by Darminto M Sudarmo
Sudah bertahun-tahun dihabiskan
Rama dan Shinta untuk berbulan madu di hutan belantara. Tak terasa hampir
sepuluh tahun kurang lima bulan lewat dua hari selisih empat jam lima puluh
menit. Kemesraan mereka berdua luar biasa romantisnya. Sebab selalu aman dari
gangguan siapapun. Di samping di hutan memang tempatnya sepi, juga ketenangan
mereka berdua semakin terjamin, karena dijaga oleh Lesmana, adik Ramawijaya.
“Apakah kau masih tetap betah tinggal di hutan ini dinda…?” kata
Rama suatu hari memancing pembicaraan Shinta. Sebab meskipun telah
bertahun-tahun hidup di hutan, ternyata Shinta masih saja menampakkan wajah
ceria, tak pernah mengeluh dan selalu setia pada suami. Padahal kalau ditilik
dari silsilahnya, Shinta putri seorang raja besar, dan biasa hidup enak di
kerajaan.
Mendengar pertanyaan suaminya yang agak aneh itu, Shinta hanya
menjawab singkat sambil tersenyum.
“Asal bersama kanda, dinda tetap betah diamanpun berada.”
“Sungguh…?”
“Kenapa tidak? Apa sepuluh tahun masih kurang bukti?”
Rama manggut-manggut, lalu memetik setangkai bunga menur dan
diselipkan disela-sela beha Shinta.
“Tapi dinda….kenapa selama ini dinda tak pernah marah atau
ngambeg…?”
Shinta yang ganti manggut-manggut. Tapi toh dia tak bisa
menyembunyikan senyumnya. Maka berkelebatlah warna putih cemerlang dari deretan
giginya yang seperti kapur tulis dan setiap hari selalu digosok dengan pasta
gigi Serabutdent.
“Kanda sungguh lucu hari ini…apakah ini suatu firasat bagi kita…?”
“Lho…kenapa sampai firasat segala…?”
“Iya dong. Menurut kenyataannya jika seseorang sering aneh-aneh atau
tiba-tiba mokal-mokal, padahal sebelumnya tak pernah, biasanya ada sesuatu yang
luar biasa bakal terjadi.”
Mendengar penuturan bininya itu Rama tak dapat menahan ketawanya, ia
sampai terkentut-kentut. Bahkan pula Lesmana yang berada dalam jarak kira-kira
sepuluh meter, sampai kaget dibuatnya, mendengar kentut Rama. Sehingga
sebagaimana yang sudah-sudah jika dia mendengar sesuatu yang mencurigakan,
segera dia pasang kuda-kuda.
“Kanda Rama….! Saya mendengar suara yang mencurigakan, bolehkah saya
menyelidiki…?”
Rama menghentikan tawanya lalu menyahut dengan nafas
tersengal-sengal. “Tidak perlu dinda, kau tak akan pernah berhasil menyelidiki
suara yang mencurigakan itu.”
Selamanya Lesmana selalu patuh pada kakaknya, maka dia lalu diam
saja dan yakin akan perkataan kakaknya yang sakti dan waspada itu.
Rama lalu memandang bininya dengan muka lucu.
“Kau hari ini juga aneh dinda…?”
“Aneh…?”
“Ya, seperti tukang ramal!”
Keduanya lalu sama tertawa. Shinta menyubit Rama, Rama mencolek
Shinta. Cubit colek makin meningkat. Dan karena gemes, Shinta terus menyerang
Rama dengan cara mengkilik-kilik bulu ketiak suaminya yang terkenal peka itu.
Rama menggelinjang-gelinjang seperti ketek ogleng.
“Aduh! Kapok deh mam. Sudah mam! Papa nggak nakal lagi deh.”
“Ayo janji tidak akan macem-macem lagi…!?”
“Iya deh.”
Shinta menghentikan agresinya. Tapi dasar Rama suka curang, begitu
Shinta diam, langsung dia terkam. Akibatnya….? Shinta kaget dan hampir
menjerit. Tapi lagi-lagi Rama memang lihai, sebelum mulut Shinta sempat membuka
telah lebih dulu dia tutup dengan mulutnya. Sehingga beberapa detik kemudian
terdengar sebuah suara yang khas dan terdengar nyaring, terutama bagi telinga
Lesmana. Sikap sekuriti yang patut diandalkan dari Lesmana segera bekerja.
Nalurinya segera memerintahkan waspada! Itu barangkali suara yang mencurigakan
dan akan mendatangkan bahaya!
