by Darminto M Sudarmo
Senja yang kuning itu Senjaya nampak memperlihatkan wajah yang
lumayan cerahnya. Berkali-kali dia cengar-cengir sendiri. Lalu tengok kanan
kiri. Lalu ketika diketahuinya tak seorangpun di sekitarnya, dia berjingkat
mempercepat langkahnya. Ingin dia bisa sampai rumah secepat mungkin.
Maka sebelum matahari tenggelam, langkah
terakhirnya telah menginjakkan kaki di ambang pintu rumahnya. Senjaya tersenyum
lagi. Tapi tak seorangpun menyambut senyum misteriusnya itu. Kemudian dengan
hati penuh debaran, dia bergegas menuju kamar tidurnya. Dia kunci pintu
rapat-rapat. Dia kunci jendela rapat-rapat. Menghela nafas sejenak, sambil
mencoba menahan goncangan batin yang membuat semua pori-pori tubuhnya
menggeliat. Senjaya memejamkan mata rapat-rapat., mengatur debar jantung yang bunyinya
simpang-siur. Mengatur pernafasan yang sulit dia kendalikan. Lalu ketika emosi
telah tidak begitu menguasainya habis-habisan,
dia segera merogoh ke saku celananya. Mengeluarkan sebongkah uang yang
terdiri dari sepuluh ribuan, lima ribuan dan seribuan. Senjaya menatap terpana
uang yang mengangkang di atas pembaringannya itu. Lampu dua puluh lima watt
telah cukup membuatnya kenal bahwa bongkahan uang itu jika dihitung, paling
tidak tentu lebih dari delapan puluh ribu rupiah. Bayangkan uang delapan puluh
ribu rupiah cuma dapet nemu di jalan. Apa ini nggak kejutan?
Untuk beberapa saat lamanya mata Senjaya
merem melek sambil tangannya membelai-belai lembaran-lembaran yang terasa
begitu lembut dan sejuk. Hati Senjaya kadang melambung ke awang-awang, kadang
berdebar kencang tak tahu apa sebabnya. Lalu bermuncullanlah rencana-rencana
datang begitu mendadak. Lalu dia ingat Zulaikah, calon temen hidupnya yang
paling dia sayang, sebagaimana dia menyayang dirinya dan uangnya. Lalu dia
ingat tempat-tempat hiburan yang mana
selalu jadi impian mereka berdua, tetapi selama ini tak kunjung sempat
disinggahi, lantaran, fulus belum mengizinkan.
Begitu juga Senjaya pun ingat ayah ibunya,
yang hidupnya pas-pasan. Dia punya rencana untuk memberikan sebagian uangnya
untuk mereka. Apa artinya kesenangan dan keberuntungan jika itu dinikmati
sendiri. Senjaya meskipun senang sama uang, tapi dia tidak begitu serakah untuk
menguasai total-totalan semua rezeki yang dimilikinya. Apalagi rezeki yang
datang dari langit seperti sebongkah uang yang ngejelepak di pembaringannya
itu. Senjaya harus lebih banyak menunjukkan bakti kepada kedua orang tuanya.
Atau paling tidak mereka berdua mesti ikut mengenyam keberuntungan yang datang
dengan kalem tapi penuh kejutan itu. Nah, apa salahnya mereka juga kuberi tahu
tentang kemujurun ini, pikir Senjaya. Biar mereka juga mengenal lebih yakin
bahwa Tuhan itu Maha Pemurah dan Maha Pengasih. Sebab sesekali perkara enak dan
sial, atau faktor nasib baik dan buruk, tidak selalu ditentukan oleh usaha manusianya
doang. Sesekali juga takdir berkehendak dengan tanpa kompromi sama sekali.
