Sssttt!


by Darminto M Sudarmo

Berita tentang mayat seorang bercorat-coret yang nungging di selokan sebelah rumah Pak Lurah, semula sempat membuat heboh penduduk setempat. Begitu juga saya, ikut-ikutan ribut dan membicarakannya. Tetapi setelah mayat yang terkulai atau ngejelepak di sekitar desa kami bukan satu atau dua saja, melainkan lebih dari lima belas setiap bulannya, maka penduduk sudah menganggapnya biasa saja.

Mayat manusia bagi kami, sudah dianggap tak bedanya barang rongsokan yang pantasnya menghuni sampah atau tempat-tempat lain yang setaraf dengan itu. Sebab lain, karena tak seorang pun dari mayat-mayat itu kami kenal. Wajah-wajah itu serba asing dengan luka memar dan lima atau enam peluru bersarang di jidatnya, maksud saya di kepalanya. Siapa pun pelakunya tidak kami persoalkan lagi.

Dalam salah satu hal kami merasakan rasa aman yang aduhai, sebab sejak itu, tak ada berita pencurian maupun penggarongan di rumah-rumah sekitar desa kami. Tak ada perkosaan atas gadis-gadis maupun janda-janda. Tak ada ancaman yang menyiksa syaraf penduduk. Pendeknya untuk saat itu kami semua merasakan, sorganya orang hidup di negara hukum. Dan kami sangat bersyukur.

Hanya saja ada beberapa hal yang membuat kami agak kurang senang. Pertama, desa kami yang bersih dan elok itu setiap harinya selalu menyebarkan bau amis yang menyeramkan. Anyir dan mendirikan bulu ketiak. Sehingga total setiap malam Jumat Kliwon kami para penduduk merasa hidup di tengah kuburan. Kedua, jika mayat-mayat itu telah lewat dari masa pertahanannya, maka bau busuk pun menyengat hidung tak tanggung-tanggung. Ketiga ada sebab psikologis tertentu yang amat berpengaruh pada jiwa anak-anak kecil, karena mereka sempat mengerumuni setiap alat negara mengurus mayat-mayat tersebut. Sehingga belum ada dua hari dari kejadian tragis itu, tersiar di desa kami tentang seorang anak kecil yang berani menyembelih seekor ayam milik tetangganya.

Pendeknya pendek, sejak desa kami menjadi arena pembuangan, kejadian yang mokal-mokal, yang semula di luar perkiraan kami banyak terjadi. Lebih dari itu salah seorang binatu yang semula sepi dari langganan, tiba-tiba ramai dikerubut para pelanggan. Hanya anehnya, para pelanggan yang dulu gemar menyeterikakan pakaiannya, kali ini yang datang justru menyeterikakan kulitnya yang corat-coret. Pokoknya ngeri dan sadis deh. Saya rasa lebih sakit dibegituin daripada ditembak dengan panas sekian ratus watt, eh sekian ratus derajat. Bila nggak? Lalu dibiarkan jadi borok, sesudah itu diobati hingga kulit-kulit bercorat-coret tadi mengelupas, diganti kulit yang baru.

Tapi itulah kenyataannya. Siapa bermimpi menjumpai zaman resesi bakal dilanda revolusi ‘mode’ yang demikian frontal. Ah, biarlah saja sejarah mencatatnya.

Bagi saya pribadi, peristiwa runtut yang penuh misteri itu sempat mengusik semua indera yang keenam dan tujuh. Saya pribadi, selain pada dasarnya heran menjumpai kasus-kasus semacam itu, juga sekaligus penasaran. Bagaimana mungkin tahun delapan tiga ini bakal dijadikan tonggak memori pertempuran melawan gali dan penjahat. Bagaimana mungkin nyawa seorang gali maupun penjahat bakal tak punya harga …

Sikap penasaran saya yang tak kunjung terjawabkan itu berlanjut sangat menggelisahkan. Saya jadi tak enak makan tak nyenyak tidur. Sangat ingin tahu titik terang yang jelas di balik misteri pembunuhan para gali itu. Tapi apa yang terjadi berikutnya ketika saya sempat menanyakan hal-hal itu pada orang-orang di sekitar saya. Mereka cuma menjawab sambil memberikan isyarat jari telunjuk di mulutnya. “Ssssssssssst …!” Dan saya pun diam tak berkutik. Mestinya ada yang mengganjal di ulu hati, tapi saya lalu surut langkah.

