Sang Waktu


by Darminto M Sudarmo


Seperti ada yang mengajak aku berlomba, ketika aku duduk tidak mengerjakan apa-apa. Menopang dagu, melepas lamunan melintas dimensi tanpa tepi. Angin kubiarkan saja bertiup. Ombak kubiarkan saja bergolak. Dan sepi terus saja bertengger. Bukan hening, bukan eling, tapi kekosongan dan kesia-siaan.

Sang Waktu tiba-tiba berdiri di depanku. Senyumnya mengejek.
“Andaikata besuk pagi takdir mencabut nyawamu, apa kau tidak menyesal?” ujarnya memancing pembicaraan.
“Oh, aku belum berpikir tentang takdir, tentang kematian.”
“Lalu apa yang kau pikirkan?”
“Apa yang kupikirkan?”
“Ya.”
“Aku tidak berpikir tentang apa-apa.”
“Kau tidak berpikir tentang apa-apa?”
“Ya.”
“Dalam detik yang lewat? Dalam menit yang lewat? Dalam jam yang lewat?”
“Begitulah.”
“Bagaimana bisa begitu?”
“Tak tahulah.”
“Oh, itu sungguh aneh.”
“Apa? Kau bilang aneh?”
“Ya, sangat aneh.”
“Kenapa aneh?”
Sang Waktu kembali tersenyum mengejek. Dia menunjuk daun kering yang gugur tertiup angin. Ranting lapuk yang patah. Bunga layu yang teronggok di tanah. Bangkai bekicot. Gubug yang reyot. Sungai yang keruh. Laut yang tercemar. Mobil yang ringsek. Cicak yang tergeletak. Makam yang sunyi. Dan kepadaku sendiri.
“Apa artinya itu semua?” tanyaku setengah bergidik.
“Oh, bukan apa-apa,” jawabnya tenang-tenang saja.
“Kenapa kau menunjukkannya kepadaku?”
“Itu pun bukan kenapa-kenapa.”
“Kau jangan membingungkan aku. Terlalu letih aku oleh kebingungan-kebingungan. Cobalah kau terangkan.”
“Tidak ada yang harus diterangkan. Jangan bersemangat mutlak-mutlakan begitu. Daun kering itu ya daun kering dan angin ya angin. Kenapa harus kau risaukan?”
“Sudahlah, kau boleh tinggalkan aku. Dan jangan ganggu aku lagi.”
Sang Waktu menatapku dengan geli.
“Kau inginkan aku meninggalkanmu?”
“Ya.”
“Kau tidak menyesal?”
“Apa yang harus disesalkan?”
“Baiklah,” dia pun lenyap.
Seperti ada yang mengajak aku berlomba. Ketika aku duduk tidak mengerjakan apa-apa. Ketika aku berdiri tidak mengerjakan apa-apa. Ketika aku berlari tidak mengerjakan apa-apa. Ketika aku tidur tidak mengerjakan apa-apa. Ketika aku bekerja tidak mengerjakan apa-apa.
Angin kubiarkan saja bergerak. Oleh nafasku atau oleh campur tangan unsur apa pun juga. Bunyi-bunyian, kesunyian, jerit atau lolong, atau bahkan tawa canda ria.
Kehidupan terus saja berlangsung. Roda mobil menggelinding, roda kereta menggelinding, roda kehidupan juga menggelinding. Suara karyawan berangkat dan pulang kerja. Suara pabrik yang penuh hiruk-pikuk, pasar yang penuh tawar-menawar, dan sekolahan yang penuh teriakan guru dan tawa anak-anak.
Di langit toh ada mendung. Gumpalan asap pabrik atau ledakan amunisi. Pertempuran juga berlangsung di beberapa tempat, memperebutkan apa?
Seperti ada yang mengajak aku berlomba. Padahal tidak ada perlombaan apa-apa. Tidak ada kompetisi memperebutkan apa-apa. Kenapa saling terburu? Itu sungguh sulit dimengerti.
