Sang Pelukis


by DarmintoM Sudarmo

Masih pagi sekali saya sudah siap di depan sebuah bangunan yang lumayan antiknya. Duduk menunggu pintu pagar dibuka oleh seorang pembantu. Di depan, saya tak bisa duduk dengan santai karena tak sebuah tembok pun yang terjangkau pantat saya. Di samping bentuk pagar yang cenderung bergaya Spanyolan, juga terangkai benda-benda yang bisa menyakiti manusia, jika orang nekat meletakkan pantatnya.

Sudah seperempat jam lamanya saya celingak-celinguk dengan sedikit kesal. Taman-taman yang elok di halaman gedung itu, yang biasanya sering saya tatap dengan pandangan mesra, pagi ini cuma kulirik dengan sudut mata menahan geram.Berkali-kali saya tengok pintu garasi, yang biasanya muncul seorang pembantu, lalu bergegas membuka pintu, begitu tahu saya sudah berdiri di samping pintu pagar. Tapi kali ini, tak seujung hidung pun yang muncul.

Tapi saya masih berusaha menahan kesabaran. Maklum, servis buat relasi.

Tak lama kemudian terlihat pegangan pintu bergerak-gerak ke atas ke bawah. Namun tak juga pintu garasi itu membuka. Aneh, saya betul-betul dongkol. Saya pikir, tentu pembantu itu sedang bergurau menggoda saya. Atau sengaja mempermainkan. Maka kontan saya berteriak sekeras mungkin.

“Heiiiiii cepat buka pintu! Sudah sebulan lebih saya duduk, eh berdiri di sini. Capek ngertiiiii nggaaaaak!!”

Tangkai pintu garasi itu masih juga bergerak ke atas ke bawah. Tapi masih juga belum terbuka.

“Heiiiii tolol! Kenapa sih buka pintu pakai ajojing segala!”

Dan semenit kemudian, pintu garasi itu terbuka. Lalu muncullah seorang pembantu. Bukan! Bukan seorang pembantu yang muncul pagi ini, melainkan nyonya rumah sendiri. Gila! Nyonya rumah yang cantik itu masih memakai pakaian tidur. Belum cuci muka, belum gosok gigi (barangkali). Hanya baru sedikit menyisir rambutnya. Dengan pandangan sedikit mengantuk, dia berkata tenang. Tentu saja sambil tersenyum.

“Maaf dik Heru, saya sendirian di rumah. Simin pembantu itu sedang pulang kampung. Suami saya lokakarya ke luar kota sedang Ira dan Tomy liburan di tempat neneknya. Maaf saya terlambat membuka pintu, karena ngutak-ngatik pintu garasi tak bisa segesit Simin.”

Saya mengangguk dengan senyum kecut. Betapa merah padam terasa muka ini.

“Maafkan  juga Zus kekurangajaran saya.”

“Ah, jangan pikirkan itu. Ayu silakan masuk.”

Saya berjalan di belakang nyonya Rudy, tapi dia lebih senang jika saya menyebutnya Zus Anna. Aneh benar kenapa jalannya lambat banget. Eh, rupanya dia setengah menunggu saya untuk jalan bersama-sama menuju ruang dalam. Pada sebuah meja kecil berikut kursinya tersedia roti bakar dan dua gelas kopi susu. Dia mempersilakan aku duduk, dan pamit pergi ke kamar mandi. Saya menghela nafas waktu gaun tidurnya yang tipis itu berkibar-kibar. Saya memejamkan mata waktu melihat bayangannya terpantul di kaca kamar mandi. Aneh, sepagi ini kenapa dia hidupkan lampu kamar mandi itu. Tapi saya berusaha tetap tenang.

Saya tak kehilangan akal untuk mengisi waktu dalam sendirian itu. Mempersiapkan alat-alat lukis, cat, minyak dan lain-lainnya. Namun tak urung mata saya toh ngeluyur ke bayangan yang mempesona itu. Kupikir aneh juga padahal hati kecil melarang. Sebodo amatlah!

Tak lama kemudian, Zus Anna telah muncul dalam pakaian yang mengejutkan jantung. Hot-pants dan T-shirt. Dalam jarak dua tiga meteran ternyata hidung saya sudah terlalu lancang membaui parfum yang amat bikin penasaran. Tercium antara ada dan tiada. Tapi saya berusaha tetap tenang.

