Pacar Terbang


by Darminto M Sudarmo

Namanya orang beruntung pun tidak seberuntung Bob Kliwon. Bagaimana tidak? Dia tergolong pemuda yang serba boleh tepuk dada dalam banyak hal. Boleh pasang taring di mana-mana. Boleh berlagak buat remaja sebaya. Boleh angkat dagu didepan ribuan cewek yang bahenol-bahenol. Boleh pasang tarif didepan jutaan orang tua yang merindukannya sebagai menantu. Pendek panjangnya, dia memang merasa dan menyadari keberuntungannya.
Di rumah Bob Kliwon punya predikat sebagai anak jutawan negeri ini. Makanya kalau orang sempat mengintip ke dompet atau sakunya, maka akan berkelebatanlah lembaran puluhan ribu duit kertas yang melambai-lambai, eh, berdesak-desakkan tidak kebagian tempat.
Dalam dirinya sendiri pun dia punya predikat sebagai seorang sarjana (entah sarjana apa), sebab sesekali dia mencantumkan Drs, dr, DR atau Sh di depan atau di belakang namanya, pada saat menggoreskan tanda tangannya. Dan itu bisa dia lakukan sebebasnya, tergantung selera. Pokoknya tidak ada yang berani menyindir apalagi mengkritik langsung. Dan orang pun tidak ada yang berani utik-utik, bagaimana sejarah prosesnya dia bisa lulus jadi sarjana. Sebab meski soal ilmu pengetahuan kegolong idiot, toh nyatanya bisa lulus dan menyambar titel yang dirindukan remaja modern. Konon walaupun dalam hal yang seperti itu dia lemah, tapi toh syahwatnya tidak selemah yang disangka orang. Sebab dia punya senjata yang kelewat ampuhnya. Senjata yang mampu melumpuhkan rumus-rumus rumit dan bait-bait kebijaksanaan serta kebaikan. Senjata yang bisa menggugurkan iman. Dan tentu saja memang amat mengukuhkan kedudukannya. Yaitu duit. Nah kalau senjatanya yang ini berbunyi : “kreset” bereslah segalanya.
Di samping itu dia juga menjabat sebagai direktur presiden, eh presiden direktur PT. NGRUDA PEKSA, sebuah perusahaan yang diberikan oleh babenya yang tiap hari selalu dilanda kegelisahan dan penyakit bingung. Yakni penyakit bagaimana membuang duit. Bukan hanya sampai disitu, ternyata dia juga diberi keberuntungan lain oleh Tuhan Yang Maha Pemurah, yaitu wajah yang bukan main gantengnya berikut postur tubuh atletis, sehingga dalam sekali lirik jatuhlah seribu cewek cakep ditelapak kakinya. Belum lagi jika mersi taigernya berkelebat bagai kuda putih yang gagah dan elok siap membikin pesona siapa saja yang menatapnya.
Nah, makanya tak sepantasnya kita heran jika dengan segala kebolehan yang dipunyai Bob Kliwon itu dia dalam setiap harinya punya acara rutin untuk mengunjungi pacarnya yang jumlahnya seratus orang, yang bertempat tingal di Sabang hingga ke Merauke. Bahkan sesekali dia juga sempat berpacaran dengan bintang-bintang top Mandarin yang sering nongkrong di Hongkong. Bagaimana dia bisa menggilir kekasihnya yang jumlahnya selangit dan bertempat tinggal terpisah-pisah itu dengan lancar dan aman tentram dan damai? Inilah masalahnya. Bagi dia yang punya duit hingga berceceran di tong-tong sampah, soal semacam itu tidak lantas membuat bingung apalagi pusing. Dikamarnya terdapat sebuah skedul kunjungan pacar berikut nama cewek dan alamat tempat tinggal. Dan jangan kaget, jika nyaris di tiap propinsi atau kota besar di Indonesia terdapat daftar nama kekasihnya. Sebagai misal contoh dibawah ini :
-          Zulaika, Jalan Melati, Banda Aceh parkir dua jam.
