by Darminto M Sudarmo
Pembaca yang baik, perkenalkan nama saya,
Gludug. Saya berasal dari negara yang tak Anda ketahui. Juga tidak kuketahui.
Usia saya kini sekitar tiga puluh tahuan. Tetapi jangan terkecoh. Mungkin saja
saya tak bisa tambah tua atau tambah muda untuk beberapa saat lamanya. Profesi
saya banyak, apa yang bisa dilakukan Anda, saya bisa lakukan. Tetapi apa yang
saya bisa lakukan, belum tentu Anda bisa lakukan. Saya pun juga bisa hidup
dalam zaman apapun, kapanpun, bagaimanapun. Dalam hidup ini saya punya misi,
yaitu ingin selalu membuat berarti hal-hal yang nampaknya biasa saja. Dan
membuat lebih berarti dari hal-hal yang dirasa ada gunanya.
Saya suka makan yang Anda makan. Saya suka
minum, apa yang Anda minum. Saya suka menikmati segala yang Anda nikmati.
Tetapi saya tidak tahu persis, kapan saya lahir. Siapa yang melahirkan saya.
Tahu-tahu sudah gede begini. Nah, saya punya banyak pengalaman. Saya bisa
menikmati banyak hal, sebab saya punya sebuah indera unik yang saya sebut,
tembus rasa tembus pandang. Indera ini bisa menuntun saya pada keadaan yang
sesungguhnya muskil dilakukan oleh orang lain. Kalau Anda memang tertarik, saya
bakal menuturkan kepada Anda segala yang telah tampak maupun yang akan tampak.
Suka maupun duka. Tapi satu hal, bukan sekali-sekali apa yang Anda hadapi
adalah semacam gerombolan metafor atau setumpuk dongeng sesudah tidur. Semua
bukan itu, tapi saya tak bisa mengatakan apa namanya. Sebutlah bahwa semua itu
adalah itu. Semua ini adalah ini. Semua mereka adalah mereka. Dan seterusnya,
dan seterusnya. Jangan bela saya, jangan musuhi saya. Bersikaplah Anda sebagai
saya.
Hallo Anda! Dengan sengaja, saya
melemparkan diri saya ke dalam arena perebutan medali di arena PON XI yang
terjadi di Jakarta. Sebuah ibukota yang ada di negara Indonesia. Dalam arena
perebutan prestasi dan prestise ini, saya ternyata lebih cenderung memilih
sebagai wartawan. Ya, kali ini profesi saya adalah wartawan. Tetapi sasaran
yang harus saya bidik baik dalam bentuk wawancara atau foto, sama sekali saya
mengambil sudut pandang yang lain. Lain tentu saja menurut saya. Mudah-mudahan
Anda juga.
Ketika saya berjalan santai di sebuah
lapangan yang cukup luas. Seorang lelaki bertubuh tinggi, yang mungkin saja
centeng, eh tenaga keamanan, dan bertubuh kekar, berkumis lebat, langsung saja
menegur dengan suara kasar.
“Hei! Sampeyan siapa ha?! Bawa kamera, bawa
notes putar-putar di daerah sirkit.”
Saya tergagap karena tak menduga mendapat
pertanyaan seperti itu.
“Anu, saya Gludug, Mas.”
“Mau gludug mau petir kek saya nggak
peduli. Pokoknya sampeyan harus segera angkat kaki dari sini.”
“Sebabnya?”
“Banyak tanya pula. Lihat di dadamu tak ada
inisial orang dalam. Pokoknya cepat minggat, kalau nggak gua tonjok lu.”
“Lho, lho sabar. Soal tanda itu, barangkali
Anda salah lihat. Saya punya.” Dia langsung kaget, begitu melihat inisial yang
dimaksud yang semula tak ada kini jadi ada.
“Hah! Tak mungkin. Sampeyan tukang sihir,
ya?”
“Jangan nuduh yang bukan-bukan, sampeyan
saya laporkan ke ketua panitia bisa dipecat nanti. Yang sopan sedikit dong.”
Orang itu nampak tersipu-sipu. Tetapi
mendadak kepalanya mendongak lagi.
