Diplomat Kresna Ngamuk


by Darminto M Sudarmo

Kurang lebih sekitar pukul tujuh pagi, persidangan tingkat tinggi di Wirata resmi dimulai. Hadir pada acara penting ini antara lain Prabu Matswapati, Prabu Kresna. Yudhistira (Prabu Puntadewa), Bima , Arjuna, Nakula dan Sadewa. Fokus permasalahan yang tengah digarap adalah sekitar pengingkaran janji dari Prabu Duryudana yang hingga kini kesediaannya untuk mengembalikan negeri Astina pada yang berhak, yakni Pandawa, belum juga dilaksanakan.

Memang di mata internasional, sengketa antara Astina dan Pendawa sekitar kasus negeri warisan itu jadi berkepanjangan. Sebagai peminjam Astina semakin tebal menutupi muka dan telinganya dari sorotan Lembaga Perdamaian Dunia. Tak mau tahu imbauan-imbauan yang berkali-kali dimajukan. Maka pada hari itu Pendawa telah mengambil konsensus untuk mengangkat Kresna sebagai duta negeri guna menyelesaikan perkara pengembalian negeri. Dan di pundak Kresna pula mandat Prabu Ydhistira sepenuhnya diserahkan. Bagaimana hasilnya nanti, semata-mata sangat tergantung pada peranan Kresna. Jika sedikit saja lidah kepleset, berarti kerugian bagi Pendawa. Atau mungkin hasil perundingan (dalam forum gugatan) itu akan menghasilkan sesuatu yang di luar dugaan. Yang jelas dari kalangan pengamat telah meramalkan, paling tidak, jika Astina berani dengan kebesaran jiwa menyerahkan negara itu kepada yang berhak, maka Barata Yudha pasti meletus!

Siang itu Kresna dengan didampingi Setyaki, yang kini berfungsi sebagai ajudan nampak berkemas-kemas mempersiapkan segala sesuatunya. Terutama dokumen-dokumen tentang sejarah negeri Astina berikut denah bangunan dan areal wilayah negeri itu. Semua telah tersusun dengan rapi. Jika Duryudana nanti berusaha mengelak dari persoalan vital itu, maka Kresna telah siap dengan semua bukti yang bakal membuatnya mati kutu. Persoalan ini memang persoalan gawat. Jangankan sebuah negeri yang besar, sebuah pulau mungil pun yang gersang dan tak ada sumber-sumber kekayaan yang begitu berarti, telah mampu melibatkan pertempuran sengit antara Argentina dan Inggris. Apalagi ini sebuah negara besar, yang sekaligus menyimpan kekayaan besar pula.

Perjalanan Kresna ke negeri Astina memang sengaja menggunakan mobil yang paling luks, agar sedikit bisa menyilaukan mata orang-orang Astina yang materialistis. Ketika mobil itu sampai di tengah-tengah jalan lengang, tiba-tiba mendaratlah sebuah helikopter menghentikan laju mobil Kresna. Sebab heli itu diparkir tepat di tengah jalan. Semula Kresna menyangka tentu itu ulah sementara golongan ekstrim atau bandit yang haus duit. Ternyata dugaannya keliru. Pengendara heli itu adalah para dewa dari Suralaya. Mereka antara lain, Batara Narada, Syahyang Ramaparasu, Syahyang Kanwa dan Syahyang Janaka. Rombongan ini diutus oleh Batara Guru untuk mengcover jalannya perundingan antara Kresna dan Astina

“Kau jangan buru-buru kaget Kres, kami berempat mau numpang mobilmu untuk ikut menyaksikan jalannya perundingan nanti.” kata Batara Narada sambil menyodorkan sebungkus rokok menyan.

Kresna mengangguk sambil memberi hormat.

“He … heh … kau merokok tidak Kres?”

“Maafkan Eyang Batara … mobil ini ber-AC jadi terus terang saja dianjurkan untuk tidak merokok.”

Narada tertawa tergelak-gelak.

