Obat Awet Muda


by Darminto M Sudarmo 

Nyonya Kemayu Brontokrai merasa sangat cemas menjelang usianya yang ketiga puluh lima. Selama ini dia selalu merasa bangga dengan kecantikannya yang aduhai. Selama ini dia selalu menerima pujian dari teman sekolega maupun kerabat-kerabat yang lain. Lebih-lebih suaminya sendiri Raden Mas Brontokrai yang selalu getol mencari duit sebagai direktur PT. Andum Senyum dan rajin berapat, demi kelestarian bini tercinta dalam soal menjaga dan merawat kecantikan.

Tentu saja kecemasan Nyonya Kemayu Brontokrai kian menjadi-jadi, sebab belakangan ini suaminya nampak sering bersikap acuh tak acuh. Sering nggak pulang sampai berhari-hari. Uring-uringan dan segala tetek bengek yang serba membuat dia selalu bertanya-tanya.

“Apa saya sudah tidak cantik lagi? Apa wajah saya sudah kelihatan keriput? Apa penampilan saya sudah tidak menggairahkan suamiku lagi? Ataukah suamiku sudah menceng hati dan teratrik pada wanita lain? Ah, sungguh bingung aku jadinya.”

Esoknya nyonya itu pegi ke salon (bukan saran lontong, lho!) berdandan model first lady, siapa tahu barangkali suaminya tertarik dengan dandanan demikian. Eh ketika melihat kenyataan semacam itu, suaminya semakin sewotnya. Esoknya lagi ke salon yang lebih top, berbusana dan berdandan mode mutakhir yang lebih hot dan nges. Eh, masih juga beliau tak mau memicingkan mata. Esoknya lagi esoknya lagi, bahkan sehari tiga kali seperti jam makan orang Indonesia, pagi, siang dan sore, toh hasilnya masih tetap juga. Bahkan biaya khusus untuk ke salon itu kalau nyonya itu sempat menghitung, hampir seratus juta lebih. Tentu saja hal ini semakin membuat sang suami jengkel, sebab penarikan itu dilakukan lewat banknya. Dan ketika bertemu dimeja makan atau ketika sedang duduk-duduk berdua di teras rumah, istrinya sama sekali tak menyinggung perihal penggunaan bagjet yang royal itu. Dia sebenarnya ingin marah pada istrinya, tapi perasaan cinta yang menggebu dan terselubung di kalbu itu, tambahan pula toh dia menjabat sebagai direktur PT. yang bonafid-nya belum ada tandingan, rasanya harus gengsi mengungkit-ungkit uang yang cuma seratus juta. Maka sebagai suami yang baik, dia mengekspresikan kedongkolannya pada istri lewat sikap dan seribu basa. Atau ngambeg kluyuran sesukanya.

Dengan cara begitu tak mempan, sebaliknya justru membuat nyonya Brontokrai kian penasaran, sebab sehari yang lalu ketika dia belanja sendirian di Aldiron Plaza, dia terus dikuntit tiga lelaki, eh bukan, tiga anak muda yang terus melancarkan suit-suitnya sambil memberi komentar, duillah cantiknya cewek! Tentu saja keusilan yang kurang ajar ini sempat membuat hatinya berbunga-bunga. Ternyata masih ada lelaki yang mengatakan diriku cantik. Sampai dirumah nyonya Brontokrai berputar-putar di depan cermin, dia buka gaun dan ganti gaun malam yang tipis, dihidupkannya lampu temaram diakamar, lalu dia meliuk-liukkan tubuhnya seperti penari ballet profesional. Demi Tuhan, dia kagum sendiri melihat ketika dirinya berakting itu ternyata tak beda dengan seorang bidadari yang turun dari bis kota. Cantik, anggun dan mempesona. Dia menelan ludah, sungguh aneh suamiku, dengan kecantikanku yang demikian seharusnya dia selalu rajin mencium telapak kakiku.

Nyonya Brontokrai tidak putus asa, perawatan kecantikan lewat salon tidak mempan, seharusnya cari cara lain barangkali bisa cocok, begitu katanya pada diri sendiri. Akhirnya mencoba beli alat-alat kecantikan yang asli bikinan luar negeri. Dia tak mau beli alat-alat itu yang dijual di Indonesia, sebab seringkali kena tipu. Esoknya setelah dapat izin dari suaminya, dia terbang ke Paris.

“Madame, this is the best one.” Kata seorang pelayan toko yang telah terlatih berbahasa Inggris (dan Anda seharusnya menolak desas-desus yang mengatakan bahwa jika orang masuk Prancis harus berbahasa Prancis, itu isapan jempol. Buktinya, nyonya Brontokrai dilayani dengan bahasa Inggris).