-          Bety, Jalan Pahlawan, Medan, parkir tiga jam
-          Reni, Jalan Gonggong, Denpasar parkir dua jam
-          Tuti, Jalan Cekcok no. 13 Jakarta, parkir tiga jam.
-          Rima , Jalan Pleburan raya Semarang, parkir dua jam, dan seterusnya……
Bob Kliwon tersenyum lebar sambil mengkorek korek lubang hidungnya. Dia cengir kesana nyengir kemari sewaktu memandangi daftar skedul wakuncar yang bukan main panjangnya itu. Dia comot sisir, bergaya sejenak didepan cermin lalu menyambar tas ekolaknya yang berisi bungkusan mutiara seharga lima juta. Kado buat Diana malam minggu ini. Beberapa detik dia bicara lewat telepon menghubungi ke air port lalu ngabur ke mersi taigernya.
“Paimin….cepet tancap ke air port, beberapa menit lagi pesawat jurusan Ujung Pandang bulu segera berangkat!”
“Siap tuan muda!” jawab Paimin seraya memasukkan perseneling empat. Dan mersi putih segera melonjak seperti kuda binal.
Waktu belum terlalu malam tetapi juga tidak terlalu sore ketika Bob Kliwon memasuki sebuah pekarangan yang cukup mewah di jl. Hasanudin Ujung Pandang bulu. Langkahnya tegap dan hangat. Dia pencet bel, tidak ada satu detik, Diana langsung menubruknya.
“Duilah! Lama banget Bob baru nongol, Diana udah setengah mati nungguin….” Lalu irama jazz yang tengah mengalun lembut diruangan itu segera diimprovisasi oleh bunyi “ cup…cup…cip…! Dan setelah lebih dari satu jam musik tambahan itu hadir tanpa pemisi dan spontan, langsung keduanya terengah-engah. Diana memandangi Bob dengan mata berbinar-binar karena bahagianya, sedang Bob memandangi Diana dengan mata bersinar-sinar karena kagumnya. Sebab malam minggu itu Diana tak beda dengan  putri yang turun dari kahyangan. Cantik, molek, bahenol, segar dan mengundang kegairahan untuk kelelakian Bob, si play boy romantis yang gemar merayu pacarnya dengan puisi-puisi mbeling. Bob merengkuh bahu Diana dan mendekatkan pada barang yang dibawanya.
“Lihatlah Diana…aku bawa apa untuk kau hari ini. Bisa terka….?”
Diana menggeleng dengan manja seraya menggayutkan punggungnya di dada Bob.
“Bukalah…….ini buat merayakan ultahmu.”
Diana membuka bungkusan dengan mata terbelalak. Setelah mutiara itu dia kalungkan dilehernya, dengan senyum ketulusan dia peluk Bob penuh rasa haru.
“Oh, Bob, hanya kepadamu jiwaku, cintaku, dan diriku kuserahkan,” bisiknya lirih. Bob balas memeluk tak kalah hangatnya.
“Oh, Diana, hanya kepadamu cintaku, hatiku dan diriku kuserahkan.” Lalu keduanya terlibat kemesraan, terlibat cubat-cubit dan senggal-senggol.
Entah bagaimana mulanya Bob tiba-tiba ingin main bilyard. Dia ambil stick, dan Diana segera beranjak mengambilkan bola. Tapi anehnya cuma dua. Maka ketika Bob menyodokkan sticknya yang panjang tepat pada bola itu, meluncurlah si bola dengan gesitnya ke arak lubang. Bola masuk Diana bergegas mengeluarkan lagi dan menyediakan bola ditengah arena. Bob menyodok lagi bola masuk lagi. Diana mengeluarkan lagi. Begitu seterusnya, sehingga setelah keduanya capek, Bob pamit pulang. Di halaman rumah Diana Bob berpikir sejurus, lalu mulutnya nyengir. Bob memanggil taksi lalu meluncurkan diri ke air port. Pesawat yang membawa tubuh Bob mendarat di Surabaya. Bob turun lalu menyewa taksi menuju ke sebuah alamat.
