by Darminto M Sudarmo
Hardi mengetuk pintu berkali-kali. Sepi. Tak ada sahutan dari dalam. Ia menghela nafas berulang-ulang. Peluhnya masih berleleran di sekitar dahi. Denyut jantungnya juga berdetak tidak keruan. Aneh, pikirnya, malam Minggu begini kemana si Ani? Kemana orang tua Ani? Tapi lampu yang tak begitu terang tetap menyala dengan kelengangan rumah. Tergantung di ruang tamu sendiri.
“Sudah tiga malam minggu aku singgah kemari menjumpai keadaan yang
sama. Kenapa ya….?” Hardi menggumam sendiri. Kemudian memijit jidatnya yang
licin dengan perasaan tak keruan.
“Apakah ini berarti pintu memang benar-benar sudah tertutup buat orang
seperti aku….?”
Sesaat lamanya Hardi terduduk lemas di bangku teras. Dadanya serasa
sesak. Boleh dikata dia sudah tak sanggup membaca situasi yang ada. Baik itu
situasi yang punya rumah, ataupun situasi Ani, pacarnya. Sedang kecemasan
bergalau dalam hatinya. Sehingga untuk beberapa saat dia tak sanggup berpikir
tentang apa pun.
Hardi mengeluarkan sebatang rokoknya yang telah jadi puntung tiga
perempat bagian. Lalu menyulut dengan tangan gemetar.
“Apakah aku sudah demikian tak berharga sebagai kekasih Ani,
sehingga kenyataan begini yang kuterima?” Hardi menghela nafas dengan perasaan
terluka. Kemudian dengan gontai kakinya beranjak menyusuri lorong yang sempit.
Angin malam berdesir mengerikan. Mendung mengangkang hitam. Hardi
mempercepat langkah.
“Hei…Bung, tunggu….!” Teriak seseorang.
Hardi menghentikan langkah.
“Bagi-bagi dong rokoknya….”
Seseorang tiba-tiba telah berdiri di depan matanya dengan sikap yang
amat urakan.
“Rokok….?”
“Ya!”
“Ini batang terakhir, maaf saja lain kali.”
“Apa….?!”
“Sudah habis. Ini batang terakhir.”
Dug! Hardi terhuyung-huyung. Sebuah benda berat telah menghantam
tengkuknya. Hardi tak sempat mengelak. Rokok Hardi yang tinggal beberapa senti
dan sempat terlempar itu, benar-benar diambil orang yang menghadang. Hardi
pingsan. Gerimis mulai turun.
Ketika siuman Hardi kaget. Dirinya telah tergolek di sebuah tempat
tidur mewah. Dia menggosok matanya berulang-ulang. Memang benar dia tidak
mimpi.
“Oh, kau sudah sadar….” Suara seorang wanita.
Hardi menoleh, seorang wanita cantik yang pesolek tengah bersandar
pada pintu kamar.
“Oh….di manakah saya….?” Hardi menyingkap selimut, dia tambah kaget.
Pakaian bututnya telah hilang, sudah diganti dengan piyama tebal ber-trade mark
Japan.
“Di sini….di rumah saya. Panggil saya Rose.”
“Di rumah Nyonya….eh, Nona….?”
“Ya, di rumah saya, panggil saya Rose.”
“Oh….nama saya Hardi.”
Hardi menatap keadaan sekeliling dengan perasaan kagum.
“Terima kasih atas pertolonganmu, Rose.”
“Lupakan itu. Semuanya hanya kebetulan. Ketika aku lewat, lalu
melihat Anda dan mengangkutnya sekalian ke dalam mobil saya.”
Hardi cuma bengong.
“Minumlah, aku telah menyediakan kopi itu sepuluh menit yang lalu.
Kalau aku boleh tahu, siapa Bung Hardi ini sebenarnya?”
“Saya…..? Wah kukira itu tak menarik bagimu Rose.”
“Kau keliru Hardi, aku justru ingin tahu.”
“Ah, kukira seperti pemuda lain yang senasib. Terdampar di kota
besar ini sebagai penganggur.”
“Penganggur….? Jangan bohong, bilanglah apa adanya.”
“Eh….maksudku pelukis.”
“Itulah jawaban yang kuharapkan. Kau mau melukis aku…..?”
Hardi termangu-mangu.
