by Darminto M Sudarmo
DI
sudut kota, dekat sekali dengan tumpukan sampah yang menggunung aku buka
praktek. Letak yang kupilih, atau lebih tepat terpaksa kupilih, memencil.
Hampir diabaikan orang. Tenggelam oleh raksasa gedung dan belantara teknologi.
Meskipun demikian, aku merasa tak ada alasan untuk mengeluh.
Ada
sedikit penghibur memang. Pohon yang agak rindang melindungi aku dari sengatan
matahari yang cubitannya terasa semakin aneh. Selain itu, aku boleh merasa
berbangga; pohon itu mungkin satu-satunya yang dimiliki kota ini. Sebab di
sebuah museum kota yang dibangun cukup megah, terdapat jenis pohon yang mirip
di tempatku mangkal. Pohon-pohon itu dibekukan dalam suhu tertentu sehingga
tidak dapat mati; tidak dapat tumbuh membesar.
Terus
terang aku pusing kalau memikirkan itu semua. Rekadaya orang telah melejit jauh
di atas kemampuan nalarku. Maka aku merasa lebih baik bermasa bodoh saja.
Pokoknya asal aku dapat mencukur gundul orang, rezeki pasti datang. Dan itu
berarti aku masih punya kesempatan untuk mempertahankan hidup. Karena itu tak
aneh bila satu kata yang paling aku agung-agungkan dalam hidupku adalah: cukur!
Cukur! Cukur! Karena cukur aku bisa hidup. Karena cukur aku bisa menempati
kerindangan pohon yang usianya jauh di atas masa praktikku. Karena cukur pula
aku bisa mengenali banyak sekali manusia. Pelanggan setia atau dadakan. Dari
yang paling cerewet hingga pendiam seperti batu. Aku merasa tidak punya alasan
untuk mengeluh.
Tapi
yang terjadi beberapa hari ini lain. Sangat lain. Seorang pelanggan yang tak
dapat kutebak apa maunya. Apa isi batok kepalanya. Dan apa yang berdesir di
jantung kehidupannya.
Saban
hari dia datang. Dalam jadwal yang tepat. Lalu beranjak pergi setelah
menghabiskan waktu yang tepat pula.
Ada
memang yang tidak tepat. Sorot mata dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukannya.
Kadang ia merampas waktuku habis-habisan sehingga para pelanggan lain pulang
dengan kecewa. Hanya untuk ngobrol, lain tidak. Tetapi apa yang diomongkan itu,
aku yang paling pusing bila mengingatnya. Meskipun demikian, ada juga saatnya
dia bertindak sangat aneh. Memberi sejumlah uang sebagai ganti waktuku yang dia
“beli”.
Awal
kisah tentang orang itu memang tak pernah kuduga. Sebagaimana aku tak bisa
menduga kemungkinan memperoleh rezeki saban harinya.
Suatu
siang datang seorang lelaki gagah. Wajahnya tampan. Badannya perkasa.
Pakaiannya bagus-bagus. Perlente. Modis dan berharga mahal. Tapi dia dating
berjalan kaki. Tidak pakai kendaraan. Motor atau mobil. Atau kendaraan terbaru
versi zaman ini.
“Selamat
siang Pak, nama saya Gogo. Tolong pangkaskan rambut saya sedikit saja biar daun
telinganya kelihatan,” dia langsung duduk.
“Baik,
Tuan,” aku segera menyiapkan peralatan cukur dan memangkasnya dengan hati-hati.
“Sudah
berapa lama Bapak bekerja?”
“Ah,
itu pertanyaan yang lucu, Taun.”
“Kenapa?”
“Tak
jauh dari usia saya yang sebenarnya.”
“Apakah
Bapak keberatan mengatakannya?”
“Bukan
begitu.”
“Lalu?”
“Lima
ribu kali lebih saya menjawab pertanyaan seperti yang Tuan tanyakan.”
Lelaki
itu tertawa. Aku tidak dapat menaksir berapa usianya. Garis-garis dan kerut di
dahinya tak bisa diketahui dengan hanya menebak-nebak atau mengira-ira.
“Berapa
menit Bapak butuh waktu untuk mencukur seorang pelanggan?”
“Itu
juga pertanyaan lucu, Tuan,” aku segera meledakkan tawaku.
“Kenapa?”
“Saya
hidup menurut larutnya waktu. Saya tak peduli soal detik dan menit.”
Dia
ketawa tambah ngakak.
“Bapak
orang hebat!” ujarnya sambil mengubah mimik yang amat lain.
“Apa
maksud Tuan?”
“Bapak
orang hebat “
“Apa
itu hebat, Tuan?”
Dia
tak meladeni pertanyaanku. Melihat arloji, memijit-mijit beberapa tombolnya.
“Sudah
selesai, Pak?”
“Sedikit
lagi, Tuan.”
“Tolong
dipercepat, Pak.”