Sehabis sholat Maghrib, Senjaya menghampiri
kedua orang tuanya yang nampak tengah bersantai menikmati hidangan teh dan
makanan kecil, singkong goreng. Lagi-lagi Senjaya tak bisa menyembunyikan
senyumnya yang terus keluar tanpa bisa dikendalikan lagi. Dan ternyata situasi
wajah yang luar biasa,dan tidak seperti biasanya itu, sempat tertangkap oleh
kedua orang tuanya. Dan kedua orang tua itu cukup makfum plus tumbuh dugaan yang
tak ke mana-mana lagi, sebab mengingat kalau Senjaya sudah menjadi seorang
jejaka
“Ibu lihat kau senyum-senyum sendiri
Senjaya. Ada apakah gerangan? Minta kawin ya?!” goda sang ibu dengan mengerling
ke arah suaminya.
Senjaya menanggapi dengan senyum lagi.
“Bukan itu Bu. Tapi yang jelas ada sedikit
kabar gembira. Sore tadi saya menemukan uang sebesar delapan puluh ribu rupiah
lebih di dekat jembatan. Kuharap ini berita yang membuat ayah ibu senang.”
“Nemu duit?!” kedua orang tua itu tak
percaya.
“Betul Bu!”
“Mana uangnya? Coba ayah ibu lihat.”
Senjaya menyerahkan dengan tetap
memperlihatkan senyumnya.
“Kau tidak bergurau bukan?” Tanya sang
ayah.
Senjaya tertawa sambil meyakinkan.
Beberapa saat kemudian sang ibu berteriak
kecil.
“Wah! Bahaya pak! Aku tidak mau Senjaya
menemui nasib malang. Sungguh demi Tuhan! Senjaya kau kembalikan uang ini ke
tempat asalnya.” Sang ibu kemudian berbisik ke telinga suaminya. Sang suami
manggut-manggut.
“Benar Senjaya, kau lebih baik
mengembalikan uang ini ke tempat asalnya.”
Senjaya bengong. Dia sungguh tak mengerti
maksud orang tuanya.
“Kenapa saya harus mengembalikan Ayah?”
“Kau tidak tahu Senjaya. Uang itu uang
setan!”
“Ya, dan kau tahu ini hari Jumat Kliwon.
Banyak contoh yang tak mengenakkan perihal uang setan semacam itu. Setahun yang
lalu kau ingat tidak nasib Mang Kusen?”
“Mang Kusen selatan sungai itu? Ya, dia
sudah meninggal dunia.”
“Dia meninggal tidak terlebih dulu diawali tanda-tanda sakit. Konon menurut
cerita istrinya, sepulang dari kerja dia menemukan uang sejumlah sepuluh ribu
rupiah tak jauh dari rumah Pak Juned, saudagar yang kaya raya itu. Uang itu
oleh Mang Kusen langsung dibelikan beras dan gula kopi. Dan kau tahu apa yang
terjadi sesudah dia sampai di rumah. Seisi rumah tiba-tiba kaget, karena
beberapa jam kemudian Mang Kusen kejang-kejang dan badannya panas tinggi. Belum
sempat keluarganya mengambil tindakan yang berarti, Mang Kusen telah
menghabiskan nafasnya yang penghabisan. Munurut orang tua yang tahu perihal
ini, mengatakan bahwa dengan kesediaannya Mang Kusen mengambil uang yang
dipasangkan itu, berarti dia telah rela menjadi tumbal bagi setan yang
dipelihara orang yang menyebar duit itu.Dan banyak orang telah menduga siapa
orang yang menjadi sumber petaka itu, tapi tak satupun mampu mengambil
tindakan, karena mereka tak ada bukti. Dan kau tahu, peristiwa itu terjadi
tepat pada hari Jumat Kliwon.”