“Melukismu….?”
“Ya.”
“Di mana….?”
“Di sini, atau di rumah ini.”
“Ah kau jangan berguaru Rose. Dengan apa aku harus melukismu….?”
“Dengan apa…..?” Rose terkikik pelan.
“Aku tak ada membawa sebatang kuas pun. Tak selembar kanvas, tak
setube cat pun.”
“Sebentar kita bisa beli di toko.”
Hardi melongo. Rose berkelebat ke dalam. Gaunnya yang transparan
tiba-tiba membuat darah Hardi tersirap.
Pagi itu luar biasa cerahnya. Di langit tak nampak segumpal mega
pun. Sebuah mobil sedan melaju dengan
kecepatan sedang menyusuri aspal jalan raya.
“Har….tiba-tiba aku punya ide baru.”
“Maksudmu…..?”
“Kau melukis aku di Puncak saja ya….?”
“Di Puncak…..?”
“Ya, aku punya villa di sana. Itung-itung sekalian santai.
Bagaimana….?”
“Okey…..okey. aku nggak pernah nolak rejeki.”
Mobil itu berbelok dengan gesit, lalu masuk lewat Jalan Tol
Jagorawi, lalu melesat ke atas. Lalu menanjak dan terus menanjak. Lalu….? Sampailah
di sebuah villa yang cukup asri dan tenang.
Hardi menyiapkan peralatan dengan cepat.
“Kau sudah siap Rose…..?”
“Belum….eh Har, tiba-tiba aku punya ide baru.”
“Maksudmu…..?”
“Aku ingin kau lukis dalam keadaan nude.”
“Ha…..?!!!”
“Kenapa anehkah….?”
“Aku belum pernah menghadapi model dalam keadaan nude.”
“Kenapa tak kau coba kini.”
“Iya….ya….kenapa tak aku coba.”
“Nah, kini aku sudah siap.”
Hardi, pemuda yang tergolong masih bau kencur dalam urusan wanita,
begitu melihat patung pualam hidup yang kulitnya tanpa cela itu mengalami shock
besar. Dahinya basah, hidungnya basah, tangannya langsung basah dan gemetaran,
dadanya basah, kakinya basah.
“Heee….kenapa bengong saja.”
“Oh….a….aku perlu sedikit waktu buat menghayati obyek. Sabarlah, kau
tidak capek, kan….?”
“Capek dong.”
“Kalau begitu jangan sekarang.”
“Memang kenapa….?”
“Entahlah, sebetulnya aku juga sedang nggak enak badan. Sedikit agak
meriang.”
“Kalau begitu…aku kerokin deh.” Rose cuma melapis tubuhnya dengan
kimono sutera tipis. Dia bergegas mengambil minyak kayu putih dan uang logam.
Hardi menggeliat seperti cacing, ketika tubuhnya kena toreh uang logam.
Tapi anehnya torehan itu kian lama kian berubah. Kian lembut. Lama-lama bukan torehan
uang logam lagi, melainkan belaian. Belaian jemari lentik milik Rose. Menyadari
ini, darah Hardi serasa mengalir ke Korea Utara ke Korea Selatan.
“Rose….aku sudah sembuh!”
“Tunggulah sebentar lagi, biar nggak kumat.”
“Aku sudah sembuh Rose….kita mulai melukisnya.”
“Sabarlah Hardi…..”
“Persiapkan dirimu Rose, aku sudah ingin sekali melukismu.”
“Sabarlah Hardi….”
“Rose….”
“Sabarlah….”
“R…r…r”
“Sab….bbb…”
“……….”
“….”
Malam minggu keempat, Hardi mengetuk pintu rumah Ani kembali.
Berbeda dengan yang dulu-dulu, kini Ani sendiri yang membukakan pintu. Tak ada
ekspresi yang istimewa muncul dari gadis yang sesungguhnya manis itu. Hardi
merasakan suasana amat kaku. Dia mengambil tempat duduk, meskipun belum
dipersilakan. Beberapa saat lamanya mereka duduk berhadapan dengan mulut saling
membisu. Akhirnya Hardi memulai pembicaraan.
“Ani…..”
“Hmmmm….ada apa Har…”
“Apa yang sesungguhnya terjadi sehingga keadaan bisa jadi begini….?”
“Keadaan apa yang kau maksud….?”
