by Darminto M Sudarmo
“Masih adakah orang yang bisa dipercaya di
dunia ini?” keluh Tukijo di depan cermin rias dengan hati remuk. Seorang
sahabat kental yang sangat dia percaya dan sayangi telah melukai perasaannya.
Mengkhianati. Malam hari ketika mereka tidur dalam divan yang sama, suatu
kejadian fantastis telah terjadi. Temannya berjingkat dengan langkah kucing
menuju ke kamar adik perempuannya. Dan berusaha menidurinya! Untung Tuhan masih
melindungi kehormatan sang adik, hingga dengan caranya sendiri yang sopan dan
halus kejadian terkutuk itu tak sempat berlangsung.
Tukijo, sang pelawak tunggal yang sendu itu
meneteskan air mata tanpa sadar. Air mata yang biasanya teramat pelit ke luar
dari kelopak matanya itu, kini telah merusak rias wajahnya.Saatnya manggung di
pentas telah tiba. Tukijo tak sempat berbuat lebih banyak pada bentuk rias di wajahnya.
Kesedihan total tengah menggumpal di dada. Dia tak pedulikan materi apa yang
mesti dia bawakan. Sekitar pikirannya cuma berisi lingkaran-lingkaran
kesedihan, lain tidak.
Anehnya, ketika wajahnya muncul dengan rias
porak-poranda, ruang nait-klab (tertulis : night-club) tempat dia manggung
dilanda gelak tawa yang gemuruh. Feelingnya yang kuat cepat bicara, bahwa tawa
penonton itu telah menimbulkan masalah buat dirinya. Sebuah kecurigaan.
Tukijo merasa tiba-tiba terdampar di sebuah
tempat yang paling tepat menjadi bahan olok-olok. Dia ingat cucuran air mata
adiknya, ketika bercerita tentang sahabat yang tak memandang sepicing rasa
pengertian dan hormat kepada dirinya. Dia ingat sikap sahabatnya yang seolah
tak pernah merasa bersalah; yang berpenampilan akrab tapi kurang ajar; yang
membuat dia tiba-tiba menjadi sangat benci dan kecewa.
Ketika itu, pelawak Tukijo di mata penonton
berpenampilan amat sophisticated. Mereka sebenarnya tak pernah menangkap materi
yang lucu, karena saat itu mereka tengah disibukkan oleh urusannya
masing-masing yang serba mendesak dan
menyita perhatian, sehingga mimik dan tingkah pelawak Tukijo yang muncul secara
meyakinkan telah mengundang kesan kuat bagi penonton. Dan penonton merasa selayaknyalah
jika mereka menghadiahkan tawa lepas-lepas bagi pelawak yang berhasil itu.
Namun bagi Tukijo, dia merasa dirinya makin
jauh terdampar dan menjadi sasaran paling empuk buat bahan olok-olok dan ejekan
para penonton yang dia pikir mengetahui nasibnya yang malang itu.
Dengan sorot matanya yang jeli dia tahu
betul bahwa tawa mereka bukanlah tawa yang menyenangkan hatinya. Seseorang yang
duduk di pojok bar sambil berkali-kali menenggak minumak keras, tanpa sebab
tertentu tiba-tiba tertawa gelak-gelak, padahal ketika itu tak seorang pun melakukan
seperti apa yang dilakukan oleh pemabuk itu!
“Tentu dia tengah menghina aku. Ya, pasti
dia sengaja hendak menghina aku,” kata Tukijo dengan hati hambar.
Lalu kesedihannya datang lagi. Perasaannya
semakin lunglai. Dan tanpa dia duga, semua penonton meledakkan tawanya lagi.
Tukijo cingak-cinguk, gilakah mereka? Bukankah aku tidak sedang melucu? Apa
yang mereka ketawakan? Apanya yang lucu? Tak bisa disangkal lagi mereka tentu
tengah mentertawakan kemalanganku. Ya, tak ada alasan lain.
Dan pelawak Tukijo yang telah tenar karena
banyolan-banyolannya yang lucu serta menggelitik, tanpa terduga kini bisa
merasa sangat tersinggung. Tersinggung oleh sikap penonton yang tak
menghargainya lagi. Tak seorang pun penonton menyangka bahwa hati kecil sang
pelawak tengah dilanda dan dialiri darah mendidih. Sebuah kemarahan yang
tersembunyi. Yang pelan-pelan semakin membara. Dan akhirnya membuat dia tak
bisa mengendalikan diri lagi. Tercetuslah kemarahannya, apalagi ketika melihat
sepasang manusia yang tengah berpelukan di depan hidungnya mengobral tawa genit
yang menyebalkan.
“Kalian semua brengsek! Brengsek!”
Sejenak Tukijo menarik nafas dengan
terangah-engah. Tanpa terduga ruangan itu dilanda gemuruh tawa yang luar biasa.
Tukijo semakin berang. Kali ini dia meninggikan
tekanan suaranya.
