Genangan Air


by Darminto M Sudarmo


SORE ini, merupakan penerbangan Dody yang kesembilan ratus dua puluh lima. Ia tetap menggunakan pesawat dari perusahaan penerbangan yang sama. Melintas di atas ketinggian 75.000 kaki dari Jakarta - Yogyakarta, atau sebaliknya. Di dua kota itu ia memimpin beberapa perusahaan. Dalam seminggu tak kurang dari empat kali penerbangan. Bulan Oktober, baginya merupakan bulan yang menyenangkan. Setidaknya cuaca saat itu tidak terlalu buruk.

"Langit! Itulah pemandangan yang sering saya lihat. Lewat jendela pesawat yang kadang kusam karena embun, saya tidak dapat melihat pemandangan lain kecuali langit. Saya ingat masa kecil, saat berkhayal berlarian dari mega ke mega. Lewat jendela itu pula saya saksikan kerajaan langit. Candi, istana, gunung, bukit, lembah, dan rimbunan taman -- semuanya terbuat dari mega. Saya jarang melihat bumi," ungkap Dody dengan perasaan tertentu ketika seorang wartawan budaya mendesaknya mengungkap pengalaman-pengalaman estetik yang pernah dialaminya selama melakukan perjalanan.

"Apa Bapak juga menyenangi lukisan?" tanya wartawan itu.

"Suka sekali. Saya suka lukisan pemandangan. Dari laut, mega, gunung, lembah, dan wanita cantik. Kadang memang suka lukisan abstrak, tetapi itu cuma pada saat-saat tertentu saja."

"Memelihara burung atau hewan lain?"

"Tidak. Saya tidak tega melakukannya."

"Menonton teater, suka?"

"Saya suka menonton film. Itu pun kalau lagi sempat. Cukup video di rumah."

"Di rumah, hiasan yang paling Bapak banggakan apa?"

"Saya kurang mempedulikan itu. Semua yang mengatur istri saya. Rata-rata dalam satu hari semalam saya hanya punya waktu 45 menit untuk melihat suasana rumah. Selebihnya kesibukan kerja, seminar, rapat, tugas ke luar negeri. Ada memang tambahan dua sampai tiga jam waktu. tapi itu untuk tidur. Apakah ini ada hubungannya dengan budaya, seperti yang Saudara maksud?"

Wartawan itu tertawa. Dody meletakkan kaca mata.

"Apa lagi yang bisa saya bantu untuk Anda?" tanya Dody memakai kaca matanya lagi.

"Ah, saya kurang enak. Pertanyaan ini saya tarik saja."

"Lho, tidak apa-apa. Silakan, selama ada hubungannya dengan budaya seperti yang Anda katakan, apa salahnya?"

"Bapak Dody tidak tersinggung?"

"Ha-ha-ha..."

"Baiklah, budaya permainan yang Bapak anut apa?"
  
Dody sejenak melepas kaca matanya. Tidak, ia memakainya lagi. Tidak, ia mencopot lagi. Tidak juga,  ia mengenakannya lagi. Ia menatap wartawan yang masih muda usia -- berambut gondrong, dan sedikit pemalu itu.

"Maksud Anda soal hobi mengisi waktu luang saya? Eh, soal main-main,  apa ya maksud Anda?"

"Bukan itu Pak. Maksud saya..."

"Sudahlah, saya pikir tidak perlu saya berdebat tentang ini," Dody meminta wartawan itu menunggu. Ia masuk ke ruang dalam. Nyonya Dody yang sejak tadi hanya diam mendampingi suaminya, menatap cemas ulah suaminya.

Dody masuk ke dalam kamar. Ia mengunci rapat-rapat. Wartawan itu menunggu dengan sabar. Nyonya Dody berkali-kali mengetuk pintu. Dody tidak mempedulikannya. Tak seorang pun mengetahui apa yang dia lakukan di dalam kamar.

"Maaf Pak, Bapak ingin minum apa, teh, kopi, orange atau cola?" tanya pramugari dengan senyum penuh maklum.

"Oh, maaf, teh saja," ujar Dody tergagap. Ia buru-buru membuka meja lipat. Sesaat ia termenung-menung, mengingat sesuatu yang belum lama melintas dalam angan-angannya.