“Lho kenapa dari tadi didiamkan saja? Keburu dingin lho. Ayu dik Heru, kita minum sama-sama.”

“Baik Zus.”

Zus Anna tersenyum.

“Saya harap dik Heru tetap saja rileks sebagaimana biasa, sebab nanti yang melayani anda melukis dinding itu bukan Simin, melainkan saya sendiri. Apakah dengan pakaian seperti ini sudah cukup praktis?”

“Zus Anna hendak melayani saya?”

“Iya, kenapa? Keberatankah?”

“Bukan keberatan, tapi … a … anu saya jadinya kikuk Zus.”

“Bukankah sudah saya katakan dik Heru hendaklah rileks saja sebagaimana biasa. Percayalah saya tak kalah gesit untuk mengurus soal cat, minyak, kuas dan sebagainya. Ok?”

“Baiklah, kalau itu memang kehendak Zus.”

Maka pagi itu saya memulai pekerjaan dengan jantung penuh debaran. Pertama, debaran rasa bangga akan begitu besarnya minat nyonya rumah pada karya saya, terutama sekali hasil buatan saya. Kedua bangga dan sekaligus berdebar-debar karena pelayan saya hari ini seorang wanita cantik, dan berpakaian sangat kasual.

Dengan semangat yang hebat saya mainkan kuas dan cat di tembok, membentuk pola-pola, detail dan seterusnya, hingga selama empat hari ini telah dua pertiga tembok berukuran 8 x 4 meter yang terisi ornamen dan lukisan. Saya katakan lagi selera yang punya rumah memang agak gila-gilaan. Dia tak ingin membentuk relief pada tembok, tetapi malah lukisan raksasa. Tepat pada tengah hari, saya merasakan tubuh amat loyo, tapi hati terasa puas. Nyonya rumah, Zus Anna nampaknya juga cukup puas dengan hasil itu. Bahkan ketika dia melihat saya keletihan sempat menawarkan jasa, yang amat tak terduga.

“Berbaringlah di pelbed ini, dik, biar kupijit.”

Aneh, saya menurut saja. Betapa lembut elusan jari-jari lentiknya.

“Membaliklah dik.”

Saya menurut.

“Miringlah dik.”

Saya menurut.

Entah kenapa, saya merasa bagai larut dalam langgam kemanjaan. Bagai dielus jemari seribu bidadari, saya terlelap dan tertidur. Saya sungguh tidak ingat apa-apa lagi. Sebab saat itu rasa kantuk begitu hebat menyerang persendian tulang-tulang mata. Zus Anna rupanya tak ingin mengganggu saya, dia membiarkan saya tertidur dan dengan telaten mengipasi dada saya yang berkeringat keletihan.

Namun Zus Anna pun tak juga mampu menahan rasa letihnya, musik lembut yang mengalun dari sebuah piringan hitam, sempat pula melelapkannya. Anda mestinya tahu di mana Zus Anna tertidur? Nah, karena tiba-tiba saya merasa hawa yang mulanya sejuk, berubah jadi hangat. Tapi saya pun juga tak tega mengganggu dan membangunkannya. Kami sama-sama tertidur.

Waktu perut saya menagih ’upeti’, saya tak bisa berbuat lain selain berusaha untuk bangun. Pada saat itu rupanya Zus Anna juga terbangun, mungkin mendengar kegaduhan yang ditimbulkan oleh perut saya.

“Makan siang sudah dipersiapkan di ruang tengah. Mudah-mudahan menu-nya cocok untuk Anda, dik.”

Zus Anna dan saya duduk semeja menyantap hidangan siang hari. Jadi pelukis, ternyata nyaman juga. Sambutan hangat, jamuan memuaskan, dan imbalan lebih dari cukup, kala kita dibutuhkan. Makanya saya tak pernah menyesal jadi pelukis, karena salah satu alasan di antaranya adalah hal ini.

Dan kenangan bekerja di rumah Zus Anna itu begitu menggurat sangat dalam di otak saya. Maka tak heran ketika saya mengadakan p a m e r a n di Bali, sebagian besar karya yang muncul ternafasi oleh greget-greget yang amat aneh, yang saya rasakan ketika saya melukis sambil membayangkan dia. Pameran ini tentu saja mendapat sukses besaaar.