“Baik,
Tuan,” aku menuruti permintaannya. Dia segera bergegas setelah membayar ala
kadarnya.
Ketika
sendiri, aku berpikir-pikir tentang orang yang bernama Gogo itu. Aku juga
berpikir-pikir tentang kata hebat yang dia tujukan padaku. Sungguh kata yang
menggelikan.
Esok
siangnya dia datang lagi. Tidak untuk pangkas rambut.
“Saya
datang kemari, pingin ngobrol; Bapak keberatan, tidak?”
Aku
ketawa geli.
“Lho,
kenapa Bapak selalu menganggap lucu apa yang saya tanyakan?”
“Memang
benar, Tuan. Dalam hidup saya; terutama sejak bayi merah hingga hampir renta
begini, saya jarang menuntut sesuatu hal yang serba pasti dari orang lain.”
Lelaki
itu terlongong sesaat. Lalu mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian dengan senyum
kecil dia berkata.
“Nah,
ini dia! Inilah yang saya maksud kenapa Bapak saya katakana hebat!”
“Lho!…Lho!
Kok sampai ke situ. Itu cuma soal kebiasaan. Tidak ada hal yang aneh atau khas
dari apa yang saya yakini.”
“Okelah
Bapak boleh berkata apa saja, tentang yang Bapak yakini, tapi saya berpendapat,
saya telah menemukan orang yang tepat untuk urusan besar!”
“Urusan
besar? Urusan besar apa yang Tuan maksud?”
“Soal
prinsip, Pak. Persoalan yang amat hakiki.”
“Wah….wah!
Ngomong apa Tuan ini?”
“Kini
saatnya saya untuk berterus-terang kepada Bapak.”
“Untuk
apa, Tuan? Tak seorang pun menuntut. Jangan bertindak bodoh, tak ada manfaatnya
yang bisa Tuan dapatkan dari orang tua seperti saya ini…”
“Sampai
kapanpun saya akan datang kemari, sebelum Bapak mengatakan ya atau bersedia.”
“Lho…lho!
Apa-apaan ini Tuan?”
“Bagaimana,
mau bukan, Pak?”
“Duh…duh!
Mau atau tidak untuk urusan apa?”
“Untuk
sebuah prinsip. Untuk sesuatu yang sangat hakiki.”
“Saya
orang kampung, Tuan. Tak kenal istilah yang Tuan katakana itu. Saya jangan
dilibatkan dengan urusan yang pelik-pelik begitu. Sungguh, saya minta
pengertian, Tuan. Kalau hanya ingin ngobrol ala kadar, mari kita ngobrol. Tapi
untuk urusan-urusan yang begitu, lebih baik saya mundur saja. Saya akan tutup
saat ini.”
“Sampai
kapanpun saya akan datang kemari, sebelum Bapak mengatakan ya atau bersedia.”
“Saya
akan pindah tempat.”
“Saya
akan mencari dan pasti menemukannya.”
“Saya
akan berhenti bekerja.”
“Saya
akan mengunjungi tempat tinggal Bapak.”
Edan!
Cuma itu yang dapat kuledakkan dalam hati. Apa sebenarnya maunya dia? Lama aku
berpikir untuk memberikan jawaban. Karena hasilnya adalah bingung dan pusing,
maka kusarankan dia datang lain waktu saja.
Esok
siangnya dia muncul, aku belum dapat menjawab.
Esok
siangnya lagi, dia muncul, aku belum dapat menjawab.
Begitu
seterusnya, hingga akhirnya aku jadi senekad dia. Kukatakan ya dan bersedia,
agar aku terhindar dari kemunculannya yang terus-menerus dan membosankan itu.
Dia terlonjak kegirangan. Dipeluknya aku erat-erat. Bagaikan seorang anak yang
menumpahkan kerinduannya pada seorang ayah. Lalu dia duduk dengan sikap yang
amat serius. Bahkan sangat resmi.
“Mestinya
harus ada upacara untuk urusan yang amat penting ini; maksud saya tidak perlu
banyak orang; cukup kita berdua saja. Tetapi…berhubung itu hanya bagian dari
tradisi, kita dapat menyederhanakan dan mempersingkatnya. Yang terutama sekali
adalah penyampaian informasi, agar Bapak dapat meresapi dan mempersiapkan diri
dengan sebaik-baiknya.”
Aku
hanya diam, meskipun dalam hati sangat cemas.
“Begitu,
Pak. Pisau cukur Bapak ketajamannya boleh diandalkan, bukan?”
“Tentu
saja, Tuan,” sahutku agak tergagap. Sebab tiba-tiba melintas suatu kengerian,
bukan kebanggaan seperti yang kurasakan selama ini.
“Lewat
pisau cukur dan tangan Bapaklah sedikit manusia akan tertolong dari tirani.”
“Saya
tidak paham yang Tuan maksudkan.”
“Ini
tidak untuk dipahami. Tapi untuk dilaksanakan. Jelasnya begini, Pak. Bapak
hendak menuruti apa yang saya minta.”
