by Darminto M Sudarmo
“Hoah ha….ha…..ha…..ha…..! Lengkaplah sudah
hidupku! Minum….merenung…..membual…..mengejek…...menghibur diri!
Hi….hi….hi….semua sudah aku jalani! Tinggal apa lagi…..? Hidupku sudah
puas…..biar tanggal dua lima kiamat! Biar tanggal tiga belas kiamat……! Biar
esok pagi kiamat! Aku sudah tak rugi! Nyem….nyem….nyem….nyem….!” Lelaki itu
meremas leher Martini dengan mesra. Menciumnya dengan penuh gairah. Kemudian
menimang-nimang penuh rasa kecintaan.
Sorot lampu hijau temaram cukup membuat jidat lelaki itu bercahaya
keklimisan. Klab malam itu penuh diisi manusia. Laki-laki, perempuan, jantan,
betina. Yang montok maupun yang ceking. Yang gendut maupun yang kaya biting.
Semuanya dalam keadaan bertele-tele, mabuk. Semua ngoceh ngalor-ngidul. Di
sudut yang paling remang seorang lelaki gendut sibuk meremas buah apel yang berwarna
merah kehijau-hijauan. Sambil nyengir-nyengir kuda. Di sudut yang lain, seorang
wanita terkikik-kikik sendirian sambil asyik membelai-belai sepotong pisang
ambon.
Setelah puas menggumuli dan menyikat habis seluruh permukaan Martini
yang mulus dan sejuk itu, lelaki berjidat klimis berdiri tegak. Usahanya tak
tahan lama, sebab beberapa saat kemudian dia limbung dan gentayangan. Tapi
karena dia yang termasuk paling jagoan di ruangan itu, maka kelimbungannya itu
justru dia manfaatkan untuk bergoyang karawang. Idenya ini ternyata cukup
menghasilkan. Dia mampu berdiri dengan sikap yang cukup berwibawa.
Tangan kanannya yang mencekik leher Martini tiba-tiba bergerak ke
atas dan tiba-tiba pula tangan itu bergerak ke bawah dengan kecepatan yang amat
dasyat sehingga sedetik kemudian ruangan terdengarbunyi. “Braaaaaaaak!!”
Ruangan tiba-tiba sunyi. Semua pemabuk kaget. Semuanya memusatkan
pikiran pada suara yang berpengaruh itu. Lelaki itu lalu memberi isyarat pada
salah seorang yang terkantuk-kantuk dekat sound system.
“Bunyikan semua musik bersamaan!” teriaknya menggeledek.
Dalam saat yang bersamaan semua jenis musik berbunyi. Semua musik
dari Jazz, Disko, Gamelan, Jaipongan, Dangdut, Pop, Klasik, Simphoni tumpah
jadi satu. Semua distel dalam volume pol, volume tinggi. Dan hasilnya luar
biasa. Semua pemabuk bangkit dan menari. Semua bergerak seperti dilanda bencana
gunung meletus. Tapi semua jantan dan betina itu berbahagia. Buktinya setiap
orang bisa menyelaraskan diri pada musik yang disenanginya. Yang senang cha-cha-cha
bergoyang sebagaimana gerak musik itu. Yang senang blero. Yang gemar gamelan
pun berpentalitan, dan jingkrak-jingkrak sesuai gerak buto cakil. Yang gemar
musik kalem pun pada melantai sebagaimana musik lembut. Berpelukan mesra, dan
sesekali saling membersihkan bibir partnernya masing-masing. Sebab bibir mereka
terlalu banyak berisi busa. Ada busa superaktif ada yang busa supermie.
Berlepotan. Sementara seorang laki-laki yang tadi gemar bercanda dengan sebuah
buah apel, kini sudah bercanda dengan dua buah buah apel. Dan wanita penggemar
pisang ambon tadi pun sudah menemukan pisang ambon yang lebih bagus. Sebab
bentuknya bisa dikehendaki menurut kebutuhan. Bahkan berkumis pula.