“Yes yes! I like this one, that one and so that!” nyonya Brontokrai menunjuk hampir seperempat dari kosmetika kelas dunia yang tersedia di toko bengonk itu. Akhirnya dia hampir pingsan ketika menyaksikan angka rekening. Satu milyard. Tapi sebagai nyonya yang bergengsi tinggi dan istri direktur pula, tambahan anggapan semua orang asing yang memitoskan bahwa setiap nyonya yang belanja di luar negeri  pasti kaya-kaya, apalagi nyonya-nyonya yang datang dari Indonesia, rasa keterkejutan itu cuma mampir sejenak. Sesudahnya dia cuma bersikap tenang-tenang sambil memasang mimik bahwa uang segitu adalah tak ada artinya apa-apa. Pelayan itu mengangguk dengan simpatik, sewaktu nyonya itu selesai menandatangani rekening yang diajukan.

Sesampainya dirumah, nyonya Brontokrai nangkring di depan cermin selama tak kurang dari tiga puluh jam. Selesai dia berdandan keluarlah dari kamar dengan penuh kebanggaan. Paijo, pembantu laki-laki yang sering ngintip majikan putrinya ketika sedang mandi ini, mendadak jatuh pingsan, ketika menyaksikan seorang bidadari yang kelewat cantik dan menyebarkan aroma kebirahian lelaki. Parfumnya yang sesekali menyentuh hidung, sesekali menyentuh kuping itu memang bisa membuat kaum laki-laki edan mendadak. Tapi tak lama kemudian dia siuman kembali, dadanya tiba-tiba gemuruh, darahnya mengalir sangat cepat, bahkan mungkin melebihi kecepatan 100 km per jam. Oh, bagaimana bisa begini, keluhnya. Akhirnya dipuncak ketakjubannya, dia teringat Painem pacarnya, pembantu tetangga sebelah.

“Painem….Painem! aku rindu padamu. Aku rindu setengah mati!” dia tubruk nyonya Brontokrai dari belakang. Sementara itu nyonya Brontokrai yang berjalan dengan setengah kesadaran, karena dari pantulan cermin dia sudah tidak mengenali wajahnya sendiri, maka tak aneh jika pada saat itu pikirannya tengah mengapung dalam genangan telaga asmara. Terekam lagi kenangan indah semasa dulu berpacaran dengan Raden Mas Brontokrai, ketika mereka sama-sama masih remaja.

“Oh mas Brontokrai! Aku juga rindu padamu. Aku rindu setengah pingsan!” keduanya berpelukan dengan mesra. Suatu pemandangan yang kontras dan menakjubkan. Sang putri bergaun indah gemerlapan, sang pangeran bercelana kolor dan berkaos oblong sobek punggungnya.

“Painem….Painem kau begitu cantik hari ini….”

“Ah masa iya mas?”

“Tentu…tentu. Kau seperti…”

“Seperti…..apa mas? Seperti bulankah?”

“Oh bukan…..bukan!”

“Seperti Lady Di?”

“Seperti Rika Rahim?”

“Bukan!”

“Seperti Marlyn Monroe?”

“Bukan! Nama itu baru kukenal sekarang.”

“Lalu seperti siapa dong mas….?”

“Anu…..anu seperti Ndoro Putri Kemayu Brontokrai”

“Hah! Itu memang saya! Lalu kau siapa ha?!! Kau siapa?!! Plak! Plak! Plak! Jongos tengik, kurang ajar kau! Cepat pergi dari sini!!”

“Anu ndoro….anu kok, aaaanu saya….saya….ya..titi…tidak….!”

“Sudah…..sudah cepat minggat!”

Nyonya Brontokrai menjatuhkan tubuhnya di atas pembaringan dengan kesal. Ternyata suaminya tidak pulang malam ini. Dia remas bantal, guling, kasur dan rambutnya sendiri.

“Sia-sia aku bersusah payah demi kau mas! Semuanya tak ada gunanya. Semuanya percuma!” maka sepasukan kosmetik itu yang telah mencapai rekor harga bukan main, diobrak-abrik nggak keruan arahnya. Sebagian dibanting, sebagian dilempar keluar jendela, sebagian dimasukkan WC dan sebagiannya lagi mungkin buat rebutan dua orang putrinya yang menginjak gadis remaja. Sedang sebagiannya sebagian lagi, sempat jadi rebutan para pembantu. Lain-lainnya habis.

Malam itu tuan Brontokrai ternyata lupa, ia tertidur di meja kerjanya. Semua pegawainya tidak ada yang berani membangunkan. Bukan karena capek seharian bengong. Tak disangka ada setitik rasa cemas sempat mampir dibenaknya, ketika dia melihat kuitansi semilyard untuk biaya kosmetik istrinya. Apakah demikian tanda-tanda kebangkrutan itu?

Esok paginya sesampai di rumah keadaannya sungguh sangat menyenangkan hatinya ketika dia menyaksikan alat-alat yang telah dibeli dengan keringat dan jerih payah itu cuma dibutuhkan buat dicerai-beraikan. Tuan Brontokrai menghela nafas dengan lega, tentu istrinya sudah sadar dan tak mau terlalu royal lagi. Dan sebagai tanda protes terhadap kemewahan yang berlebihan itu, dia membuang semua kosmetik miliknya, betapa pintarnya istriku, kata tuan Brontokrai dalam hati.

“Aku sungguh gembira sekali istriku, kau sekarang tambah pintar.”