“Bukankah
itu pernah saya katakana?”
“Karena
itulah kini kita bisa memulai.”
Lelaki
itu mengambil tempat duduk untuk dicukur.
“Bersihkan
saya, Pak.”
“Maksudnya,
gundul? Eh, dicukur gundul?”
“Tidak
salah.”
Dengan
cepat tugas itu kuselesaikan. Tapi dia masih duduk di situ.
“Sudah
selesai, Tuan.”
“Belum,
Pak. Bersihkan saya, Pak.”
“Maksud,
Tuan?”
“Bersihkan
semua rambut yang ada di tubuh saya.”
“Ah,
Tuan, jangan bergurau.”
“”Saya
tidak bergurau. Bukankah Bapak orang yang dapat dipegang kata-katanya?”
Aku
segera mencukur rambut di kedua ketiaknya. Di sekitar alat vitalnya. Bahkan
rambut halus yang orang sering menyebutnya bulu kuduk. Aku juga mencukur habis
bulu-bulu kaki, kumis, jenggot, cambang dan semuanya.
“Sudah
selesai, Tuan.”
“Belum
Pak, bersihkan saya setotal-totalnya.”
“Wah,
lalu apa lagi?”
“Semuanya.
Semua yang saya miliki mengandung kotoran, kecuali hati saya. Karena itu
bersihkan semua!”
“Saya
sangat tidak mengerti, Tuan.”
“Bapak
pasti mengerti. Tangan dan jari-jari saya kotor. Berapa korban dan nyawa
melayang karena kekejaman tangan dan jari-jari itu? Karena itu, potonglah,
jangan ragu-ragu. Mata saya, penuh nafsu dan hawa membunuh, licik dan keji.
Hidung, mulut, telinga, gigi, bibir, perut, kaki, bahkan alat sialan itu;
semuanya pernah melakukan kekejaman dan kekejian yang tak pernah terlintas
dalam pikiran orang. Otak saya, selain bodoh dan tumpul, juga begitu penurut
melaksanakan instruksi boss untuk membunuh dan menyebarkan hawa maut. Hancurkan
semua dengan pisau cukur Bapak! Semuanya akan segera selesai oleh pisau cukur
Bapak!”
Aku
tertegak bak paku. Menancap kokoh. Beberapa saat lamanya berada di suasana
konterapung. Melayang-layang, tak jelas apa yang sebenarnya kupikirkan saat
itu. Bagaimana aku harus menuruti permintaan orang gila, maniak, psikopat,
sontoloyo dan setan alas ini. Tapi, di luar yang pernah kuperhitungkan,
tiba-tiba tanganku dengan refleks memegang pisau cukur itu dan bergerak dalam
irama yang sangat halus, padu dan harmonis. Menuruti apa yang dikehendaki
lelaki itu. Apakah lelaki itu menggunakan kekuatan sihirnya?
Satu
persatu alat tubuh lelaki itu tanggal. Aku melaksanakan tugas mengerikan itu
dengan mata tertutup. Tak sanggup rasanya menyaksikan pergaan luar biasa yang
kini tengah kulakukan.
Setelah
leher tanggal dan kepala menggelinding; setelah muka kebeset dan isinya
kuacak-acak; setelah jantung kubuka, isinya kukeluarkan dan kuaduk-aduk, tiba-tiba tanganku meraba benda
keras seperti kotak. Benda semacam itu mustahil terdapat pada tubuh manusia. Antara sadar dan tidak, jariku
menekan salah satu tombol dari benda itu. Seperti orang bangun dari mimpi, aku
tersentak beberapa jenak karena mendengar suara yang tak asing lagi bagi
telingaku. Suara lelaki yang bernama Gogo itu.
“Terimakasih,
Pak. Bapak sungguh hebat. Bapak sungguh baik. Saya Gogo robot penghancur yang
telah menyeleweng dari program. Hanya dengan cara ini, jalan menuju prinsip itu
dapat saya temukan. Hanya dengan cara ini, jalan menuju pembersihan diri, saya
tuntaskan. Bila prosesi ini tidak selesai dengan tuntas, sulit membayangkan
ujud dunia di masa mendatang. “
Esok
paginya, aku tetap mangkal di tempat yang sama. Sebagai tukang cukur dengan
sebuah azimat kata yang sangat
kukeramatkan: cukur! Cukur! Cukur! Maka rezeki pun datang dengan sendirinya.
Walaupun bertempat di sudut kota, dekat tumpukan sampah dan dipantau
gedung-gedung pencakar bulan, aku tetap tidak punya alasan untuk mengeluh. Aku
cukup bahagia dengan apa yang ada; asalkan pemerintah kota tidak terburu-buru
mengangkut pohon yang tinggal satu-satunya itu dan memindahkannya ke museum,
rasanya cukup asyik bagiku untuk melewatkan waktu sambil menghabiskan sisa-sisa hidup.*****
0 comments:
Post a Comment