“Dari dulu lidahmu selalu tajam … ha … ha … ha! Okey …! Kali ini kami sebagai tamu mesti menurut tuan rumah! Tapi awas kau Kres, kelak kalau kau main ke Suralaya dan main lirak-lirik sama bidadari, gua plester mata lu .. ha .. ha .. ha!”

Semuanya tertawa dengan ceria. Ketika mobil itu hendak dijalankan, baru Kresna teringat, kalau helikopter masih melintang di tengah jalan.

“Wah! Heli itu … Setyaki kau singkirkan dulu kendaraan itu ke tepi.”

Ketika Setyaki hendak beranjak, terkejutlah dia, karena heli itu tiba-tiba berubah menjadi segumpal awan lalu pelan-pelan naik ke atas.

“Nah, kali in kau terkecoh Kres,” kata Narada sembari senyum-senyum. Kresna tertawa masam. Dan mobil itu segera melaju bagai angin badai.

Sementara itu di negeri Astina tengah berlangsung rapat pertemuan besar-besaran. Berita tentang kunjungan Kresna untuk mengadakan gugatan atas negeri Astina telah tersebar ke seluruh negeri. Maka oleh raja telah dipersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut kedatangan duta Pendawa. Di halaman istana telah tergelar permadani sepanjang dua setengah kilo meter. Hidangan untuk menjamu tamu kehormatan ini juga telah dipersiapkan dengan meriah. Menurut perhitungan Duryudana, jika seseorang telah terkena jerat budi, tentu nantinya bakal mencong dari iktikad semula. Mestinya tradisi waktu itu, mengharuskan orang untuk mendadak menjadi ‘rikuh’. Teknik sogok menyogok dan membius lawan memang selalu diterapkan oleh Duryudana dalam melumpuhkan peranan diplomasi negara tetangga. Lebih-lebih lawan. Dan Kresna selaku orang bijak telah bisa mencium gelagat demikian. Pendawa memang bukan sembarangan memilih seorang duta. Bahkan mata Kresna yang tajam itu, sempat memperhatikan keramahanDuryudana yang dipaksakan. Tapi karena dia sebagai tamu dan duta yang semua perilaku maupun gerak-geriknya bakal selalu menjadi pusat perhatian orang, maka dia tetap berusaha mengendalikan diri pada hal-hal yang biasanya bisa mengguncangkan sekalipun

Ketika pertama kali Kresna menginjakkan kakinya di bumi Astina, serombongan penari yang berpakaian setengah nudis dan cantik-cantik bergerak melingkar-lingkar untuk mempersembahkan sebuah tarian maut hasil ciptaan Sengkuni berjudul “Lupa Daratan.” Menyaksikan ini Kresna tetap cermat mengendalikan goncangan emosinya.

Tak lama kemudian sampailah Kresna di balai agung tempat pertemuan. Keempat dewa yang mengcover jalannya perundingan mengambil tempat duduk dengan nyaman. Sementara dari pihak Astina yang ikut nimbrung duduk melingkar di meja perundingan antara lain Patih Sengkuni, Pandita Durna (yang kemudian lebih senang dipanggil sebagai guru besar Prof. Durna), Prabu Salya, Begawan Bisma dari Talkanda dan tentu saja Prabu Duryudana. Pada pertemuan awal (sebelum kedatangan Kresna) beberapa pembesar Astina telah usul mengenai langkah-langkah apa yang mesti ditempuh jika suasana nanti agak terpojok. Karena Duryudana sendiri sebenarnya merasa sangat kebingungan. Ketika dia minta pendapat ayahandanya Prabu Drestarata, sang ayah menyarankan agar negeri Astina segera saja diserahkan ke Pendawa. Sedang ibunda Dewi Gendari, justru berpendapat sebaliknya. Maka Duryudana meminta pertimbangan beberapa pejabat teras Astina. Tapi yang sempat memajukan usul cuma tiga orang. Sengkuni menyarankan agar Astina tetap dipertahankan menjadi milik Duryudana. Prof. Durna mengusulkan sebuah siasat yang amat licik, untuk mencairkan gugatan Pendawa. Sedang Begawan Bisma tetap menyarankan agar Duryudana, mengembalikan Astina pada yang berhak. Sedangkan tamu penting satunya lagi yakni Prabu Salya, cuma diam tidak mengeluarkan pendapat apa-apa. Memang posisi Prabu Salya amat sulit. Duryudana menantunya, sedang Pendawa kemanakannya dan kerabat dekat.