“Edan! Ya, kalian semua edaaan!”
Tukijo terengah-engah lagi dengan mata
melotot. Tapi apa daya, penonton tetap menganggap akting sang pelawak sangat
berhasil, dan secara spontan meledakkan tawa lagi.
Tukijo bertambah berang. Seorang penonton
yang tak bisa melepaskan kebiasaannya yang ‘kampungan’ meluncurkan
suit-suuuuuitnya sambil berteriak, “Asyoooooi, Mas Tukijo! Tancap terus!”
“Gila! Ya, kalian semua gilaaaaa!”
Kali ini semua penonton hening.
“Itu yang di tengah itu ….. lelaki apaan
sih dia? Anak sudah lima belas enak saja main perempuan dan mengobral hawa
nafsuuuu!”
Mendengar kata nafsu diucapkan dengan nada
yang gemetar dan lidah terpeleset, tawa penonton meledak lagi. Bahkan lelaki
yang dimaksud sang pelawak itu semakin mengobral cengar-cengirnya dan kelihatan
bertambah bangga.
“Hei! Kenapa ketawa? Apanya yang lucu?”
Tawa penonton meledak lagi. Malah nyaris
meruntuhkan bangunan itu.
Sang pelawak semakin berani mencaci-maki
setiap orang yang menarik perhatian, terutama orang-orang yang menyebalkan
hatinya. Orang-orang yang sudah tak tahu diri. Yang sudah terseret arus dan
terjerembab dalam genangan kemesuman dan kemunafikan. Dia tak peduli manajer
nait klab itu akan dapat bagian ledakan kompensasi kedongkolannya. Dan anehnya,
Tukijo nyaris tak percaya pada ucapannya sendiri yang seolah mengandung
mukjizat.
Semuanya mendatangkan tawa. Semuanya
mendatangkan hiburan dan kesenangan bagi penonton. Dan sesungguhnya kenyataan
itu amat memukul dirinya, dia merasa gagal berinteraksi dengan publiknya, sebab
kemarahannya tidak mengandung daya dan kekuatan apa-apa.
Tukijo merasa sangat kecewa. Ya, memang
benar, mereka telah menjadi gila, sebagaimana yang telah saya alamatkan
kepadanya. Karena dia tak sanggup menutupi rasa kecewanya yang menggayut, dia
lalu mengakhiri pentasnya sambil mengumpat, “Diancuk!” lalu bergegas ke kamar
rias dan menangis terbata-bata tak ubahnya anak kecil.
Penonton geger dan merasa sangat
kehilangan. Mereka belum puas dan membuat gaduh suasana. Pembawa acara segera
tampil melerai. Mendinginkan suasana. Mencoba menjanjikan pementasan di lain
kesempatan. Penonton maklum.
Seorang gadis manis bergegas dengan cepat
memburu ke kamar rias sang bintang. Lalu menyeret ke luar. Sang pelawak ketika
itu masih bercucuran air mata dengan kelopak mata sembab. Di hadapan ratusan
hadirin sang gadis manis itu berkali-kali mendaratkan ciuman ke pipi sang
bintang. Dan adegan ini disambut luar biasa meriah. Sesudah itu acara bubar.
Masih di kamar rias.
Masih pula Tukijo menangis tersedu-sedu.
Dengan lunglai dia tatap mukanya sendiri di balik cermin. Berpuluh kali dia
mengutuki dirinya yang gagal. Mencaci-maki. Lalu muncullah wajah sahabatnya
yang amat dia benci. Dan tanpa dia duga wajah menyebalkan itu kini malah muncul
di cermin. Darahnya mendidih lagi.
“Oh, adikku yang semata wayang. Yang
kusayang lebih dari diriku sendiri. Kau hendak dinodai oleh orang yang selama
ini amat kuhormati dan kupercayai lebih dari seorang sahabat dan saudara. Oh
tidak!”
Lalu dengan geram Tukijo meninju cermin.
Braak! Pas saat itu manajer datang. Serpihan cermin berhamburan ke lantai kamar
yang beralaskan permadani. Dengan penuh maklum sang manajer memanggil pelayan
untuk membersihkan. Seorang pelayan lain datang sambil membawa pembalut untuk tangan
Tukijo yang berdarah.
“Sudahlah, bung Tukijo! Saya sudah tahu
semuanya.”
Dengan terbeliak Tukijo menyahut.
“Anda sudah tahu semuanya, Pak Manajer?”
“Iya, karena itu saya datang sambil
menyerahkan tip khusus atas prestarsi Anda yang luar biasa malam ini. Di
samping saya bersedia menaikkan honor sebagaimana yang pernah Anda rundingkan
kepada saya dua bulan yang lewat. Selamat, dan saya pribadi merasa sangat puas
atas prestasi Anda malam ini.”
Tanpa memberi kesempatan menjawab atau
bertanya pada artisnya, sang manajer bergegas meninggalkan ruang rias itu. Kali
ini pelawak tunggal yang tangguh itu hanya bisa melongo berkepanjangan.