“Hallo Indri…”
Indri tidak menyahut tapi pasang muka agak cemberut dan sedikit cemburu. Bob tersenyum mendekati.
“Jangan dulu marah sayang….kau seharusnya tahu, aku terlalu sibuk belakangan ini….lagi pula….ada sesuatu yang ingin kukatakan….penting deh pokoknya.”
Indri memperbaiki sikap, meskipun mukanya mendung, tapi pada saat begitu, bukan main anggunnya dia. Sikapnya yang tenang dan penuh keibuan itu segera tersenyum penuh arif.
“Apa yang akan kau katakan Bob?”
“Penting deh pokoknya.”
“Cobalah kau katakan….”
“Kau cantik sekali malam ini.” Indri tersipu-sipu, mukanya sedikit merah, kedongkolannya yang bercokol sejak pukul tujuh mendadak lenyap nyap! Tapi Indri cuma menundukkan muka seraya tersenyum kecil.
“Huh! Tukang rayu….!”
“Eh, benar yang kukatakan Dewiku, kau sungguh seperti dewi yang hidup didunia dongeng pada saat memakai gaun putih berbunga kecil-kecil seperti itu. Kau tak percaya? Lihatlah didepan cermin sekali lagi.”
“Aneh memang seakan-akan apa yang dikatakan oleh Bob Kliwon seperti ludah api, artinya besar pengaruhnya dan serba dipercaya. Dan Bob tersenyum kecut waktu menyaksikan Indri segera bergegas ke belakang lalu keluar lagi dengan muka beseri-seri. Sejenak keduanya melepas rindu sambil bercanda tentang utara dan selatan. Dan si Bob si jago rayu tak lupa menyelipkan pembicaraan apa-apa yang ada tentang diri si Indri, sang pujaan hati. Maka tak heran jika Indri bagai dibawa melayang ke dunia fantasi yang penuh kesejukan, dan keindahan tentu saja.
“Eh ya, sebenarnya aku ada usul In, bagaimana kalau jam sembilan ini kita nonton bioskop. Filmnya bagus lho…”
“Apa sih Bob….?”
“The Great Cassanova From The Sky”
“Oh ya itu ditangani sutradara kenamaan dari Itali kan…?”
“Tepat sekali….”
“Okey…oh ya kita pakai mobil papi aja ya Bob…?”
Bob tak menjawab langsung merengkuh bahu Indri.
Di dalam bioskop Indri sering terdengar meronta-ronta halus (entah kenapa,padahal kelihatannya si Bob duduk tenang-tenang disampingnya). Tapi dasar si Bob aktor ulung, maka dalam kebisuannya itulah sesungguhnya dia tengah giat mengadakan aksi bergerilya. Mengadakan gerakan dibawah tanah dengan rumus-rumus seorang trouble maker yang militan. Tambahan pula suasana film yang kian panas itu, membuat kegaduhan halus diantara semua penonton yang memang telah diisyaratkan. Bahwa penonton disamping tujuh belas tahun ke atas juga harus berpasangan. Tak peduli entah itu pacarnya, suami istri atau comot partner sembarangan dijalanan, sebab dikuatirkan dengan film sepanas itu, jika penonton tidak berpasangan bisa usil gentayangan ke tetangga sebelah. Dan ini bisa jadi bibit kegaduhan dan kebrengsekan. Maka pengusaha bioskop telah menetapkan pesan yang cukup bijaksana.
Pulang nonton Bob menyeret Indri ke arah tempat yang agak gelap.
“Ngapain sih musti kesini segala Bob…?”
“Sssst! Tenanglah manis…..”
“Ah, ogah kalau ditempat yang gelap begini!”
“Alaaaa….biar gelap toh segalanya nanti akan jadi terang. Percayalah deh ama Bob.”
Dan memang Bob telah membuktikan ucapannya. Kini Indri menjadi terang akan persoalannya, meskipun sesungguhnya saat itu berada ditempat gelap.