“Tetapi saya sudah dipesan, siapa pun tak
diberi izin berkeliaran di daerah ini.”
“Pasalnya?”
“Lha itu saya tidak tahu. Yang jelas di
sini merupakan jantung kehidupan para atlet dari seluruh Indonesia. Jadi
keadaannya harus bebas dari segala gangguan.”
Saya tambah tak mengerti. Barangkali ini
bahan menarik untuk ditulis, maka saya mencoba memancing dia untuk terus
mengobral kata, yang sesungguhnya merupakan ‘rahasia perusahaan’.
“Jantung kehidupan para atlet, apa maksud
sampeyan Pak Kumis?” tanya saya.
Dia tergelak-gelak. Entah senang ditanya
itu, atau dipanggil Pak Kumis.
“Kalau sampeyan punya tanda itu, mestinya
sudah tahu. Tetapi barangkali sampeyan tukang nguji, baiklah saya jawab. Di
sini tempat segala sumber konsumsi para atlet. Baik makanan maupun minuman.
Semua pos sudah terjadwal dengan rapi. Juga kode setiap kontingen yang harus
disuplay makanan dan minuman. Dulu sekali ada kasus, orang bermain curang,
sehingga setelah makanan dan minuman yang disajikan dari sumber sini, tenaganya
jadi loyo. Konsentrasinya buyar, akibatnya kontingen itu dapat dibikin keok
oleh lawan mainnya dengan mudah. Pernah Anda dengar sabotase lewat makanan dan
minuman?”
Saya manggut-manggut.
“Ada itu pernah saya dengar. Lalu?”
Dia lalu bercerita, kecurangan bukan hanya
pada soal suap, sabotase, main dukun, atau penentuan skor lebih dulu, pokoknya
masih banyak yang lain. Teknologi untuk bercurang juga semakin beragam dan
kompleks, sebab masing-masing kontingen saling berambisi untuk bisa memboyong
dan memborong medali baik emas, perak atau perunggu sebanyak-banyaknya. Supaya
apa? Ya, supaya tidak dimaki-maki rakyat setempat. Dan yang pemerintah daerah,
sebab mereka sudah banyak menggunakan biaya penting lagi bikin naik pamor
kepala daerah dan sekaligus mereka dapat hadiah dan sambutan meriah. Apakah itu
tidak nikmat? Dielu-elukan sepanjang jalan. Dipotret dan difilmkan dalam
televisi. Wajahnya muncul di koran-koran. Namanya disebut-sebut dalam radio
atau siaran-siaran lain. Bahkan tetangga kanan-kiri saling bisik
mempergunjingkan kesuksesannya. Cihui! Alangkah nikmatnya.
Itu kata orang yang saya sebut Pak Kumis
itu.
“Lalu?” tanya saya lagi. Dia
terengah-engah. Lalu katanya.
“Sampeyan punya rokok?”
Saya buru-buru mengambil rokok dan
menyodorkan padanya. Dia menerima sambil tengok kanan, tengok kiri.
“Sampeyan pasti wartawan ya?”
Saya menganggukkan kepala.
“Ada berita menarik, mau?”
Saya mengangguk. Dia menyalakan rokoknya,
menghela asap rokok itu dengan sepenuh kenikmatan.
“Kalau boleh saya tahu, Koran mana yang
Anda wakili?”
Saya tergagap. Saya tak mewakili sebuah
koran pun secara resmi atau terikat.
“Kalau sampeyan merahasiakan koran
sampeyan, maka saya juga bakal merahasiakan berita menarik itu.”
Saya terlongong-longong beberapa saat. Dia
merasa sudah berhasil menjerat mangsa. Saya kian penasaran. Karena saya sudah
tak sabar lagi, maka saya sebut saja nama salah satu koran yang bisa saya
ingat. Dia terlonjak.
“Sudah kuduga! Koran Anda memang lain dari
yang lain. Selalu ingin menampilkan hal-hal yang eksklusif dan unik. Dan
sayalah sasaran yang paling tepat. Anda tidak salah lagi. Beruntung Anda orang
pertama yang menjumpai saya. Tetapi nanti dulu, berapa duit Anda berani bayar
untuk berita canggih ini?”