Aku kadang duduk-duduk saja. Berdiri saja. Berjalan-jalan saja. Bergurau saja. Bermain-main saja. Berkata-kata saja. Berpikir-pikir ala kadar saja. Tetapi sesuatu selalu mengingatkan aku, bahwa di sekitarku seperti tengah berlangsung pertarungan, persengketaan, pembunuhan, penculikan, penodongan, pemalsuan, penindasan, penangkapan, pengadilan maupun pembungkaman.
Aneh, ketika aku sedang tidak apa-apa pun seperti ada yang mengajak berlomba. Memanjat pohon setinggi-tingginya. Berlari sekencang-kencangnya. Meloncat sejauh-jauhnya. Berbicara sebagus-bagusnya. Berpakaian seindah-indahnya. Kenapa? Duduk saja dikejar, bagaimana kalau berjalan dan berlari?
Sang waktu, tiba-tiba sudah berdiri di depanku lagi. Tidak jelas bagaimana sikapnya. Dia tidak tersenyum sinis, tidak mengejek, tidak terlalu bersahabat, tidak pula bermanja-manja. Biasa saja. Seperti halnya warna merah. Warna biru nampak biru.
“Aku datang tidak untuk mengganggumu,” ujarnya.
“Untuk apa?”
“Aku tidak tahu.”
“Ah, kenapa kau jadi loyo begitu?”
“Tak tahulah, tiba-tiba aku berpikir, untuk apa aku merisaukan semuanya ini?”
“Kau merisaukan apa?”
“Semuanya.”
“Kok bisa?”
“Itulah, pekerjaan yang terjadi tak lebih mengulang-ulang masa lalu. Mengolah masa kini untuk masa nanti. Masa nanti lalu mengulang-ulang lagi. Sungguh meletihkan.”
“Kok kamu jadi ngambeg begitu?”
“Aku cuma letih kok.”
“Jadi kau ingin pensiun?”
“Istilah apa pula itu yang kau bawa?”
“Pensiun itu artinya, kau meletakkan jabatanmu. Lalu istirahat di rumah sambil menikmati gaji tanpa kerja. Enak bukan?”
Sang Waktu tertawa hingga terbungkuk-bungkuk.
“Kau pintar melucu.”
“Kau juga pintar tertawa.”
“Tunggu dulu. Aku seperti teringat sesuatu. Oh iya, melihat gelagatmu akhir-akhir ini, seperti ada yang mengusik. Apa kau tengah memikirkan sesuatu?”
“Oh, tidak. Aku biasa-biasa saja.”
“Apa kau tengah berpikir tentang dirimu sendiri?”
“Tidak juga.”
“Misalnya tentang keinginan-keinginanmu.”
“Keinginan?”
“Ya.”
“Apa itu bukan suatu kemewahan? Pada zaman begini aku masih punya keinginan untuk diriku? Ah, kau jangan mengada-ada.”
“Lho, kenapa? Keinginan boleh saja dimiliki oleh setiap orang dalam zaman bagaimanapun. Keinginan juga bukan kejahatan dan sebangsanya. Kenapa harus kau sebut sebagai kemewahan?”
“Ah, tak tahulah, aku sebenarnya punya keinginan apa. Ketika manusia lahir, hidup lalu mati, aku sempat berpikir, hal itu juga akan berlaku atas diriku. Lahir hidup lalu mati. Tapi saat ini aku belum sampai berpikir, benarkah aku sudah lahir, sudah hidup atau sudah mati. Banyak selubung ketidaktahuan menutupi aku. Aku hanya bisa membiarkan semua itu berlintasan. Masuk atau pergi terserah saja. Benakku tidak kututup, tidak pula kubuka. Butuh apa, siapa pun juga silakan. Mau bertandang, mau pulang atau mau tinggal berlama-lama, silakan.
Benakku bukan laut, bukan sungai, bukan tanah lapang, bukan air, bukan api, bukan sunyi, bukan ramai. Bukan gedung, bukan pula gubug reyot. Benakku bukan apa-apa. Begini ini, apa adanya. Adakalanya kemasukan malaikat, adakalanya kemasukan syetan. Adakalanya kemasukan roti atau keju, adakalanya pula tai kerbau, tai sapi. Alangkah tidak apa-apa dan tidak ada apa-apanya.”