"Mungkinkah?" gumamnya, "Rasanya belum pernah sekali pun aku memberi waktu kepada wartawan untuk mewawancaraiku," ia buru-buru menyobek bungkusan gula pasir. Menaburkannya pelan-pelan ke dalam gelas, lalu mengaduknya dengan gugup.

Pesawat terbang mendarat di Bandara Soekarno - Hatta pada senja hari. Dody bergegas. Ia menyalip beberapa orang yang ada di depannya ketika melintasi lorong menuju pintu keluar. Di halaman terminal bandara sebuah mobil telah menjemputnya. Ketika mobil meluncur meninggalkan bandara itu, sebuah mobil lain menguntit dari belakang. Jantung Dody langsung berdesir.

"Sudah saya katakan, saya paham sekali. Prediksi saya meleset, estimasi jauh dari proyeksi  minimal. Tetapi kita masih punya kesempatan menyelesaikan keteledoran itu di kemudian hari. Toh kesempatan untuk memperbaiki akan selalu ada," ujar Dody pada salah seorang manajer di perusahaan induk.

"Tetapi Pak, spekulasi kita sangat tidak proporsional. Saya khawatir, aset perusahaan yang lobangnya makin menganga ini akan tercium pers."

Tiba-tiba Dody meradang. Ia sangat marah.

"Jangan sebut-sebut lagi kata pers! Selama tim auditing masih kompak, saya masih sanggup menyembuhkan perusahaan ini. Ingat ya sekali lagi, saya melarang orang-orang di jajaran eksekutif untuk kontak dengan pers. Dengan dalih apa pun!"

"Tetapi Pak..."

"Sudahlah, saya mengerti. Kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan kita yang sudah go public  tak boleh ternoda oleh keadaan yang ada di sini. Imej itu, satu-satunya pertaruhan dan masa depan kita."

Manajer itu hendak memberitahukan, bahwa di tingkat komisaris telah mengadakan hearing dengan pers. Terlambat, ia keburu mundur. Tak ada kompromi. Dody pun tak menghendaki berita yang bisa mengganggu perasaannya. Ia tergagap lagi ketika sopir memberitahu, mobil sudah sampai di depan rumah.

"Kok bengong, langsung masuk sekalian ke garasi dong!" ujar Dody sambil menggosok-gosok mata.

"Tapi Tuan, di teras itu banyak orang. Tampaknya wartawan," ujar sopir lalu membunyikan klakson.

Sesaat Dody ternganga. Ia ingin menyuruh sopirnya memutar arah dan menginap di hotel, tetapi persis di belakangnya sebuah mobil telah berhenti. Dengan perasaan penat, Dody menyuruh sopir memasukkan mobil sampai halaman.

Begitu turun dari mobil, Dody langsung diburu pers. Mereka mengacungkan tape recorder dengan sangat rakus.

"Apa yang dapat saya bantu untuk Anda semua?" tanya Dody mencoba tegar.

"Begini Bung Dody, kami perlu mendengar komentar Anda kaitannya dengan tragedi bank Suta beberapa waktu lalu."

"Mengapa harus saya?"

"Iya dong, menurut beberapa pengamat, perusahaan Anda dinilai paling berhasil dalam menerapkan pola transaksi off balance sheet untuk bank. Nah, bagaimana kiat Anda sehingga dapat menghasilkan kebijakan yang amat brilian itu?" sergap wartawan dengan istilah dan bahasa yang masih populer di ingatannya.

Dody terlongong. Beginikah pertanyaan pers itu, menjebak, mengejek atau sungguhan? Dody tak pernah tahu jawaban yang diberikan kepada mereka. Sesungguhnya, ia memang belum pernah berurusan dengan pers. Ia pun belum juga tahu, benarkah ia memang Mr.  Dody, pimpinan puncak dari Bank Suta;  bank yang semula sangat popular namun tak lama lagi bakal dilikuidasi oleh pemerintah karena kasus kredit macet!*****



Mohon Perhatian!
Dengan penuh kerendahan hati kami mohon pengertiannya agar tidak meng-copy-paste cerita yang termuat di blog ini kecuali seizin dari penerbit - kombatbuku@gmail.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment

Contact