Lampu di ruangan itu berganti-ganti dengan amat sadisnya. Hijau,
kuning, biru, merah tua, merah muda, hitam, putih, abu-abu dan sebagainya. Dan
seolah telah terjadi konsensus sebelumnya bahwa pada saat pergantian lampu tiap
pasangan harus berganti partner. Variasi ini cukup menghebohkan. Tiap saat
pergantian terjadi sesuatu yang menggelikan dan kadang juga menjengkelkan. Ada
yang baru separo ronde sudah harus meninggalkan dan berganti yang baru. Padahal
seringkali pada saat pergantian semacam ini tidak mustahil seringkali salah
comot. Mau comot bakso keliru bakmi. Dan sebagainya. Dan pada saat lampu putih
bersinar dengan terangnya, tampaklah di mata kita, bagaimana bentuk pakaian
mereka yang kalang kabut, seperti bentuk pakaian kaum gypsi. Ada juga bahkan
yang karena demikian gerah terpaksa dengan sopan memerintahkan pakaiannya
sendiri meninggalkan tubuh sang tuan. Hal ini terutama dilakukan oleh mereka
yang senang gerak lincah. Dari pelukan yang satu jatuh ke pelukan yang
kesepuluh dan seterusnya.
Di saat hiruk-pikuknya pesta pora menyambut hari kiamat itu
berlangsung. Lelaki misterius itu tetap berdiri dengan muka kaku. Dia hanya
oleng ke kiri atau ke kanan menurut gerak yang ditimbulkan massa penari-penari
itu. Tapi karena pengaruhnya amat besar, cukup dengan sekali isyarat seluruh
kegiatan musik itu bisa berhenti dalam sekejap saja. Secepat seorang copet
menyikat dompet mangsanya. Begitu musik berhenti, suasana pun berubah menjadi
sunyi. Sesepi kuburan. Di luar dugaan siapa saja, tiba-tiba lelaki itu berseru
dengan amat berangnya.
“Kalian semua goblok! Kalian semua egois! Kalian semua hanya tahu
membuat enak perut sendiri! Kalian sungguh manusia-manusia yang tak tahu
diuntung! Kalian mustinya tahu. Kalau aku juga butuh seperti yang kalian
butuhkan. Mengerti?”
Semuanya diam seperti seekor kera kena tembak. Ketap-ketip.
“Tolol! Mengertikah kalian omonganku……?!”
“Tidaaaaaaaaaaaaaaaakkkkk!!!”
“Nah, bagus! Itu tandanya bahwa kalian memang betul-betul manusia
pandai. Nah bawa padaku seorang yang tercantik di antara kalian! Seorang wanita
kataku. Jangan sekali-sekali seorang banci. Mengerti…..?”
Lelaki itu menunggu beberapa menit. Tak juga ada seorang membawa
wanita padanya.
“Heh! Tulikah kalian…..?!”
“Yaaaaaaaaa….!!!”
“Bagus! Berarti aku mesti memilih sendiri cewek tercakep di antara
kalian. Nah, setuju……?????!”
“Tidaaaaaaaak!”
Lelaki itu berjalan dengan langkah pasti. Setelah lirik ke sana
lirik ke sini, matanya yang berwarna coklat kehijau-hijauan itu segera
menemukan sebuah pemandangan yang luar biasa, seorang wanita cantik telah
berdiri dengan anggunnya. Dia cuma mengenakan rambutnya yang panjang sebagai
gaun melilit tubuh.
“Bukan main! Kau kemari nona manis…..” Perintah lelaki itu dengan
muka merah. Darahnya tiba-tiba mendidih. Jidatnya pun tiba-tiba selicin aspal
Jagorawi.
Wanita itu datang menghampiri dengan langkah yang menggoncangkan
dompet. Dua orang lelaki introvet tiba-tiba pingsan menyaksikan si bidadari
dari negeri dongeng ini. Lima orang pemuda ingusan terpekik sambil menutupi
celananya yang tiba-tiba basah.
“Namamu siapa….?” Tanya lelaki itu.
Wanita itu menatap lelaki misterius dengan pandangan penuh sihir,
sehingga ulu hati si misterius serasa mau copot, saking nikmatnya.
“Kau perlu namaku atau diriku…..?”
“Hoa….ha….ha….ha! Terutama perlu tubuhmu…..!”
“Kalau itu yang kau perlukan kenapa tak segera kau lakukan heh.”
“Oke….tunggu. Musiiiiiiiiiiiiik
bunyikan yang duduk melingkar. Kalian hanya boleh menonton. Kami akan
demonstrasi. Bukan demonstrasi untuk mengusik kursi kaum pejabat, ngerti…..? Tapi
demonstrasi bagaimana cara menghayati sisa-sisa kenikmatan dunia. Ngerti…..?”