“Duh duh duh. Omongan apa itu yang kau ucapkan? Seperti hidup ini begitu nisbinya,” ujar Sang Waktu sambil berdecak.
“Tak tahulah, mungkin aku sedang ingin sendirian.”
Sang Waktu dengan gesit segera tegak berdiri. Menatapku dengan pandangan aneh. Lalu buru-buru minta pamit.
“Aku pergi dulu, sampai jumpa.”
Seperti ada yang mengajak aku berlomba. Sementara aku lebih suka tidak apa-apa. Apakah aku sudah sampai pada rindu keheningan abadi? Perjalanan dalam maut sambil menjingjing bekal dan beban. Apa yang harus kulakukan di sana? Apakah aku masih boleh duduk atau berdiri, berlari-lari atau tidak melakukan apa-apa?
Pemandangan apa yang bakal kulihat? Kengerian atau keindahan? Apakah di sana juga ada perang, ada penindasan, ada kebebasan? Ah, kalau segalanya serba maya, serba tak jelas untuk apa aku mesti berletih-letih memburu? Kalau aku tengah menempati titik huni begini. Untuk apa lagi? Menancapkan keinginan untuk sebuah harapan?
Itu berarti aku membohongi diriku sendiri. Apakah aku tengah berada dalam batas nuansa, ketika segalanya menjadi bebas nilai? Itu pun berlebihan.
Aku sebenarnya cuma ingin begini-begini saja. Mau duduk ya duduk. Mau berdiri ya berdiri. Mau berlari ya berlari. Mau mandi ya mandi. Mau kencing ya kencing. Mau berak ya berak. Mau bekerja ya bekerja. Mau tidur ya tidur. Aku tidak ingin berada dalam kerancuan. Ketika mau duduk justru disuruh berlari, ketika ingin berdiri disuruh duduk. Aku cuma ingin yang sederhana-sederhana saja. Bisa menghirup udara pagi tanpa dipungut pajak. Bisa menatap matahari tidak dalam mimpi.
Mungkin keinginanku dianggap terlalu mewah. Tapi biarlah. Menghabiskan banyak enerji untuk sebuah pertengkaran. Dan bila aku menangis untuk sebuah pemerkosaan, penindasan dan pemaksaan nilai, aku toh cuma bisa menangis saja.
Aku tidak bisa mengada-ada untuk pura-pura jadi dewa penolong sementara untuk itu aku harus membebani orang lain. Aku ingin semua yang kulakukan karena memang aku ingin. Kenyataannya aku tak berdaya apa-apa ketika bom meledak. Ketika rudal dan nuklir menghancur-leburkan bumi ini. Ketika keinginanku tertindas oleh kekuatan-kekuatan yang lebih berkuasa.
Tidak dengan apa-apa membinasakan kemutlakan, kecuali kerelaan dan ketulusan. Aku jadi ingat Sang Waktu, yang memberitahu tentang daun kering yang gugur tertiup angin. Ranting lapuk yang patah menancap di tanah.
“Semua itu bukan apa-apa dan tidak kenapa-kenapa.” Ujar Sang Waktu dengan santai.
Tapi mengapa aku merasa seperti ada yang mengejar dan memburu? Padahal aku tidak punya apa-apa. Apalagi harta untuk dirampok dan digarong. Apakah karena kemerdekaan yang kuanggap kumiliki, lalu ada yang berkeinginan merampasnya? Entahlah.
Tiba-tiba Sang Waktu hadir.
“Kau kenapa?” tanya dia dengan keheranan yang sangat.
“Tidak apa-apa,” jawabku santai saja. Menirukan dia.
“Kau bikin sesuatu yang mendebarkan. Garis edar, ekologi, metafisika, ekosistem, dan siklus nyaris tak bertumpu pada esensinya. Kutub Selatan dilanda kekeringan, gurun pasir diamuk banjir dan badai. Apa yang kau kehendaki?”