Saya tergagap lagi. Busyet! Profesional
betul manusia ini. Saya mengulurkan uang sepuluh ribuan. Dia memandang sambil
tertawa ngakak.
“Aneh, sampeyan tega benar menjatuhkan
martabat koran besar Anda. Itu gaji Anda lima menit, bukan?”
Saya tergagap lagi. Pandai benar manusia
ini menjepit manusia lain. Kalau dia tahu saya tak ada yang menggaji, pastilah
dia bakal terkecoh dan kaget besar. Tetapi saya penasaran pada berita yang dia
umpetin itu, maka apapun maunya saya tetap mengalah untuk menurutinya.
“Oke … oke! Mau sampeyan berapa?” kata saya
dengan gemetar. Sisa uang yang ada di dompet tak lebih dari lima puluh ribu.
Kalau itu harus ludes untuk sebuah berita unik, ya sudah nasibnyalah.
Dia mengembangkan jari-jari tangannya.
Membentuk angka, saya terbelalak.
“Saya punya cuma empat puluh ribu perak!
Itu berarti saya harus jalan kaki untuk bisa sampai kantor redaksi.” ujar saya
tak kalah gertak.
Dia menatap saya.
“Mobil sampeyan di mana?”
“Kehabisan bensin,” jawab saya sekenanya.
“Itu bisa terjadi untuk koran Anda yang
hebat itu?”
“Segala yang hebat berangkat dari hemat
Tuan berkumis.”
“Tetapi itu cara kerja yang ceroboh.
Bagaimana bila tiba-tiba ada berita menarik yang harus dijangkau dengan mobil
supaya bisa sampai dengan segera?”
“Ya beli bensin.” Saya mulai tak suka
cara-caranya yang berkesan menggurui itu.
“Oh ya, mana uang itu. Saya akan segera
memberitahu Anda mumpung keadaan lagi sepi.”
Dengan segera uang saya sorongkan ke
hadapannya. Saya benar-benar sudah tak sabar dengan sikap bertele-telenya. Dia
langsung pula membisik-bisikkan sesuatu ke telinga saya.
“Sudah jelas?” tanyanya.
Saya menggeleng, karena saya tak menangkap
apapun yang dia bisikkan. Dia berbisik lagi. Saya menggeleng lagi. Karena
jengkel, saya teriak.
“Apa-apaan sampeyan ini?”
Dia kaget.
“Lho, saya kan sudah berusaha menyampaikan
rahasia secermat mungkin. Kenapa Anda tak juga bisa mengerti?”
Tiba-tiba dari arah ujung beberapa orang
polisi yang diikuti beberapa orang wartawan berlari-lari menuju tempat kami
berada. Mereka berteriak-teriak dan memberikan kode tangan pada saya, tapi saya
tak mengerti maksudnya, dan ketika sadar orang berkumis itu telah lenyap dari
sisi saya.
Polisi-polisi itu berusaha mempercepat
pengejaran, tetapi toh tetap orang itu bisa lenyap bagai angin lalu. Beberapa
orang wartawan mendekati saya.
“Anda telah berurusan dengan orang itu?”
Saya mengangguk. Mereka segera paham.
Tiba-tiba dalam arena pesta olahraga yang
gayeng dan seru itu, kian dipermeriah lagi dengan tawa berkakakan para
wartawan. Saya mula-mula tak mengerti, karena itu diam saja. Tetapi ketika
salah seorang dari mereka berkata.
“Kita semua telah melakukan kebodohan!”
kontan meledaklah tawa dari mulut saya.
“Dan kita semua pasti mengaku dari koran
yang sama. Yakni koran terpopuler di negeri ini. Karena kita semua adalah
wartawan liar tanpa induk, tanpa rumah!” teriak seorang yang lain. Kini
mendeliklah saya. Rupanya kami semua punya persoalan yang sama.
Pantas gampang dikerjain seorang penipu!
Bisik saya keqi.
0 comments:
Post a Comment