“Kau tak merasakan adanya keanehan…..?”
“Apanya yang aneh….?”
“Katakan Ani ada apa sesungguhnya…..?”
“Aku makin tak mengerti maksudmu Har….?”
“Yang kumaksud…..anu….a….tentang hubungan kita.”
“Hubungan kita kenapa….? Kurasa biasa-biasa saja.”
“Ha….!! Biasa-biasa saja….?!!”
“Memang kenapa….?”
“Aku tak mengerti apa artinya biasa-biasa saja….?”
“Sudah kukatakan dari dulu, biasa-biasa itu artinya, ya biasa. Tak
ada yang istimewa. Apa yang mesti dipersoalkan lagi….? Kita toh masih tetap
bersahabat, dan kukira tak ada perkara yang beralasan untuk kita perdebatkan.”
Hardi terdiam dengan jantung yang nyaris copot. Tiba-tiba muncul
seorang tamu. Ani bangkit dengan senyum menawan.
“Oh ya Har, kenalkan ini pacar saya Mas Tony.”
Hardi bangkit dan menyalami Tony dengan dada gemuruh.
“Oh ya Bung Hardi, bukan ngusir nih, kami ada acara jam ini.
Bagaimana jika Anda tak keberatan apakah juga berminat menghadiri resepsi kawan
Ani….?”
Hardi mengumpat dalam hati. Lalu tersenyum kecut, sambil cepat-cepat
minta diri. Hardi melangkahkan kaki dengan sejuta perasaan luka parah. Angin
pun terasa beku menyekap ulu hatinya. Hardi menatap bulan yang mengejek di
balik awan dengan serapah seorang lelaki. Sialan! Tiba-tiba dia dikejutkan oleh
bunyi klakson.
“Din…! Din…!” mobil itu mendekat ke arah Hardi.
“Come on darling…masuklah…”
Hardi teringat suara itu. Dia pun masuk mobil dengan tanpa pikir.
Tanpa perasaan.
“Lukisanmu sangat bagus Har. Aku puas-puas memandanginya. Kini telah
kupigura dan kupasang di kamar tidurku.”
Hardi cuma diam merenung.
“Malam ini aku punya ide bagus Har.”
Hardi cuma menoleh dan menatap sekilas ke arah Rose.
“Kita ke Puncak lagi. Okey….?”
Hardi tak menjawab dan tidak menolak.
Dalam perjalanan suasana dibalut sepi. Hardi enggan bicara, Rose
segan bicara. Tetapi ketika mobil itu sampai di tujuan, terjadi perubahan yang
tiba-tiba pada diri Hardi.
“Rose….” Bisik Hardi.
“Ada apa sayang….?”
“Malam ini aku ingin menciummu sampai pagi.”
“Aiihh…kau pandai juga melucu manis.”
“Rose….”
“Hardi…..”
“Ros….”
“Har….”
Dua bulan telah berlalu, tak ada yang istimewa untuk diceritakan.
Namun pada bulan ke lima. Ada perubahan yang sangat mengejutkan. Pagi harinya
dia mendapat kunjungan Rose yang datang dengan muka yang kelewat riangnya. Rose
mengabarkan kalau sedikit hari lagi dia akan kawin. Diperistri seorang berduit,
walaupun toh sebagai istri ketiga. Sebelum pulang Rose sempat membisikkan
sesuatu ke telinga Hardi, bahwa dia sangat bahagia karena kini dia telah punya
Hardi kecil, dan masih disimpan baik-baik dalam rahimnya. Hardi mendengar
penuturan Rose dengan perasaan tak keruan.
Sedang pada sore harinya dia mendapat kunjungan Ani yang datang
dengan muka luar biasa sedihnya. Ani mengabarkan kalau pacarnya minggat setelah
menghamilinya. Ani sangat menyesali kekeliruannya selama ini. Dia telah kena
jerat seorang bajingan asmara.
Konon menurut pengakuannya kedatangannya ke tempat Hardi itu untuk
minta pamit. Karena dia mau bunuh diri.*****
Mohon Perhatian!
Dengan penuh kerendahan hati kami mohon pengertiannya agar tidak meng-copy-paste cerita yang termuat di blog ini kecuali seizin dari penerbit - kombatbuku@gmail.com
0 comments:
Post a Comment