“Bukan hanya itu Senjaya,” sela ibu
memotong pembicaraan ayah, “Tiga tahun yang lalu keadaan serupa juga menimpa
seorang penduduk yang tinggal tak jauh dari kampung kita. Oranmg itu bernama
Sukimin. Bahkan nasibnya lebih mengerikan. Sepulang kerja dia menemukan
sejumlah uang yang tak masuk akal. Tapi dasar Sukimin orangnya seneng nekat,
dia tak bawa uang itu ke rumah, melainkan langsung buat berfoya-foya. Dia
nonton bioskop, main rolet, dan terakhir mampir ke lokasi WTS. Dia mati dalam
keadaan bugil, di samping wanita jalang itu. Seluruh tubuyhnya kejang, tak bias
dilemaskan lagi. Ibu tidak bohong, peristiwa itu tepat terjadi pada hari Jumat
Kliwon. Kau paham kan nak?”
Senjaya termanggu-manggu , bagai
mimpi.Pikirannya tiba-tiba gundah. Tentu, karena
dia tak rela jiwa manusia cuma dihargai
beberapa ribu rupiah. Itu jelas kejahatan yang tak tak bisa diberi ampun Tapi,
cerita kedua orang tuanya telah begitu mempengaruhi pikirannya. Dia tiba-tiba
tak ingat Zulaikah. Dia tak ingat tempat-tempat rekreasi yang menawan, dia tak
ingat rencana-rencana yang telah disusunnya dengan matang. Yang diingat cuma
nasib dirinya. Seandainya, ya seandainya peristiwa yang dialaminya juga persis
dengan dengan yang dialami Mang Kusen dan Pak Sukimin, apa jadinya nasibku
nantinya, pikir Senjaya.
Menyaksikan kegelisahan yang menimpa
anaknya, ayah Senjaya segera memberi jalan keluar.
“Sudahlah Senjaya, daripada kau diliputi
ketakutan dan kecemasan yang tak berkesudahan, mendingan kau kembalikan saja
uang itu. Beruntung kini kau belum mempergunakan sepeser pun, itu berarti
jiwamu masih netral. Atau kau tempuh jalan yang satunya lagi, seandainya kau
memang ingin memiliki uang itu tapi jiwamu masih selamat. Kau pergilah ke Mbah
Bani, dukun maha sakti yang tinggal di Suropadan, dekat Sendang Kedung
Pengilon. Kau bisa minta tolong pada beliau agar melenyapkan pengaruh setan
yang menempel di uang itu. Tapi tentu saja kau harus sanggup mematuhi
syarat-syarat yang diajukan olehnya.”
“Kapan saya bisa pergi ke sana Ayah?”
“Secepatnya itu yang terbaik.”
“Kalau begitu, malam ini aku akan
berangkat.”
Dengan ditemani warna malam yang hitam
sehitam kulit orang-orang Negro, Senjaya berangkat dengan gagah penuh harapan
terlepas dari gerogotan setan-setan yang mbonceng fungsi pada uang puluhan
ribu. Maka meskipun tempat yang dia tuju cukup jauh masuk ke daerah-daerah yang
sepi tanpa penghuni, tak setitik nilapun hatinya memperlihatkan nyali kecil.
Kali itu yang terbayang di otaknya, seandainya-seandainya. Seandainya Zulaikah
tahu ini, alangkah senangnya dia. Seandainya kami bisa pergi bersenang-senang
bersamanya, alangkah nikmat kenyataan itu. Zulaikah-Zulaikah , keluh Senjaya
berapa lama. Aku menginginkan saat-saat
yang bisa membahagiakan dirimu.
“Mas Jaya, kau sungguh gagah dengan pakaian
barumu itu,” goda Zulaikah , sesaat Senjaya singgah ke rumahnya
“Kaupun juga akan bertambah cantik setelah
mengenakan gaun batik yang kubawa ini. Lihat Zul, apa yang ada di bungkusan
ini?”
“Oiii apa itu Mas Jaya?”
“Semua ini untukmu. Sekali lagi, hanya
untukmu. Tidak untuk yang lain. Nah, kau boleh mencobanya. Sesudah itu kita nonton
bersama-sama. Malam ini Gemblong Theater memutar film The Love of Monkey. Film
yang seru penuh adegan asmara yang heibat. Dan bercampur peristiwa-peristiwa
yang mengharukan.”