Lengkingan musik tumpah. Rombongan jantan betina itu pun duduk
melingkar dengan sikap yang amat rapi. Lelaki misterius dan wanita berkebaya
rambut segera beraksi bagaikan dua ekor ular yang kalm tapi ganas. Saling
membelit, saling mematuk, saling membetot. Tarian itu persis balet yang
diciptakan oleh Farida Pasha. Ada gaya nungging ada gaya telentang. Ada gaya
kabur setelah dapat mangsa dan lain sebagainya. Setelah puas melakukan babak
demi babak penampilan, lelaki itu segera memberi isyarat pada bagian musik dan
lighting. Serentak musik berhenti, lampu padam total. Keadaan sunyi sepi, sepi
sekali. Gelap pekat, hitam lebam.
“Hei….lakukan seperti apa yang kulakukan!” Perintahnaya dengan napas
ngos-ngosan.
Semua rombongan yang jumlahnya susah dihitung itu segera melakukan
apa yang dilakukan lelaki misterius itu.
“Kalian tahu apa yang kulakukan?” tanya lelaki itu seolah kurang
yakin dengan perintahnya sendiri.
“Tahuuuuuuu!” jawab orang-orang itu serempak.
“Apa coba…?”
“Yang kau lakukan…..persis seperti yang kami lakukan betul kan?”
“Betul. Nah aku kini sudah melakukan sesuatu yang lain dari tadi,
apakah kalian juga telah melakukan sesuai dengan yang kulakukan saat ini?”
“Sudah.”
“Apa coba….?”
“Ya, begini.”
“Begini bagaimana….?”
“Begini ini lho.”
“Oh begitu…..? Okey! Nah kini aku berubah lagi. Apakah kalian juga
sudah berubah….?”
“Sudah!”
“Bagaimana….?”
“Pokoknya sudah tidak seperti tadi lagi.”
“Bagus! Sekarang aku sudah berubah lagi. Kalian juga sudah….”
“Hampir.”
“Kok hampir….?”
“Yah, memang kenyataannya demikian. Nah, sekarang sudah berubah
seperti yang kau lakukan.”
“Betul itu….?”
“Lho kau itu bagaimana….? Kalau tidak percaya boleh chek!”
“Okey! Bagus….bagus!”
Mendadak di luar dugaan
siapapun lampu kuning terang benderang bersinar dengan ganasnya, belum ada sedetik
disusul lampu merah darah yang jarang sekali dinyalakan kalau tidak keadaan
amat darurat. Memang saat itu suasana betul-betul amat gawat. Dua menit sejak
lampu merah menyala, di langit terdengar suara jledor-jledor. Gunung-gunung
pada masuk angin sehingga muntah-muntah karena kedinginan. Dan bumi
terbelah-belah menjadi serpihan-serpihan kecil. Gedung-gedung ambruk, karena
ngambeg. Gerombolan jantan betina yang saling contoh mencontoh soal-soal yang
terjadi di tempat gelap itu pada kelonjotan tertimpa tiang dan dinding yang
beratnya berton-ton. Lelaki misterius itu seperti takut diburu waktu. Lalu dia
memacu sisa kehidupan yang bisa dihirupnya. Tapi malang, seekor tokek yang
jumlahnya seratus lebih (entah datang dari sarang mana) jatuh tepat di bagian-bagian
yang rawan dari lelaki yang misterius itu. Sehingga dengan sadar dia berteriak
amat nyaring. “Auuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu!!”
Seorang wanita berdaster tipis menghampiri lalu menggoyang-goyang
tubuh lelaki misterius itu.
“Pak ini sudah jam satu malam. Tak baik kalau terlalu kebanyakan
minum. Kesehatanmu rusak, dan lagi….kenapa kau berteriak seperti itu?”
Lelaki misterius itu, yang ternyata adalah seorang kolomnis sebuah
surat kabar di Jakarta, terbatuk-batuk, sambil menggosok-gosok mata.
“Hah! Sudah berapa jam aku ketiduran Bu….?”
“Tiga jam Pak!”
Lelaki itu menguap. Dia comot tiga lembar tulisannya yang berserakan
di lantai. Lima buah majalah mingguan dan enam buah koran pagi sore berserakan
di mana-mana.
“Aku gemas Bu….baca koran hari ini! Semuanya brengsek!”
“Apanya Pak yang brengsek….?”
“Orang-orangnya!”
“Aku benar-benar tak mengerti maksudmu Pak….?”
“Ah! Kau banyak tanya saja sih Bu. Baca saja itu koran edisi
pertengahan Mei 1998.”*****
Mohon Perhatian!
Dengan penuh kerendahan hati kami mohon pengertiannya agar tidak meng-copy-paste cerita yang termuat di blog ini kecuali seizin dari penerbit - kombatbuku@gmail.com
0 comments:
Post a Comment