“Sudahlah manis, Bob pulang dulu….”
Indri semula menangis kecil, tapi ketika Bob mendaratkan ciuman mautnya, segala sesal dan duka sekejap sirna. Bahkan Indri sempat pesan agar Bob sering-sering main ke Surabaya. Bob meluncur naik taksi malam dan menginap di hotel yang termahal di kota buaya itu. Sebelum memejamkan mata dia sempat berpikir sejurus tentang acara besok pagi.
Hari minggu pagi cuaca cerah bukan main. Bob Kliwon meluncurkan mersi taigernya menuju ke arah jalan Kebon Kacang 4/29 Jakarta tempat pacarnya yang kesekian memarkir diri. Ketika mobil putih itu membelok dengan manis memasuki ruangan rumah Eny yang mewah, seorang gadis yang kelewat yahuuud telah hampir satu jam menunggu diteras dengan penuh kesabaran. Demi sang pangeran, segalanya bisa dilakukan dengan ikhlas. Tak berapa lama keduanya berpelukan dengan amat mesranya. Saling memupus rindu dendam. Saling cerita tentang hal-hal yang mengasyikkan. Kurang dari satu jam mersi putih itusegera melesat menuju puncak. Bob bernyanyi-nyanyi kecil, Eny bergayut dengan manja di dada sang pemuda.
Tiada hari tanpa cinta
Senin Selasa Rabu Jumat hingga Minggu
Hatiku melaju menembus awan biru
Ya Tuhan, sungguh bersyukur kuucapkan atas rahmatMu

Dan Bob menyelingi siulan-siulan yang berirama rock, blues atau kadang kebaya berganti-ganti. Senyumnya mengembang. Seribu kemenangan ada di tanganku. Seribu keindahan ada di hatiku. Seribu keberuntungan ada di telapak tanganku. Ya, akulah si jantan yang akan selalu hidup dan dikenang seribu wanita. Akulah lelaki dunia yang digandrungi seribu wanita. Si tampan pujaan. Akulah itu tiada lagi yang kan menandingi. Dan tiba-tiba :
“Ciiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit!” rem mersi itu meraung-raung. Seorang anak kecil tiba-tiba dan amat mengejutkan melintas didepan hidung si Bob. Eny si cewek yahud tak kalah pula reaksinya, menjerit histeris.
“Oiiiiiiiii! Mami papi kakek nenek om tante adik kakak!”
Bob dengan sebelah tangannya menggoyang-goyang bahu Eny setelah dengan manis dia bisa mengatasi situasi genting.
“Heh! Apaan lu En….! Satu pasukan lu sebut semua.”
Eny tersadar, lalu geleng-geleng kepala.
“Gue ngeri benar deh Bob. Lu tahu waktu kecil gua pernah diajak orang tua gua ke Bandung. Dalam perjalanan papi gua yang pegang setir pernah nabrak anak kecil yang nyelonong seperti tadi….ih ngeriiii deh!”
“Terus bagaimana nasib anak kecil itu….?”
“Iih nggak bisa disebut lagi.”
“Mati….?”
“Bukan cuma mati, remuk!”
“Tenanglah….bersama gua lu aman deh pokoknya.”
Mobil meluncur terus setelah melewati Ciawi, Cipayung, Cisarua, dan setelah mampir sejenak buat mandi di Cibulan, terus saja ngeluyur ke atas dan akhirnya dengan lembut menyelinap ke sebuah villa yang cukup sejuk dan rimbun. Dan angin terus pula membelai dengan mesra kedua pasangan yang nampaknya memang sedang dilanda kebahagiaan.