Kedua muda-mudi itu terus tancap gas, eh,
maksudnya tancap pedal seusai berdandan. Bagi keduanya rasanya lebih berkesan
pacaran pakai sepeda, daripada motor. Sebab di samping lebih romantis dan
alamiah, juga karena mereka, terutama si Senjaya belum mampu membeli motor yang
harganya ratusan ribu itu. Keduanya bisa membeli karcis dengan lancar. Bisa
duduk duaan di dalam gedung sambil makan kacang. Hati Senjaya kembang-kempis.
Kata orang saat nonton berdua begini, seharusnya bisa memanfaatkan situasi yang
amat tepat. Bisa nyodok-nyodok lambung pacar yang terasa hangat, bisa garuk-garuk
dengkul pacar yang terasa bergerak-gerak karena nervous. Bisa main dekap
tatkala film yang menakutkan berlangsung.Pendeknya, banyak hal yang
mengasyikkan bisa dilakukan, dan semua itu didukung oleh alasan yang masuk
akal. Tapi bagi Senjaya? Itu semua tak mungkin dilakukannya. Sebab kenapa?
Karena dia cuma berdua dengan sebatang pohon jambu monyet. Waktu tangannya
bergerak-gerak hendak membelai pinggang Zulaikah, yang dirasakan ternyata
gesekan kasar yang membuat dia jengkel setengah mati.
“Sialan! Rupanya pikiranku ngelantur ke
mana-mana tadi. Bah! Bukankah aku punya tugas yang maha penting, kenapa bisa
ndoyong sampai ke kuburan ini?’
Lalu Senjaya melanjutkan perjalanannya
dengan sedikit mempergegas. Tidak sampai pukul dua belas tengah malam, dia
sampai di pedepokan Mbah Bani. Saat itu juga nampak berpuluh-puluh orang yang
tengah menjalani tirakat. Senjaya langsung menghadap dan mengutarakan
maksudnya.
Mbah Bani rupanya orang yang praktis, dia
langsung mengajukan beberapa syarat. Pertama, Senjaya mesti menyediakan seekor
kambing jantan warna coklat keputih-putihan. Enam ekor ayam putih, dan nasi
tumpeng lengkap dengan sesajen juadah pasar. Kedua, kemenyan dan stanggi dua
ons. Ketiga, lima lembar tikar baru, yang di dalamnya telah lebih dulu diberi
kain kafan sepanjang lima belas meter. Malam itu juga Senjaya pamit pulang.
Menjelang fajar tiba, Senjaya sampai di
rumahnya, langsung disambut ayah ibunya yang ikut prihatin pada nasib anaknya.
Tanpa duduk lebih dulu, Senjaya langsung pula menceritakan semua persyaratan
yang diajukan Mbah dukun Bani. Senjaya mengambil secarik kertas, dan kemudia
mencatat semuanya. Lalu menghitung satu persatu harga barang yang disebutkan
oleh Mbah dukun tadi.Deretan huruf itu lalu membentuk angka yang dimaksud
adalah harga tiap-tiap barang itu. Dan setelah ditotal tanpa jenderal segala,
mata Senjaya tiba-tiba melotot mau keluar. Jumlah itu lebih dari sembilan puluh
ribu rupiah. Senjaya menunjukkan angka-angka itu pada ayahnya.