Dan ketika semua hadirin sudah mempersiapkan segala sesuatunya, berkatalah Kresna membuka percakapan.

“Adik Prabu Duryudana, saya di sini sebagai utusan dari Pendawa, kebetulan mendapat mandat penuh dari adik Yudhistira. Tentu saja sebelumnya saya sangat mengucapkan banyak terima kasih atas sambutan rakyat Astina yang luar biasa ini. Kalau saya boleh berkata langsung pada pokok persoalan, maka sebenarnya kedatangan saya kemari ingin meminta kembalinya negeri Astina untuk Pendawa.”

Suasana tiba-tiba sangat hening, semua hadirin menahan nafas. Kalau boleh diibaratkan, sebutir pasir pun jatuh di lantai tentu kedengaran. Dan memang tiba-tiba pula semua hadirin jadi saling pandang ketika terdengar batuk kecil dari pantat Sengkuni. Sengkuni yang tak sadar pada batuknya (karena sedemikian kecilnya) juga ikut-ikutan memandang orang lain. Cuma Dewa Narada yang terkekeh dalam batin.

Sejenak Duryudana terdiam. Lalu katanya, sambil tersenyum.

“Duhai kanda Prabu Kresna … saya rasa perkara negeri itu bisa kita bicarakan nanti-nanti. Soal gampang, yang penting kini karena anda tamu kami, izinkanlah kami sekedar menjamu, sebagai pernyataan suka cita kami atas kesediaan anda singgah di tempat kami.”

Sementara itu atas ide Prof. Durna yang brilliant, khusus untuk hidangan Prabu Kresna telah dicampur larutan Baygon, arsenikum, warangan, dan berbagai jenis racun yang khasiatnya amat dahsyat. Tentu saja bukanlah Kresna jika dia tak tahu bahwa bahaya tengah mengintipnya.

“Kanda Prabu Kresna, kami akan sangat berbahagia, jika anda sudi menyentuh hidangan kami yang amat sederhana ini. Meski barang sesendok dua sendok.” bujuk Duryudana dengan amat manisnya.

Kresna mengangguk sambil tersenyum.

“Terima kasih adik Prabu. Penghormatan ini terlalu berlebihan. Dan sesungguhnya saya sangat gembira. Cuma sayang sekali, sudah sepuluh hari ini saya sedang berpuasa.”

Duryudana membujuk lagi. Kresna menolak lagi dengan diplomasi yang amat simpatik.

“Kalau anda tak sudi menyentuh makanan dari kami, barangkali mau untuk meneguk barang segelas minuman Kanda?”

Kresna menghela nafas. Minuman ini pun telah penuh racun yang mematikan. Maka katanya.

“Ah Adik Prabu ini bagaimana … kalau puasa tentu saja tidak makan tidak minum bukan? Sungguh menyesal sekali … semoga pada lain kesempatan saya bisa ikut mencicipi masakan Astina yang terkenal lezat dan gurih ini.”

Duryudana tetap tak putus asa. Dia bujuk terus. Bahkan lama-kelamaan berkesan setengah memaksa. Tentunya sikap ini sempat menghabiskan kesabaran Prabu Kresna. Maka Kresna lalu mengangkat gelas itu tinggi-tinggi dan membantingnya di lantai. Prak! Gelas itu berantakan. Siasatnya gagal Duryudana segera memberi isyarat pada beberapa pasukan kerajaan andalan yang telah siap dengan senjata di tangan. Letusan mesiu terdengar meletup-letup mengarah ke tubuh Kresna. Kresna dengan gesit berkelit mencari tempat yang agak terlindung. Pertemuan jadi bubar berantakan.