Nyonya Brontokrai cuma cemberut dan melengoskan muka.

“Kalau marah begitu, kau justru tambah cantik Mam.”

“Jangan merayu! Sana ngeringkel saja di ranjang sekretarismu!”

Tuan Brontokrai terperanjat.

“Hah! Apa maksudmu Mam….?”

“Jangan pura-pura…….kau sudah bosan aku kan Pap? Karena aku sudah tua kan Pap?  Karena kulitku sudah keriput kan Pap? Katakanlah saja….. kau sudah pengin bini muda lagi kan Pap?”

“Iya, eh bukan! Bukan! Maksudku…….aku semalam…..semalam…..”

“Lembur? Rapat? Lokakarya? Ya toh….?”

“Bukan eh….iya bukan! Aku ketiduran di meja kantor Mam. Sungguh mati deh mam. Kau jangan salah sangka.”

“Ketiduran di meja kantor? Kok aneh benar, bantalnya sekretaris itu kan?”

Pertengkaran tak bisa dihindarkan lagi. Tapi setelah keduanya capek, semuanya menghentikan omelan dan celotah bekekeh. Dua hari dua malam mereka tak saling sapa, meskipun satu kamar. Tiga empat hari, nyonya Brontokrai cemas lagi. Dia menyesal, telah menuduh tanpa bukti. Dan lagi……tak sanggup lama puasa dan ditelantarkan dalam keadaan sangat rindu. Suaminya bahkan semakin acuh tak acuh. Semakin diam, dan mulai ada tanda-tanda masa bodoh.

Menyaksikan ketidak pedulian suaminya yang kian menjadi-jadi, nyonya itu justru sangat takut, jangan-jangan karena jengkel suaminya bener-bener cari bini muda lagi. Maka dia harus bergiat membuat dirinya bergairah dan muda kembali. Dan dapat menarik suaminya ke dalam alam kemesraan yang indah agar tidak keburu mencari sasaran sembarangan. Dia giat konsultasi ke biro-biro yang mengurusi perkara perkawinan, mendapat petunjuk ini itu, itu ini, setelah dipraktekan hasilnya nol. Ke psikolog, dapat segudang nasehat dan coba dilakukan hasilnya juga nol, bahkan nolya kian gede.

Akhirnya pikir punya pikir, terbersit ide untuk minta tolong pada seorang dukun. Karena beberapa jamu tradisional maupun nasional setelah dicoba untuk membuat diri muda atau awet muda agar tetap bisa menjerat suami dikandang sendiri, ternyata tak ada hasil. Oleh karena itu tekadnya untuk menghubungi seorang dukun ternyata tak bisa dibendung lagi.

“Nyonya, sebenarnya khusus untuk nyonya, bisa untuk membuat diri awet muda atau mungkin malah membuat diri menjadi lebih muda dan bisa membuat suami selalu tergila-gila pada nyonya.” Kata dukun itu setelah sejam lamanya memepetkan berbagai pertanyaan yang tak mudah dijawab.

“Benarkah Mbah dukun?”

“Tentu dong….cuma ada syaratnya nih.”

“Syaratnya apa sih Mbah?”

Dukun itu membuat tulisan di udara. Nyonya Brontokrai membuka dompet dan menyerahkan uang sebanyak sepuluh biji. Dukun itu membisikkan sesuatu ke telinga tamunya. Tamunya mula-mula mendelik, tapi setelah diberi uraian panjang lebar, tak sadar dia manggut-manggut.

“Begitulah resepnya, dan ini dua obat yang penggunaannya berlainan.”

Setahun kemudian, benarlah apa yang dikatakan oleh mbah dukun itu, nyonya Brontokrai tambah muda sepuluh tahun lagi, setelah menuruti apa yang dinasehatkan. Dengan bekal obat yang satunya itulah dia bisa memindahkan zat kemudaan dari beberapa perjaka ting-ting ke sari tubuh dan hormonnya selama setahun persis. Sementara dengan obat yang satunya dia berhasil membuat Raden Mas Brontokrai menjadi suami yang benar-benar teladan dan patut dicontoh. Setia, patuh, jujur, tidak pernah marah, selalu gembira dan optimis. Hal ini pernah dibuktikan oleh nyonya Brontokrai sendiri, sepulang kerja suaminya melihat di kamar tidurnya sang istri sedang bergelut begitu asyoi-nya dengan seorang pelajar SMA yang remaja tulen. Tapi apa reaksi tuan Brontokrai? Dia cuma berkata dengan bijaksana:

“Tenanglah sayang…..aku tahu kau memang butuh hiburan.” Dan dia sabar menanti untuk menunggu di teras sambil baca koran guna bersama-sama makan siang dengan sang istri tercinta, yang cantik dan setahun lebih muda.

Suami istri itu benar-benar sudah sama-sama sinthing!


Mohon Perhatian!
Dengan penuh kerendahan hati kami mohon pengertiannya agar tidak meng-copy-paste cerita yang termuat di blog ini kecuali seizin dari penerbit - kombatbuku@gmail.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment

Contact