by Darminto M Sudarmo
Biar siang biar malam, biar hujan
biar panas, Parmin tak mungkin bisa melupakan sebuah pengalaman manis (manis
sombong) yang pernah dialaminya beberapa waktu lalu. Sebagai seorang
wiraswastawan sejati yang masih bujangan, Parmin selalu merekam baik-baik
setiap kenangan asyik yang sempat mampir ke benaknya. Kenangan yang berawal
dari terminal Pulo Gadung, Jakarta.
Sore itu, menjelang Lebaran,
terminal Pulo Gadung ditimbuni manusia-manusia yang tak mungkin bisa dihitung
dengan jari (melainkan dengan kalkulator). Ketika itulah Parmin menangkap sosok
tubuh cewek yang aduhaiii bahenolnya. Sebuah figur idaman hatinya yang selama
ini dia impikan. Parmin memang mau mengaku dengan jujur, bahwa ketika itu,
begitu pandang matanya bersitatap dengan
pandang mata cewek itu kontan air liurnya nyerocos, perutnya bergolak, hatinya
gemuruh dan detak jantungnya berdebur bagai bunyi bedug.
Tapi sungguh kecewa, perasaan yang
mendebarkan penuh memori itu cepat-cepat digilas padatnya massa yang seperti
gabah ditampi. Parmin kehilangan sasaran idaman hati. Seseorang entah siapa
menginjak kakinya dengan amat sadis, sehingga tak sadar dia berteriak dengan
reflek : “Baksoooooooooooooooo!!!”
Parmin begitu kaget mendengar
teriakannya sendiri. “Sorry ding….gua sedang enggak jualan kok.” Tapi tak
seorang pun mau mengerti ralat yang dia lontarkan cepat-cepat itu. Mereka cuma
berpikir bagaimana bisa cepat-cepat dapat kendaraan agar bisa mudik tepat pada
waktunya. Parmin mencoba menerobos himpitan massa yang sudah enggak ketulungan
lagi itu. Dia sengkarutkan di pundak ransel bututnya. Tangan kiri pegang tas
plastik penuh kue dan roti, sementara tangan kanan sibuk menyibak seorang demi
seorang. Tak perduli itu cewek atau cowok. Kadang kalau perlu toh dia tega juga
menyentakkan mereka. Maklumlah pada saat begini, harga kita tergantung pada
kita sendiri, tidak pada tarif di etalase.maka ketika sebuah lengan mulus
berada tepat di jalur yang seharusnya dia tempuh, dia tak ragu-ragu lagi
mendorongnya.. tapi sungguh di luar dugaannya, kalau si empunya tangan mulus
itu tiba-tiba berteriak dengan nyaringnya :
“Toloooooong Copeeeeeet!!!”
“Huuuush! Bukan! Saya cuman mau
numpang lewat kok”. Tangkis Parmin cepat-cepat. Untung saja pada saat itu orang
sudah sibuk dengan urusannya sendiri, maka teriakan si empunya tangan mulus itu
andaikan betul-betul dia kecopetan sudah dianggap risiko. Anehnya ketika Parmin
beranjak melangkahkan kaki, firasatnya menangkap getar-getar aneh. Dia mencoba
bertanya pada dirinya sendiri (bukan pada rumputnya Ebiet), apa gerangan
sebabnya? Yah, sepertinya sebuah sinyal asmara. Ya, tak salah lagi! Dia mencoba
mencari wajah si lengan mulus yang masih menungguinya. Dan ketika itu pula
lengan mulus menolehkan wajahnya. Jagad dewa Bathara…..! Pucuk disayang ulam
datang. Si bahenol tersayang itulah dia. Parmin mengatur napasnya dengan
hati-hati. Dia terus merapatkan tubuhnya ke mana si bahenol mengarus. Dasar
Parmin lelaki brilian, biar kata dia cuma lulusan SD, dia mampu juga memecahkan
sebuah persoalan pelik. Membuka perkenalan kepada wanita yang berkesan galant
dan simpatik. Dia pasangkan kaki kanannya tepat dibawah sepatu wanita itu
ketika si lengan mulus itu mengangkat tumit tinggi-tinggi melihat bus-bus yang
berantri.