“Kanda Rama! Saya mendengar sebuah suara yang amat mencurigakan dan
terdengar berulang-ulang. Bolehkah saya menyelidiki….?”
Rama kaget, tapi dengan sedikit jengkel dia menyeka mulutnya yang
kebanyakan pelumas lalu berseru.
“Jangan! Apapun yang terjadi sebelum ada komando dari saya kau tetap
berjaga disitu. Okey…?”
“Ya deh!”
Lesmana lalu tak ambil pusing dengan suara-suara yang datang dengan
gencarnya. Bahkan suara-suara yang khas tadi makin meningkat menjadi suara
seperti bunyi langkah kerbau yang berjalan di daerah berlumpur.
Semetara itu, tanpa sepengetahuan Rama dan Shinta, juga Lesmana,
diatas mereka ada seorang tante yang bernama Sarpakenaka, adik Prabu Dasamuka
dari Alengka, tengah mengendarai pesawat mini yang tak bersuara. Pesawat produk
mutakhir yang dirancang sedemikian rupa, bisa sekaligus dipakai sebagai pesiar
dan patroli. Kebetulan saat itu Sarpakenaka di samping pesiar juga dapat tugas
dari abangnya untuk patroli daerah perbatasan Alengka dan Ayodya. Ketika dia
melintasi daerah hutan Dandaka, wilayah Ayodya, dia melihat dua orang manusia
lawan jenis, masing-masing berwajah tampan dan cantik tengah bercumbuan dengan
asooiinya. Tentu saja ini sangat menarik perhatiannya. Sebab selain dia memang
seorang tante gembira, juga seorang penggemar blue film dan buku-buku stensil.
Bahkan dia secara rutin berlangganan majalah Play Boy dan Pent House.
Menyaksikan adegan yang mengundang sejuta bayangan itu, tak sadar
tante Sarpakenaka mengeluarkan air liur lewat telinganya. Apalagi setelah dia
juga menyaksikan tak jauh dari kedua orang itu ada seorang kesatria yang tengah
melamun seorang diri. Satria yang satu ini pun tak kalah tampannya, kontan
penyakit iseng tante Sarpa kumat lagi. Dia mendaratkan pelan-pelan pesawat
pribadinya yang tak bersuara itu, sehingga soal keamanan dan kelancaran
rencananya berjalan lancar sekali. Begitu dia turun dari pesawat kontan pula
muncul di otaknya bayangan-bayangan cabul yang luar biasa sadisnya. Maklum dia
seorang perempuan yang bermuka raksasa, dan berbody atlet. Tapi dengan
kesaktiannya yang luar biasa, dia mampu merubah dirinya menjadi seorang putri
jelita dalam sekejap saja.
Tante Sarpa yang kini telah jadi putri cantik berjalan dengan
gemulai menghampiri Lesmana. Pinggulnya yang penuh, dan payudaranya yang padat
montok, tambahan pula kulitnya kuning langsat, membuat dia tak beda seperti
seorang bidadari yang baru keluar dari salon kecantikan. Saat itu Lesmana masih
juga melamun. Entah apa yang dilamunkannya, mungkin utang-utangnya yang belum
terbayar, maklum selama dia ikut mengembara bersama Rama dan Shinta, tak satu
pun dari mereka yang bekerja buat menyambung hidup. Makan minum kadang dia
peroleh dari tumbuh-tumbuhan. Tetapi yang seringkali adalah bon di
warung-warung yang sempat mereka singgahi.
Tante Sarpa memperkeras goyangannya, dan ketika tepat berada di
depan Lesmana, ternyata Lesmana masih juga tak memperhatikannya. Maka sambil
diiringi kerlingan genit dia berseru.
“E cowok! Godain dong…!”
Lesmana kaget. Tapi dia seperti orang yang baru bangun tidur. Masih
bingung.
“Aih…siapa sih kau sebenarnya…?” tanya putri palsu itu.
Lesmana menjawab dengan grogi.
“Aku Lesmana. Pemuda dari negara Ayodya. Kau siapa…?”
“Ah apa perlunya mengetahui aku. Yang jelas aku seorang gadis yang
sedang kena sakit asmara. Selama ini aku mengembara dari hutan satu ke hutan
yang lainnya, tujuannya adalah untuk mencari pemuda pujaan yang sering
kuimpikan itu, tapi ternyata selama aku mengembara itu yang kujumpai bukannya
satria atau pemuda bagus dan cakep seperti kau, melainkan monyet-monyet buruk
yang banyak gentayangan. Maka mungkin Dewata telah bermurah hati mempertemukan
kita. Dan kurasa hanya kaulah yang bisa menyembuhkan penyakitku itu wahai
pemuda…”
Lesmana menjawab dengan tenang.