Sang Waktu menatapku dengan tajam. Unsur api dari semangat mataharinya memancar ke segenap pori-pori. Bumi serasa guncang, langit serasa kencing. Angin dan badai bertiup garang.
“Tunggu dulu, kenapa kau jadi marah seperti itu? Bila seseorang ingin mencapai kemerdekaan dalam bersensi, siang malam memang tiada batas dimensi. Baik dan buruk menuntut konteks studi. Aku telah belajar dari alam, dari angin, dari api, dari air. Angin tak membedakan siang dan malam untuk bertiup dan bercanda. Api tidak risau malam atau siang untuk menyala. Air tak risau siang atau malam untuk menempati bentuk, membikin basah yang kering. Cobalah kau pikirkan. Tidak muluk-muluk yang kukehendaki dari kenyataan ini. Aku cuma butuh duduk ketika aku ingin duduk. Aku cuma butuh ngomong ketika aku ingin ngomong. Apakah masuk akal hal yang sederhana seperti itu mengganggu proses mekanisme alam?”
Sang Waktu termangu-mangu.
“Apakah ada yang hilang dari kewajiban-kewajibanku? Sehingga aku tak adil memberi ruang dan lahan?” tanya Sang Waktu masih dengan sikap berpikir dan bertanya-tanya.
“Bukan kau yang tidak adil.”
“Lalu siapa?”
“Siapa saja yang bisa menipumu dan mau memanfaatkan kelemahanmu.”
“Kau bisa menjelaskannya?”
“Tidak perlu.”
“Aku perlu mengetahuinya.”
“Itu berarti segalanya lalu jadi selesai. Dan kau tak akan bisa menyaksikan kelahiran, kehidupan dan kematian. Karena kau gatal mau menjebol keluar dari esensimu sendiri.”
“Duh, kok jadi membingungkan begini...”
“Memang, nampaknya sederhana, ternyata tidak.”
“Lalu bagaimana aku harus bersikap?”
“Sebagaimana sekian juta tahun yang lalu, saat kau melaksanakan tugasmu penuh dengan gairah, keadilan dan kemurahan.”
“Aku iri sama kau.’”
“Apa kau pikir aku tidak iri sama kau?” tanyaku ganti.
“Lho lho, kau punya kelanjutan. Kau punya sasaran. Sedang aku harus mengisi mekanisme dan rutinitas.”
“Tapi umurku pendek, kau panjang.”
“Oke, oke. Lalu cita-citamu apa setelah ini?”
“Cita-cita lagi, keinginan lagi. Apa cita-cita dan keinginan ada batasnya? Kau lihat saja. Yang tengah perang merindukan perdamaian. Setelah damai jadi monoton. Orang butuh dinamika, lalu timbullah dialog. Seperti biasanya dialog terlalu jauh, lalu lepas dari konteks dan permasalahan. Dan akhirnya bersitegang leher. Lalu diselesaikan dengan perang. Lucu bukan?”
“Wah wah! Sekian dulu, aku harus menunaikan tugasku.” Sang Waktu lenyap. Cuma sekejap.
Aku tertegak, bisu.
Seperti biasa, setiap aku sedang tidak apa-apa, serasa ada yang mengajak berlomba. Padahal aku ingin apa adanya. Begini-begini saja. Bila ingin duduk lalu duduk. Bila ingin berdiri lalu berdiri. Bila ingin berlari lalu berlari. Bila ingin tidur lalu tidur. Bila ingin makan lalu makan. Bila ingin bekerja lalu bekerja.
Boleh saja abad terlewat, hitungan bertimbun, aku cuma ingin begini. Begini saja...!*****



Mohon Perhatian!
         Dengan penuh kerendahan hati kami mohon pengertiannya agar tidak meng-copy-paste cerita yang termuat di blog ini kecuali seizin dari penerbit - kombatbuku@gmail.com

 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment

Contact