Sementara itu Kresna yang sudah tak dapat mengendalikan kemarahannya lagi segera membaca mantra untuk ber ‘Tiwi Krama’ dan tak lama kemudian tubuhnya membengkak menjadi raksasa yang menakutkan. Raksasa besar. Barangkali jika saya tak salah menyebutkan, sebesar Gunung Agung. Raksasa itu mengamuk hebat. Mengobrak-abrik pasukan kerajaan yang lari pontang-panting bagai gabah ditampi. Sengkuni yang mengendap-endap untuk berlindung di balik sebuah tembok segera dijewer kupingnya dan diangkat tinggi-tinggi.

“Auuuuuuuuuw! Ampun … ampun saya bukan Sengkuni, eh, saya bukan musuhnya Kresna, saya … musuh Penda … eh … saya musuh Astina. Auuuuuuw! Toloooooong lepaskan!”

Kresna agak sedikit kasihan, raksasa itu cuma mencabuti jenggot dan kumis Sengkuni yang seperti kambing bandot itu.

Sementara itu Prof. Durna otak segala kebrengsekan itu, lari sampai terkencing-kencing. Ketika dilihatnya raksasa yang tengah mengamuk itu selalu mengikutinya, maka nervosnya kian menjadi-jadi. Dia terus berusaha mencari perlindungan. Karena saking paniknya, dia nyerobot saja masuk ke kamar mandi, padahal saat itu tengah ada seorang perawan yang tengah enak-enak mengguyur tubuhnya dengan air sari kembang telon. Tentu saja keramaian di Astina kian memuncak. Durna lari dari kamar mandi dengan basah kuyup berkat hadiah sang perawan. Dan dengan perasaan gemas, raksasa itu menangkap tubuh tua yang licik itu, lalu menceburkannya ke sebuah sumur.

Syahdan … saat itu bumi Astina bagai dilanda gunung meletus. Beberapa bangunan kokoh dikoyak-koyak hingga rontok berantakan. Raksasa itu terus mengamuk. Bahkan ketika dia telah sampai di kerajaan, beberapa bangunan telah dibikin hancur oleh ulahnya. Dan dalam insiden yang unik itulah ayah bunda Prabu Duryudana, Prabu Drestarata dan Dewi Gendari wafat bersamaan, kerena tertimpa pasak yang beratnya beratus-ratus ton.

Amukan raksasa itu justru kian menghebat. Bahkan lewat suaranya yang menggetarkan bumi, raksasa itu bermaksud hendak menelan kerajaan Astina. Mendengar niat raksasa yang tidak main-main ini, Batara Narada segera menghampiri.

“Sudahlah anakku Kresna … sadarlah, kalau niatmu itu kau laksanakan, berarti Barata Yudha batal. Dan kau tahu sangsinya amat berat bagimu, jika kau berani merubah kodrat Dewata. Bukankah kau juga telah mengetahui isi kitab Jitapsara itu kan …? Nah , hentikanlah anakku.”

Raksasa itu sejenak diam mematung. Kemudian perlahan-lahan mengecil dan berubah menjadi Kresna lagi.

“Eyang Batara … sungguh saya sesalkan perilaku Astina yang ugal-ugalan itu.” sahut Kresna dengan terengah-engah.

“Sudahlah … itu semua sudah garisnya kodrat. Nah, rupanya Barata Yudha di ambang jendela. Sekian anakku … semoga kau bisa menjaga diri baik-baik.”

Melesatlah Narada ke Suralaya. Kresna terus bergegas menuju negara Awangga untuk menjemput bibi Kunthi, ibu Karna dan Pendawa Lima.*****


Mohon Perhatian!
Dengan penuh kerendahan hati kami mohon pengertiannya agar tidak meng-copy-paste cerita yang termuat di blog ini kecuali seizin dari penerbit - kombatbuku@gmail.com

 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment

Contact