Kemudian setelah tahu masalahnya dia tak kuasa mengendalikan tawanya yang
meledak. Tak kalah renyahnya dengan tawa penonton yang nyaris bisa meruntuhkan
gedung.
“Ha … ha … ha Pak Manajer ternyata juga
seorang pelawak yang tangguh. Hidup, Pak Manajerrrr!”
Malam itu gerimis jatuh satu-satu. Dekorasi
malam berupa bola-bola lampu berkerlip kemerlap sepanjang jalan beraspal yang
dingin dan sepi itu, sekilas menyapa perjalanan sang pelawak yang malam ini
terlalu berlebihan mendramatisasikan perasaannya.
Dia ogah naik mobil yang sudah disediakan
oleh nait klab. Ogah diantar seorang penggemarnya. Dia ingin berdialog dengan
malam. Ingin menyatukan pikiran dan perasaannya. Belakangan dia merasa semakin
rapuh. Tapi biarlah, itu sudah garis perjalanan hidup antara dia dan sahabatnya
yang menimbulkan luka demikian mendalam. Baginya persahabatan sungguh punya
nilai tertentu. Lain daripada yang lainnya.
Sebuah bayangan hitam terasa selalu
membuntuti langkahnya. Dia tahu persis, ada langkah-langkah mencurigakan di
belakang bunyi sepatunya yang riuh di jalan beraspal itu. Tapi dia tak peduli,
sampai kemudian langkah itu semakin mendekat, semakin dekat dan akhirnya
berjalan sejajar dengan langkahnya, mendahului dan akhirnya berbalik. Berhenti
persis di depannya.
Pelawak itu menghentikan langkahnya. Lelaki
berpakaian hitam yang berkerudung pakaian dingin mengeluarkan sebilah pasau.
Ketika sinar lampu persis jatuh ke logam putih mengerikan itu, sang pelawak
tiba-tiba merasakan kepalanya semakin pening. Bahkan ketika tangan kokoh si
pembawa pisau itu menguras habis dompet dan sakunya, si pelawak malang cuma
bisa menatap dengan mata nanar dan masa bodoh. Tetapi ada sebuah oleh-oleh yang
membuat dia sangat terkesan atas peristiwa itu, yakni sinar mata si penodong!
Dia tak ragu lagi siapa pemiliknya. Si sahabat yang dia benci. Dia sangat
berbahagia, karena dia merasa telah lepas dari beban yang sekian lama menggayut
dalam dadanya. Kikislah rasa kecewa, rasa duka dan penyesalan. Sebab dia telah
memperoleh jawabannya.
Esok malamnya sang pelawak Tukijo berperaga
penuh antusias. Dengan semangat meledak; dengan materi lawakan yang sangat
diandalkan bobot kelucuannya; dengan seperangkat rasa percaya diri yang luar
biasa; dengan suatu keyakinan bahwa penonton akan dia bawa ke tingkat kepuasan
yang tiada tara. Tapi apa hasilnya?
Jerih payah dan cucuran keringat yang dia
peras malam itu, tak menggaungkan senyum bagi penonton. Apalagi ketawa. Semua
penonton diam, bahkan bungkam seribu basa. Menatap ke sang pelawak dengan
pandangan penuh rasa iba.
Apa boleh buat, kenyataan ini pun merupakan
pukulan lebih telak lagi baginya.
“Apakah aku ini barang mainan yang bisa
diperolok dan dipermainkan?” keluhnya dengan nafas ngos-ngosan.
Dia merasakan belakangan ini dirinya selalu
dilingkari aurora yang berubah-ubah. Dari hijau ke kuning, merah, kelabu, dan
lain-lain. Lingkaran amarah dan kedukaan begitu sarat dan memberat sehingga dia
tak bisa menghindarkan diri dari tuntutan harga dirinya yang tiba-tiba bangkit.
Semua muncul menjadi amarah yang amat nyata.
Tukijo bergegas ke arena penonton sambil
beraksi memancing tawa. Tetap saja reaksi bungkam yang dia peroleh. Karena
kecewa, karena jengkel, karena berang, karena sedih, karena sekian karena, dia
merasa harus melakukan sesuatu kepada penonton yakni, memukul salah seorang
penonton yang paling diam dan memandang ke arahnya dengan sikap penuh kasihan
agar segala beban bisa lepas, agar segala uneg-uneg bisa cair.
Tapi, berhasilkah dia memperturutkan
kehendak hatinya itu? Tidak! Soalnya di saat kenekatannya itu tumbuh tak
seorang penonton pun ada di ruangan itu. Tak seorang pun, selain dia yang
berteman sepi dan dingin. Dingin sekali.*****
Mohon Perhatian!
Dengan penuh kerendahan hati kami mohon pengertiannya agar tidak meng-copy-paste cerita yang termuat di blog ini kecuali seizin dari penerbit - kombatbuku@gmail.com
0 comments:
Post a Comment