Pameran selanjutnya saya adakan di Jakarta, ini pun tak kalah mengundang sensasi dan kehebohan. Pameran selanjutnya di Singapura. Nah, di sinilah saya ketemu dengan seorang kolektor bermutu internasional. Mister Lim Tong Pes. Hebat dia, sekaligus dia borong empat lukisan yang temanya sama, soal wanita. Setelah putar-putar ruangan, nampaknya dia masih juga tertarik pada sebuah lukisan saya. Lukisan yang identik sekali dengan Zus Anna. Padahal lukisan itu kesayangan saya, dan telah saya beri catatan ‘tidak dijual’.

Tapi ternyata Mister Lim, tetap saja mengejar dan memberi tawaran yang luar biasa. Saya berusaha menolak dengan halus dan memberi pengertian padanya. Tetap saja dia tak peduli dan terus meningkatkan tawarannya. Akhirnya saya tak berdaya. Khusus lukisan satu itu dia mau membeli dengan tarif yang saya sebutkan. Padahal tarif itu mampu untuk membeli sebuah mobil terbaru dan terbaik. Nah, meskipun sedikit menyesal, saya juga merasa sangat gembira. Setahu saya, jarang pelukis muda seberuntung saya.

“Nah, ini porskot untuk semua lukisan dan yang satu ini terutama, kelak kalau pameran sudah selesai, saya akan bayar lunas dan mengambilnya.”

Sejak Mister Lim berlalu, saya masih saja termangu-mangu menatap ke lukisan satu yang saya beri judul ‘Hmmm’ itu. Berat rasanya harus berpisah dengannya. Tapi apa boleh buat toh transaksi awal sudah berlangsung. Saya harus rela. Maka agar perpisahan itu total bisa membawa kepuasan padanya dan pada saya, tak ada salahnya saya berusaha mempersembahkan lukisan itu sebagus-bagusnya, kepada Mister Lim.

Beberapa jurus lamanya saya termangu-mangu mencari tempat yang sepi, mengenang kembali sumber ilham yang menopang kelahiran karya itu. Lalu tergambarlah dengan gamblang wajah Zus Anna yang lembut melankolia. Baik hati dan penyayang. Aih, jantung saya tiba-tiba berdebar kencang sekali. Keseluruhan tentang dirinya bagi saya memang serba mendebarkan. Pesonanya, ya pesonanya.

Saya tiba-tiba pula seperti melihat wajah Zus Anna persis di depan mata saya. Saya kaget, ternyata Zus Anna tak memiliki tahi lalat di kening. Ya, keningnya mulus sekali. Ah, berarti saya telah membuat kekeliruan tentangnya di lukisan itu. Sebab di lukisan saya itu ada sedikit tahi lalat agak memanjang, seperti ceceran cat yang tak sengaja. Berpikir demikian lalu terpikir oleh saya untuk menghilangkan noda yang mengganggu itu sebelum saya serahkan pada Mister Lim.

Pada akhir pameran, datanglah Mister Lim menyelesaikan urusannya. Namun begitu dia menghadapi lukisan itu, yang dia berani bayar dengan harga luar biasa tingginya, tiba-tiba wajahnya menegang. Saya lihat persis perubahannya  itu. Alangkah cemasnya hati saya.

Tak salah dugaan saya, dengan suara datar dan dingin Mister Lim akhirnya berkata.

“Sayang sekali saudara Heru, rupanya belakangan ini terlalu banyak pekerjaan. Lukisan ini justru nampak berdaya sentuh tinggi bagi saya, ketika ada tahi lalat yang terlukis secara spontan itu. Sekarang semuanya telah menjadi hambar. Saya sangat menyesalkan. Mungkin saudara kecewa, karena saya membatalkan transaksi. Tetapi sesungguhnya saya jauh lebih kecewa dari anda. Tapi keempat lukisan itu tetap saya beli, dan porskot itu tetap menjadi milik anda. Selamat siang!”

Saya cuma bisa menatap kepergiannya dengan sejuta tanda tanya. Kendati demikian, saya tak begitu menyesal, karena dengan tidak berpisahnya lukisan itu dari tangan saya, juga menerbitkan kebahagiaan tersendiri bagi saya. Kebahagiaan yang sangat pribadi.


Mohon Perhatian!
Dengan penuh kerendahan hati kami mohon pengertiannya agar tidak meng-copy-paste cerita yang termuat di blog ini kecuali seizin dari penerbit - kombatbuku@gmail.com

 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment

Contact