“Wah kalau itu yang kau kehendaki….sorry saja. Aku ini seperti
pastur atau pendeta, wadat tidak kawin, sering puasa. Puasa nasi, minum maupun
wanita. Kau berwajah ca’em, tapi tingkahmu seperti cewek jagoan eh, maksudku
seperti cewek berandalan. Tak bisa jual mahal sedikit juga. Maka kalau pengin
cinta, di sana ada kakakku, dia bernama Ramawijaya putra raja Ayodya, mungkin
dia mau meladeni cintamu. Nah kudoakan berhasil.”
Tante Sarpa lalu mendekati Rama dan merayu dengan sikap sebagaimana
dia merayu Lesmana tetapi apa jawaban Rama.
“Wah, sayang sekali kau gadis masa kini. Cantik dan menarik, tapi
ketahuilah, bagiku gadis tercantik di dunia ini bukanlah seperti you, bukan
Brijit Bardot, Jen Semor, Rakuel Weh, atau Lidia Kondom, tetapi hanya istriku
inilah, Lady Shinta. Nah kalau kau pengin cinta, disana ada adiku Lesmana,
barangkali dia mau meladenimu. Sebab setahuku hingga kini dia belum punya
pasangan. Mungkin sedang patah hati, atau memang…tak pengin kawin. Cobalah kau
dekati, kudo’akan kau berhasil.”
Mendengar jawaban Rama ini, bukan main malu dan gondoknya tante
Sarpa. Ia marah kepada Lesmana. Bahkan menurut catatan beberapa ahli psikologi
tante Sarpa menderita semacam penyakit
“The big birahi” jika tidak memperoleh saluran, bisa merusak pencernaan dan
menimbulkan penyakit maag.
Maka kemarahannya kali ini sekaligus bercampur dengan pemuncakan
nafsu berahinya. Maka tanpa peduli soal gengsi dan sebagainya dia tubruk
Lesmana dengan darah yang menggelegak. Dia gulat, dia kecup, dia piting, dia
jepit. Bahkan kalau bisa dia ingin meremuk leburkan tulang sungsumnya.
Mengetahui kegilaan cewek badung itu, Lesmana segera bertindak tegas. Dengan
sekuat tenaga dia meronta untuk melepaskan pelukan cewek badung yang sudah mata
buat eh, mata buta itu. Usahanya berhasil. Tapi cewek yang tak punya rasa malu
itu terus menerjang dan mendaratkan ciuman mautnya. Lesmana bergerak cepat,
ketika cewek itu menerjang lagi, cepat dia tangkap itu tangan lalu dia bekuk.
Tante Sarpa tak berkutik. Tapi mulutnya melontarkan berbagai sumpah serapah
sekaligus rayuan muluk. Lesmana jengkel, dia puntir hidung tante Sarpa hingga
copot. Darah muncrat! Putri palsu itu berubah wajah aslinya, seorang raksasi
dan telah tak berhidung. Sarpakenaka meraung-raung dengan sadisnya. Lalu
ancamnya.
“He, Lesmana aku adalah Sarpakenaka, putri Alengka, adik Prabu
Dasamuka. Perbuatanmu yang kurang ajar ini akan kuadukan padanya. Dan kau akan
tahu, bagaimana kalau kanda prabu marah. O…….Mas Karadusana dan Trimurda….tolonglah
aku ini…!” dia menyebut kedua suaminya yang dia cintai (ingat, Sarpakenaka
seorang poliandris).
Tapi memang Sarpakenaka tidak main-main. Dia mengadukan halnya
kepada suaminya dan Dasamuka. Kepada suaminya dia bilang ketika ketemu kedua satria
Ayodya itu, dia mau dipekosa beramai-ramai oleh Lesmana dan Rama. Tentu saja
dia menolak. Tetapi setelah kedua satria itu tak berhasil, dia disakiti, yaitu
dipuntungi hidungnya.
Mendengar laporan palsu ini, yang dianggap benar-benar oleh kedua
suaminya, tak bisa tidak membuat darah kedua suami itu meloncat samapi langit
saf tujuh. Mereka marah besar. Lalu sekali perintah telah siap pasukan sebanyak
satu laksa terbang menuju Dandaka. Tapi gerombolan raksasa itu cuma dalam
sekejap bisa dibasmi oleh Rama dan Lesmana.