Orang-orang di sekitar tak mau menjawab, mungkin sekali ada alasan-alasan tertentu yang membuatnya jadi begitu. Maka pertanyaan kali ini saya buat lebih berkembang. Saya menghadap Pak Lurah. Tak beda dengan yang sudah-sudah, Pak Lurah pun cuma memberi jawaban, “Ssssssssssst …!”

Lagi-lagi saya diam tak berkutik.

Sambil menghela nafas panjang, saya menghadap pada yang lebih berwenang, yakni Pak Polisi. Tetap tak beda. Pak Polisi juga memberi jawaban serupa, “Ssssssssssst.” Saya kian penasaran saya menghadap ke Koramil. Dijawab juga, “Ssssssssssst.” Ke Pak Camat, ke Pak Pembantu Bupati (Wedana), ke Pak Bupati, ke Pak Anu, ke Pak Sono, dan tentu juga ke LBH, tetap saja jawaban yang saya peroleh adalah, “Ssssssssssst.”

Nah, kalau sekedar pertanyaan saja demikian sulit mencari jawab, apalagi meminta penjelasan dan konsepsi. He … he tapi mungkin itu berlatar belakang secreet problem dari kebijaksanaan suatu negara dalam menjalankan polesi daruratnya. Konon semacam tindak schok therapy dalam situasi yang terlanda mitos mendewa-dewakan penjahat dan kekerasan.

Saya termangu-mangu beberapa saat lamanya. Ada seekor nyamuk yang mendengung-dengung di sekitar saya. Sesekali berusaha menggigit pipi, saya kepalkan tinju dengan perasaan gemas. Ingin saya sekali saja memukul hancur hewan pemakan darah itu.. Tapi kemudian saya berpikir. Segenggam tinju tidaklah arif untuk membinasakan seekor nyamuk. Banyak tenaga dan dana yang mubazir. Saya pun lalu membelokkan strategi, membinasakan hewan itu dengan cara menepuk tentunya akan lebih banyak membawa manfaat, di samping memperoleh satu keasyikan tersendiri. Namun strategi ini ternyata masih banyak pula kelemahannya. Sekali dua kali tiga kali, saya masih merasakan satu keasyikan, tetapi jika telah berkali-kali tak juga berhasil, dan ternyata pula hewan itu lebih lincah dari tangan saya, saya lalu beranggapan, cara terakhir ini juga kurang efektif. Dan lagi, ketidakberhasilan yang panjang itu sempat membuat darah saya mengalir lebih cepat. Detak jantung kian laju, pembakaran dalam tubuh kian meningkat. Akibatnya nyamuk itu semakin terangsang untuk mengusik saya. Akibatnya lagi penyerbuan nyamuk itu telah sampai pada tingkat yang nekat. Dia sudah tak acuh pada keselamatn dirinya. Sehingga total semangatnya yang timbul kali ini sudah sampai pada tingkat membabi-buta.

