Semuanya
kini mengolok-olok saya. Saya tak kuat. Sungguh pedih menjadi bahan humor.
Obyek humor. Sungguh, deh, sakit hati sekali.
Lalu saya ingat sesuatu. Saya lepas benda
laknat yang menempel di tubuh saya, tapi suasana setan masih lekat. Lalu saya
baca karomah, sebuah doa penolak setan dalam bahasa Arab, “La fata ila wala saefa ila dhal fakhor!” Cihuuiiiii saya menjumpai
diri saya di tempat tidur kembali.
Daripada mumet-mumet, mendingan melanjutkan
tidur sambil membayangkan kekasih tercinta dalam pelukan. Hmm…!
0 comments:
Post a Comment