Mendengar kegagalan suaminya, Sarpakenaka makin uring-uringan, lalu
dia lapor kakaknya. Mula-mula Dasamuka kurang tertarik. Namun dengan kelihaian
Sarpakenaka yang diantaranya mengetahui kelemahan Rahwana (Dasamuka, yang
diantaranya gemar wanita cantik) segera Sarpakenaka berkata.
“Mas Dasa…sebenarnya kalau mas mau menolong saya, bukannya mas telah
dapat menumpas musuh bebuyutan Alengka, tetapi sekaligus mas bisa merebut istri
Rama yang bernama Shinta. Wuah! Cantiknya selangit deh!” Dasamuka terdongak,
cuping hidungnya kembang kempis.
“Apa betul itu Sar…?”
“Kapan saya pernah berbohong kepadamu mas…?”
“Oke kalau begitu! Aku sendiri yang akan berangkat. Panggilkan
Kalamarica ke mari hei jongos!”
Jongos yang dimaksud segera berkelit, menekan tombol aipone dan
memanggil dengan gaya seorang tuan. Padahal yang dipanggil itu adalah seorang
kapiten dan panglima perang Alengka bagian wilayah Timur. Tak berapa lama
Kalamarica datang. Dasamuka lalu membisiki sesuatu ke telinga Kalamarica.
Kalamarica manggut-manggut. Saat itu Sarpakenaka tak tahu bahwa kakaknya cuma
tertarik untuk menggaet ceweknya doang. Dan tak peduli dengan dendam adiknya.
Syahdan, siasat Dasamuka dengan cara merubah Marica menjadi kijang
kencana untuk memikat Shinta sehingga meminta kepada Rama untuk menangkap
binatang itu. Rama makin terpisah dari Shinta, sebab kijang palsu itu sulit
sekali ditangkap. Akhirnya Rama memanah dan kena. Si Marica pura-pura teriak
dengan cara menirukan suara Rama yang seolah-olah minta tolong. Mendengar itu Shinta
segera memerintahkan Lesmana untuk membantu kakaknya yang mungkin dalam bahaya.
Lesmana menjelaskan bahwa teriakan itu bukan berasal dari suara Rama. Shinta
tak mau mengerti, bahkan menuduh kalau Lesmana mau menyenangi dia, sehingga
tega membiarkan kakaknya dalam bahaya. Kesalah pahaman semakin meruncing,
Lesmana terpaksa meninggalkan Shinta sendirian, karena dituduh yang
nggak-nggak.
Pada saat Shinta sendirian itulah Dasamuka merubah diri menjadi
seorang tua renta yang penyakitan dan seolah tak kuat lagi berjalan. Dia
mendekati Shinta, sambil merengek seperti kucing kedinginan. Shinta jatuh
kasihan dan bermaksud menolongnya, tapi begitu tangannya menggapai segera
diserobot dan dibawa terbang oleh Dasamuka dengan pesawat supersonik. Singkat
cerita, sampai sahabat ayah Rama yang berupa burung Jatayu mau menolong tak
juga berhasil. Bahkan menemui ajal setelah ketemu Rama dan Lesmana, dan
memberitahu siapa yang menulik dan dibawa kemana.
Sejak itu Rama menjadi linglung, sering ndoyong, sering gandrung merayu
pohon-pohon, batu-batu, yang dianggap istrinya. Bahkan sering melarikan
frustrasinya ke arah minum-minuman (bukan minuman keras! Melainkan air sungai
dan telaga). Rama terkadang menari-nari seperti orang gila dan menagis
tersedu-sedu jika teringat istri yang amat dicintai itu. Lesmana kian cemas,
maka suatu hari dia memerlukan membawa Rama ke seorang psikiatri. Sejak itu
keadaan Rama agak mendingan. Bahkan sejak dia merasa mendingan itulah dia mulai
mencanangkan sebuah perang besar yang dalam waktu dekat atau jauh pasti
terjadi. Perang besar buat menggulung habis rezim Dasamuka yang serakah dan
haus wanita dengan mengerahkan jutaan balatentara berupa monyet-monyet. Dari
mana Rama bisa tahu sesuatu yang belum terjadi itu….? Ya dari saya dong. Nah!
Dong crek!…..crek…..crek….ning….nong….ning….gung! gung gung genjur!
Bubar !
0 comments:
Post a Comment