Tak sadar, saya pun telah semakin repot dibuatnya. Mengusirnya dengan memasang obat nyamuk, hanya membuat dia menyingkir untuk beberapa saat lamanya. Jika obat nyamuk telah habis, kembali dia merajalela. Seandainya toh dia akan segera mati, karena umurnya pendek, maka kabar memangsa itu telah dia sampaikan pada teman-temannya yang jumlahnya jutaan. Sedia obat nyamuk yang telah terkemas dalam alat modern, yang bisa disemprotkan kapan saja kita mau, hanya menghasilkan dana kian kempes. Karena kalau yang empunya buta petunjuk benda itu bisa jadi malah digunakan untuk mengusir nyawanya sendiri. Tentu kenyataan ini kian membuat hati tambah kecut. Barangkali pembinasaan lewat obat semacam Abate, dengan cara menaburkan ke air tempat jentik-jentik nyamuk bersarang agak membuahkan hasil jika telaten. Menukik pada akar preventip.

Ketika rasa penasaran telah sampai pada tingkat yang membumbung di ubun-ubun, saya tak kuasa berbuat lain. Saya lupakan persoalan tentang nyamuk. Saya lupakan tentang acara-acara rutin saya. Saya hanya ingat bahwa jalan mencari jawab soal pembunuhan para gali dan semerknya, tentu tidak hanya satu. Tidak, bertanya secara horisontal tak membuahkan hasil, bisa bertanya secara lain. Bertanya secara vertikal tak membuahkan hasil, masih ada cara lainnya pula. Cara di luar kelaziman. Inilah yang mengilhami saya untuk membuat ‘Jelangkung’ guna khusus menghubungi arwah-arwah para gali.

Dua orang teman telah siap membantu memegang jelangkung di sebelah kanan dan kiri. Perlengkapan tulis-menulis pun telah siap untuk membantu kelancaran komunikasi antara dua dimensi yang berlainan sifat dan norma. Saat itu tepat tengah malam. Agak payah juga saya memanggil ruh untuk sedia parkir ke keranjang yang telah saya bentuk demikian mirip orang-orangan. Semula saya nyaris putus asa, namun di tengah keheningan malam yang menggigit tulang rusuk, kami bertiga dikagetkan oleh bunyi dor, yang sebetulnya tak begitu keras. Bunyi itu muncul lewat sela-sela peredam suara yang telah rusak dari sebuah senjata api. Entah siapa pelakunya. Kami tak sempat berpikir terlalu jauh, sebab lima detik kemudian keranjang jelangkung itu telah memberat. Ada ruh yang masuk. Saya pribadi girang bukan kepalang. Maka kesempatan tersebut tidak kami sia-siakan. Saya segera bertindak sebagai tuan rumah dalam menyambut tamu terhormat, yang sekaligus pula telah siap dengan sekian interogasi.

“Selamat datang, bolehkah kami tahu siapa nama anda?”

Kapur di ujung pengait segera bergerak menulis ke papan tulis kecil yang telah kami sediakan.

“Slamet Gemblung,” bunyi tulisan itu.

“Umur?”

“27 tahun.”

“Pekerjaan?”

“Benggol Gali.”

“Betuuuuul? Oh, sungguh surprise. Baik, baik anda ingin minum apa Bung Slamet?”

“Johny Walker campur Martini.”

Kami celingukan mendengar permintaannya yang di luar jangkauan itu. Tapi kami merasa tak kalah akal. Mengambil air teh dan memberikan padanya lewat lubang kunci yang menggelantung di lehernya. Ternyata dia tak bodoh, gelas itu ditumpahkannya hingga membasahi celana saya. Sejenak saya termangu-mangu mencari jalan keluar untuk memenuhi permintaan sang tamu tersebut. Tiba-tiba saya ingat masih punya persediaan bir setengah botol. Dan sambil membujuk berulang-ulang, terobat juga kegusarannya.

Saya melanjutkan interogasi.

“Tanggal berapa anda tertembak?”

“Darimana tahu saya mati ketembak?” tulisnya balik bertanya.

“Sekarang lagi musim gituan.”

“Tak salah dugaan anda, saya mati beberapa menit yang lalu. Mayat saya mungkin masih hangat, tak jauh dari sini.”

Bulu kuduk saya mendadak berdiri.