“Aduuuuuuh Mbokk!” Parmin berteriak
sedang-sedang saja, tapi yang jelas moncong bibirnya dia usahakan tepat
ditelinga si cewek idaman itu.
“Oh maaf…..” Si cewek tersipu
dengan perasaan menyesal.
“Ah tidak mengapa…..paling juga
baru putus satu jari kaki.”
“Ha-ha….! Masa iya….?”
“Hooh.” Parmin menjawab dengan penuh
keyakinan.
“Bung cuma berguaru kali.”
“Enggak saya serius eh, serius
nih.” Tampangnya dia pasang agak angker.
“Aih…masa iya….?”
“Tak percaya…. Lihat nih.” Parmin
mencopot sepatunya dengan susah payah. Beruntung kali itu dia enggak pakai kaus
kaki (karena kebiasaannya pakai kaus tangan, agar tak ketahuan sidik jarinya).
Wanita itu mendelik dan berteriak kecil, waktu menyaksikan kaki Parmin yang
telanjang ternyata benar-benar kehilangan satu jari kakinya.
“Jadi….”
“Yah, mestinya situ harus tahu
sendiri….” Sahut Parmin kalm. Melihat ketenangan Parmin, si wanita jadi curiga.
Maka tanpa diduga Parmin cewek itu tertawa cekikikan.
“Heh! Ini bukan lelucon Non.”
“Memang bukan…tapi badut kan….?”
Keduanya sama-sama tertawa.
“Panggil saya Pharmin. Ingat p h a r m i n. gampang toh?”
“Panggil saya Sumi. Nama lengkap
Sumirah.”
“Situ kerajaannya apa….? Saya
wiraswasta kecil-kecilan di bidang perbaksoan. Sekaligus merangkap berbagai
jabatan dari manajer, alias bos, sampai sekretaris, bendahara dan karyawan.”
“Kalau saya sih enggak pantas
disebutkan…..”
“Memang kenapa. Zaman sudah
praktis. Kita tak perlu lagi bermalu-malu.”
“Iya deh….anu kok, ah, malu!”
“Memangnya apa sih?!”
“Ah…nanti saja.”
“Okey…okey….eh ya ngomong-ngomong
situ mau ke mana sih?”
“Mau mudik dong.”
“Iya, maksud saya, eh gua, ke mana
tujuannya….?”
“Kok mau tahu aja.”
“Emang nggak boleh ya….?”
Sebuah tangan tiba-tiba nyelonong
dan sebuah tubuh tua renta ambruk di antara mereka.
“Duh Gustiiii!” teriak nenek-nenek
itu, kemudian menyumpah dan menyebut hampir semua nama yang ada di kebun
binatang. Tapi kemudian disusul Astaghfirullah berkali-kali. Dia sebut pula
semua nama anak dan cucunya. Setelah puas dia ambil saputangan untuk menyeka
kelopak matanya yang tak berair. Parmin dan Sumi cepat-cepat menolong membangunkannya.
Malam sudah beranjak larut. Di
langit bintang cuma tersisa tujuh biji. Bulan hanya nongol separoh, yang
separohnya lagi konon di makan buto ijo. Bus malam cepat bertuliskan GESIT
sigap menembus keheningan malam. Di kaca depan sopir ada sebuah kata
bertuliskan ke Yogyakarta. Dua orang penumpang yang turut andil eh, bernasabah
mengisi padat dan pengapnya bus itu tak lain dan tak bukan adalah Parmin dan
Sumi. Konon menurut Malaikat yang sempat mengintip mereka, terbukti mereka
termasuk penumpang teladan. Sebab apa? Karena sejak pertama meletakkan pantat
hingga malam itu, mereka tak pernah membuat kegaduhan. Enggak pernah
berbrengsek-brengsek. Enggak pernah teriak baksooo atau copet dan sebagainya.