“Edan”, teriak ayahnya. Langsung Senjaya
digeragoti ngantuk yang tak keruan kelunya. Tubuhnya tiba-tiba lemas, karena
letih yang bukan kepalang, lalu dia jatuh lemas. Dan kedua orang tuanya
berteriak. Ya Tuhan! Senjaya tertidur. Orang tuanya menyangka Senjaya digondol
setan. Lalu tubuhnya dibaringkan di atas balai-balai. Membujur ke utara. Ibu
Senjaya geger. Menangis keras-keras. Tepat sehabis Subuh tiba, para tetangga
berdatangan. Semua tetangga menyangka Senjaya tak apa-apa. Seperti orang tidur
biasa. Tapi ayah ibu Senjaya bersikeras kalau keadaan Senjaya sedang gawat,
butuh pertolongan. Butuh orang tua untuk mengobati. Seorang tetangga terpaksa
mengalah meminta tolong pada seorang tua yang cukup berpengaruh di desa itu.
Kemudian asap kemenyanpun mengepul memenuhi udara. Sehingga orang-orang yang
merasa normal akan merasa tertanggu tenggorokannya. Merasa tiba-tiba ingin
batuk-batuk. Dan benar orang-orang yang bertahan tidak menyingkir, akhirnya
keserang batuk mendadak semua. Sehingga untuk beberapa saat lamanya tempat itu
gaduh bukan kepalang. Akhirnya Senjaya merasa terganggu, diapun tak bisa
mengelakkan diri dari keadaan terjaga. Dia kaget melihat sekitarnya. Lalu
tersenyum kemalu-maluan. Ayah ibu Senjaya bergirang hati, dan menyangka orang
tua itu seorang dukun yang hebat. Lalu dia diberi persen lima ribu rupiah.
Dukun itu dengan bangga, langsung pulang sambil mendongakkan tulang rahangnya.
Semua tetangga yang hadir bubar. Senjaya seperti linglung, dia tak habis
mengerti.
Pukul dua belas tengah hari, ketika Senjaya
duduk bersantai tak tahu apa yang harus dikerjakannya, karena dia juga sedang
pusing memikirkan persyaratan dukun Bani, dia sempatkan diri putar-putar radio
kecilnya yang bergelombang dua. Maksudnya SW dan MW. Tiba-tiba dia menghentikan
kegatalan tangannya memutar sana mutar sini., sebab dia mendengar berita
kehilangan dari radio swasta niaga. Dalam berita itu diterangkan, bahwa siapa
yang telah menemukan uang sejumlah delapan puluh ribu tujuh ratus lima puluh
rupiah, yang diperkirakan hilang antara jembatan Kali Aji dan jembatan Randu
Sari, harap menyerahkan/mengembalikan kepada yang berhak lewat radio tersebut.
Bagi yang menemukan akan menerima imbalan sekedarnya.
Senjaya terlonjak dari tempat duduknya.
Untung dia belum menuruti pesan dukun komersial itu. Untung pula dia tak
sembarangan mengembalikan uang itu ke tempat semula, sehingga kemungkinan nasib
uang itu jadi lebih buruk. Maka dengan langkah ringan dikembalikanlah uang itu
ke kantor radio yang dimaksud. Senjaya mendapat imbalan jasa sebesar lima ribu
rupiah. Tapi uang itu tak pernah dia nikmati, karena telah diserahkan oleh
orang tuanya pada dukun yang telah ‘menyembuhkannya’ ketika dia ngantuk tadi.
Meskipun demikian, Senjaya merasakan segalanya terasa lebih ringan daripada
ketika dia memegang uang itu. Dan bayangan bersenang-senang dengan Zulaikah-pun
untuk sementara dia tangguhkan dulu. Untuk dapat duit banyak, aku musti kerja
keras, begitu tekad Senjaya. Dan dia ingin membuktikan tekadnya.*****
Mohon Perhatian!
Dengan penuh kerendahan hati kami mohon pengertiannya agar tidak meng-copy-paste cerita yang termuat di blog ini kecuali seizin dari penerbit - kombatbuku@gmail.com
Dengan penuh kerendahan hati kami mohon pengertiannya agar tidak meng-copy-paste cerita yang termuat di blog ini kecuali seizin dari penerbit - kombatbuku@gmail.com
0 comments:
Post a Comment