“Cepatlah Bung, maumu apa? Segera saja katakan saya terlalu letih,” tulisnya kemudian.

“Baiklah … anda tentunya pasti mau membantu saya toh?”

“Jika dapat apa salahnya.”

“Terimakasih, ini semata-mata demi kepentingan sejarah.”

“Saya tak peduli sejarah kek, matematika kek.”

“Maksud saya begini Bung Slamet, anda pergilah sebentar kemudian semua teman-teman anda yang mati ketembak anda kumpulkan ke mari. Hitung berapa jumlahnya. Saya bermaksud menanyakan sesuatu yang penting kepada mereka. Ingat sesuatu yang sangat penting. Baiklah, anda bisa pergi sekarang dan saya tunggu kedatangannya.”

Beberapa saat lamanya keranjang itu terasa ringan. Semua data dan info yang telah kami peroleh, kami catat dengan secermat-cermatnya. Seorang teman saya menghela nafas dengan lega. Seolah merasa terbebas dari beban yang amat gawat. Saya berikan sugesti padanya, meskipun permainan ini berbahaya, tetapi asal kita bisa melayaninya dengan baik, tak mungkin terjadi hal-hal yang tak kita inginkan.

Setelah keranjang terasa berat lagi, saya pun telah menyiapkan beberapa pertanyaan.

“Bagaimana Bung Slamet, semua teman anda sudah datang?”

“Berapa jumlah mereka?”

Dia menuliskan angka. Saya terbelalak.

Saya tak kuasa mengendalikan diri, saya turunkan bertubi-tubi pertanyaan yang sekian lama mengganjal di lubuk hati. Karena tiba-tiba saya ingat, berbagai sebab yang melatarbelakangi kemunculannya. Drop out, sempitnya kesempatan kerja, suburnya budaya narabas, ethos materialisme, dan macam-macam penyakit masyarakat yang membuat dan memberi kesempatan membengkaknya kejahatan. Banyak hal terlibat dan mestinya ikut bertanggung jawab. Tapi di lain pihak, tindakan mereka yang nekat tak berperikemanusiaan terhadap korban-korbannya sungguh membuat saya geram. Saya terapung di tengah dua kutub yang kedua-duanya serba tak mengenakan hati.

“Nah, kalau sudah begini. Kalau jasad kalian sudah terpisah dari raga yang semula kalian banggakan. Jika ruh kalian sudah terpisah dari jimat dan kesaktian yang kalian selewengkan. Jika segala yang kalian agungkan dan banggakan sudah lenyap, kalian bisa berbuat apa? Jika kalian berjumpa dengan arwah orang-orang yang dulu kalian bunuh, kalian cincang, mau ditaruh di mana muka kalian.. Apakah itu semua pertanda siklus seperti riwayat keris yang diciptakan Empu Gandring? Kalian mengukir riwayat dan nyawa di ujung parang, golok atau senjata api. Lalu dalam alammu yang sekarang kalian menumpahkan segala sesal. Itu kan kenyataan yang ada pada kalian?”

Keranjang jelangkung itu termangu-mangu. Saya merasa, sederet kata-kata saya tentu merasuk ke dalam alam kesadaran mereka. Dengan demikian siasat saya untuk mengusik kejujurannya tercapai. Namun itu cuma harapan saya saja yang berlebihan. Sebab ketika saya mulai menyampaikan sebuah pertanyaan, seperti yang pernah saya tanyakan  pada para tetangga, Pak Lurah, Pak Polisi, Koramil, Pak Camat, Pak Wedana, dan sebagainya, cuma dijawab oleh Slamet Gemblung dan konco-konconya dengan termangu-mangu. Lalu ketika saya mendesak dan mendesaknya terus, terakhir cuma muncul tulisan, “Sssssssssssttt …!” Sesudah itu mereka kabur. Sukma saya seperti menangkap langkahnya yang gemetar.*****

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment

Contact