Bahkan mereka nampak paling patuh dan pendiam. Anehnya, sang Malaikat yang satu
lagi, yang mengintip dari lain jurusan kurang setuju dengan pendapat ini. Sebab
menurut data otentik, mereka justru paling gaduh. Hanya kegaduhan itu berada di
daerah dalam, sehingga hanya makhluk-makhluk halus saja yang bisa mengerti.
Misalnya setan gendruwo, ririwa, dhemit, peri, iblis, thuyul, jin dan
se-cs-nya. Sehingga kalau diterjemahkan ke dalam bahasa manusia yang berbadan
kasar, lebih kurangnya begini :
“Dik Sumi….boleh dong Mas
nyubit….?”
“Aihhh si Mas ini genit aja sih.”
“Boleh kan….?”
“Boleh sih boleh…tapi ada syaratnya
nih….”
“Syaratnya apa dong…?”
“Syaratnya saya musti nyubit dulu.”
Du’ile (kate orang Jakarte) hati
Parmin berkembang kempis kadang sebedug kadang sesemut (sebab dia cemas juga
jangan-jangan ini jebakan). Persis deh hati itu seperti amuba yang elastis. Dan
apa yang terjadi sesuadahnya…..mari kita bayangkan bersama menurut terminologi
asmara yang ada pada kita. Pokoknya ehem-lah. Selang beberapa menit kemudian
terdengar Sumi mengaduh kecil.
“Ada apa dik Sumi….?”
“Anu Mas, penumpang belakang
ikut-ikutan usil.”
“Penumpang belakang…?”
“Iyaa…belakang kita duduk…”
“Huuus bukan!”
“Habis…..?”
“Yang dari belakang itu tangan
kanan Mas yang dari depan itu tangan kiri Mas. You know?”
“Oh….”
Dan keduanya kemudian tertawa
cekikikan.
“Dik Sumi…..”
“Ada apa Mas…?”
“Gua pikir-pikir….jangan-jangan aku
telah jatuh cinta sama kamu Dik.”
“Jatuh cinta….? Buktinya….?”
“Gua merasa enggak mampu lagi
berpisah dari sisimu.”
“Aih gombal ah!”
“E…e…e…ee…e gua bilang serius nih.
Gua lagi pertama ini merasakan debaran jantung, keresahan hati dan kerisauan
yang mengharu biru. Demi langit demi bumi. Demi kursi demi bus ini dan demi
malam yang tanpa kupu-kupu malam gua bersumpah bahwa gua….”
“Stop! Stop!” pekik Sumi dengan
amat sengitnya. Nada suaranya benar-benar tinggi dan mengandung kemarahan yang
dalam sekali.
“Dik Sumi…kenapa…?”
Sumi cuma diam.
“Kenapa Dik…? Marahkah kau….? Oh
ya, atau ada kata-kataku yang telah menyinggung perasaanmu….?”
Sumi menoleh ke arah Parmin dengan
pandangan tajam.
“Seandainya kita tidak sedang di
tempat begini, aku sudah lama ingin kabur dari sisimu Bung.”
“Eh….memang kenapa Dik….?”
“Saya sangat benci sama Bung.”
“Soalnya kenapa dong….?”
“Sebut sekali lagi kata kupu-kupu
malam, saya akan tak malu berteriak dan menuduh Bung orang yang telah
menyiopet saya. Ngerti nggaaak…..?!”
“Oh…..!”
Parmin terkejut, gerobak dorongnya
melanggar batu besar. Tapi untunglah dia cepat-cepat bisa menguasai keadaan,
ketika beberapa pembeli yang siap nunggu sebagai langganan setia melihat dari
jarak tak begitu jauh.
“Oiiiii Bang Parmin
ngelamuuuuuunnn!!”
“Ah enggak…..” Parmin mendorong
gerobaknya lagi sambil berteriak : “Baksoooooooooo…!!!” dan dia bergegas menuju
para pelanggan yang menunggu dengan setia. Saat itu bibirnya tersenyum manis,
entah hatinya.*****
Mohon Perhatian!
Dengan penuh kerendahan hati kami mohon pengertiannya agar tidak meng-copy-paste cerita yang termuat di blog ini kecuali seizin dari penerbit - kombatbuku@gmail.com
0 comments:
Post a Comment