Konon kata anak-anak kecil dari tetangga sekitar daerah itu, dua orang muda-mudi itu sering main film disekitar villa yang punya areal luas dan sebuah kolam renang. Mereka biasa menonton dari ujung perbukitan dibalik rerimbunan ketika adegan film itu berlangsung. Kadang memang tak bisa dihindari munculnya film tujuh belas tahun ke atas. Tapi bagaimana lagi, sensor nggak ada. Yang jaga bioskop nggak melarang, mereka tetap merasa aman mengikuti jalannya pertunjukan dari awal hingga the end. Dan biasanya setelah menonton pertunjukan itu mereka pulang dengan perasaan tak menentu. Ada sesuatu yang mengusik  dalam hati. Tapi ada juga rasa kebanggaan. Apalagi ketika bercerita didepan teman-temannya yang lain. Sehingga dari sistem mulut ke mulut itulah dari tiap acara pertunjukan praktis penontonnya selalu bertambah.
Tapi nasib malang rupanya tengah melanda anak-anak kecil itu dipagi yang segar dan penuh gairah, sesaat pertunjukan film berlangsung, nampaknya ada penonton baru  yang tak bisa berdisiplin tinggi, sehingga karena keusilannya itulah kedok yang sekian lama bisa dipertahankan dengan rapi jadi ketahuan. Si pemuda yang sadar akan adanya sesuatu yang mencurigakan segera melempari daerah rawan itu dengan batu-batu kerikil. Tapi berapa lama memang segera ketahuan reaksinya. Tiga anak meraung bersamaan. Kepala mereka pada benjol. Yang lain teriak-teriak entah kesenangan atau ketakutan. Makanya sejak saat itu, film tak pernah lagi di putar. Dan anak-anak itu saling menyalahkan satu sama lain.
Empat bulan kemudian semua media di negeri ini, entah radio, televisi, koran, majalah, maupun mulut manusia memberitakan sebuah berita yang amat menggemparkan. Yaitu berita tentang kecelakaan pesawat terbang. Dari beberapa deret nama penumpang yang tewas ada juga disebut nama Bob Kliwon, putra tunggal jutawan George Pahing. Tentu saja kenyataan ini amat mengejutkan, terutama pihak-pihak yang pernah berhubungan erat dengan dia. Sang ayah yang punya penyakit jantung itu lagi-lagi jatuh pingsan. Sang ibu yang punya penyakit cengeng lagi-lagi meraung-raung. Pada saat itulah semua pembantu dekat maupun relasi-relasi penting berusaha membujuk dan merayu agar beliau-beliau bisa menerima kenyataan dengan tenang, ikhlas dan tawakal, tapi bujukan itu tak pernah punya arti apa-apa, sehingga seorang dokter pribadi beliau terpaksa menyuntikkan obat penenang.
Ketika acara pemakaman berlangsung, kedua beliau itu belum sadar juga. Waktu acara selesai, semua melayat (selain kerabat dekat) sudah pulang semua. Hanya segerombol cewek yang jumlahnya tak kurang dari seratus masih tekun melingkari makam Bob dengan tangis yang memilukan. Mereka ada yang berdo’a. ada yang meraung-raung. Ada yang diam mematung. Semuanya diliputi oleh suasana hati masing-masing. Salah seorang diantara mereka rupanya telah sempat menghubungi sekretaris pribadi jutawan George Pahing dan memberitahukan identitas mereka.
Ketika George Pahing dan istrinya sadar dan tahu kalau jenazah putranya telah dimakamkan, marahlah beliau itu. Tapi dengan lembut dan penuh rasa kasih sekretaris pribadi beliau menjelaskan persoalannya. Mendengar itu beliau lalu manggut-manggut memaklumi. Dan ketika beliau bertanya kenapa dihadapannya ada sepasukan gadis-gadis cantik? Sang sekretaris itu segera memberitahukan perihal yang sebenarnya. Kedua beliau itu sejurus lamanya terbelalak. Dan ketika seratus gadis itu berdiri untuk menyalami, makin terbelalaklah beliau, karena ternyata kesemuanya dalam keadaan bunting. Suami istri jutawan itu spontan roboh dan tak pengin bangun lagi selamanya.

Mohon Perhatian! 
Dengan penuh kerendahan hati kami mohon pengertiannya agar tidak meng-copy-paste cerita yang termuat di blog ini kecuali seizin dari penerbit - kombatbuku@gmail.com



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment

Contact