Kalabendana Gim


by Darminto M Sudarmo

BUNYI bolduser yang dinaiki Ditya Kalabendana meraung-raung seperti teriakan orang kesurupan setan. Saat itu otak Kalabendana nyaris teler. Pelipisnya benjut kena pukulan Angkawijaya, sakitnya tak karuan. Sebentar-sebentar terasa nyut … nyut … nyut. Kontan saja kendaraan yang dinaiki sebentar oleng ke kanan, sebentar oleng ke kiri. Dan manakala dia sampai di daerah yang lapang, buldoser itu langsung berputar-putar membentuk lingkaran atau kadang angka delapan. Anehnya si Kala yang bendana ini kelihatan senyum-senyum sambil memperlihatkan baris-baris giginya yang yellow sweet.

Menyaksikan hiburan gratis yang langka itu, anak-anak kecil segera berbondong-bondong menyerbu. Mereka tahu, raksasa ini baik hati dan cinta pada kanak-kanak.

“Oom …. Asyik ya Oom?” teriak mereka.

“Heh … heh … iya dong!”

“Boleh ikut Oom ….?”

“Boleh ….. boleh saja. Bisa naik?”

“Berhentiin dulu dong.”

“He …. He …. He …. Oom lupa cara menghentikannya.” 

“Lalu gimana dong …?”

“Iya tunggu nanti sampai BBM-nya habis.”

“Wah itu pemborosan Oom!” teriak seorang anak yang ]aling besar.

“Habis daripada ditubrukin …… lebih boros lagi.”

Setengah jam kemudian bolduser itu benar-benar kehabisan minyak, eh solar apa bensin ya? Pokoknya kehabisan bahan bakar. Dan ketika kerbau tua itu sudah berhenti, anak-anak segera merubung sambil berebutan naik.

“Tunggu … tunggu! Antri satu-satu. Naik dari depan, turun dari belakang. Ngarti nggak …..? Itu lho seperti kalau naik bis di Jakarta. Jangan malu-maluin. Kayak nggak diajar selp disiplin saja. Coba kalau kalian nanti bepergian ke Jakarta. Siapa yang kena coreng mukanya? Naik berebutan dan turun sembarangan, kayak nggak tahu etik sja. Di sini mungkin orang tak memperhatikan, tapi di Jakarta? Kalian bakal kena denda, tahu?!!”

Anak-anak pada tercengang. Tapi kemudian mengangguk.

“Iya deh Oom.”

Kalabendana turun.

“Nah, karena kalian anak yang bisa diatur, dan mau tahu aturan, maka dengan ikhlas hati Oom hadiahkan bolduser ini buat kalian. Oom segera melanjutkan perjalanan.”

“Anak-anak pada kaget. Tapi kemudian bersorak kegirangan.

“Oom lalu naik apa dong ……?”

“Jalan kaki dong! Kan jantung sehat tul nggak?”

“So long Oom! Dan trims besar!”

“Daag anak-anak!” teriak Kalabendana sambil masih jalan mundur.

“Daag Oom ……. Eh awas tuh ada parit!”

“ByuuuurRRR!” tubuh Kalabendana basah kuyup. Anak-anak diam menahan napas. Tapi di luar dugaan mereka, si Kala yang baik hati bukannya sewot tapi malah tertawa gelak-gelak.

“Seseorang yang bisa mentertawakan ketololan dan kesialan diri sendiri, itulah tandanya orang berjiwa besar. Camkanlah ini anak-anak. Dah ya, tak usah kalian kuatir, nanti toh kering sendiri.”

Sesampai di Pringgadani, Kalabendana mencium sesuatu yan tak mengenakkan hatinya. Semacam firasat buruklah. Sebab tidak biasanya dia mencium bunga bangkai seperti itu. Tapi dia tak pedulikan, yang penting segera menjumpai keponakannya Siti Sendari yang mungkin tengah menanti dengan tak sabar.

Benar saja, begitu dia sampai di ruang tengah, suasananya amat sepi. Siti Sendari duduk sambil bertopang dagu. Gatutkaca gelisah sendiri karena tak berhasil membujuk dan menenangkan hati sang Dewi. Sebab itu tugas pokok yang harus diembannya.

Dengan langkah gontai Kalabendana datang menyuruk-nyuruk. Sebagian pakaiannya masih nampak basah dan bergelimang lumpur. Keringatnya membasah di mana-mana. Baik di daerah yang terbuka maupun terlindung. Napasnya ngos-ngosan. Suaranya patah-patah.

“Duh …. Gawat …. Gawat …. Gawat! Krisis Malvinas bisa merembet ke mana-mana……!” gumamnya seorang diri.

Siti Sendari begitu tahu pamannya yang diutus ke Wirata sudah pulang, langsung bangkit.

“Oom …. Bagaimana kabarnya Kang Angkawijaya? Bagaimana Oom …. Apakah dia baik-baik saja atau sedang dapat musibah? Badannya kurus atau tambah gemuk. Dan sekarang sedang tinggal di mana ….. menginapnya di hotel atau di motel Oom….? Ayo dong Oom segera kasih jawaban.”
Kalabendana yang tak biasa dengan segala tetek bengeknya basa-basi, segera kasih jawaban tu de poin.

“Wah gawat ….. nduk ….. nduk. Gawat dah pokoknya!”

“Gawat bagaimana Oom!???”

“Yang di sini menangis dalam kerinduan …. Sementara yang di sana tertawa dalam kenikmatan … heh … heh … tuh anak memang bandel.”

“Oom jaga mulutmu!” bentak Gatutkaca sambil mengepalakan tinju. Betapa keqinya si Gatut, telah berhari-hari dia coba membujuk agar Dewi Siti Sendari tidak dilanda shock, kini malah diobrak-abrik perasaannya oleh oomnya sendiri.

“Lho … lho jangan begitu Tut. Oom bilang apa adanya. Oom tak kasih tambahan, tak kurangi fakta. Seperti kode etik jurnalistiklah. Eh, sudah begini obyektip malah dipelototi. Kurang apalagi ….? Berani sumpah deh, Oom lihat sendiri, si Angkawijaya sedang duduk duaan sama gadis manis putrid Wira ……”

Belum selesai Kalabendana memberi laporan, langsung tubuhnya dibawa terbang oleh Gatutkaca ke halaman kesatriaan.

“Terlalu! Terlalu!!! Oom Kala sungguh keterlaluan. Orang tua tak tahu adat! Tak tahu diplomasi! Tak bisa momong anak. Tak bisa membaca situasi! Oom sungguh sudah melakukan kesalahan besar!.

Mendengar kalau dirinya dikatakan salah, tentu saja Kalabendana protes. “Oiii Tut …. Tut … kau ini gimana toh ….? Orang sudah bilang dengan betul dibilang salah. Pokoknya Oom tidak terima. Oom bilang apa adanya. Oom bilang dengan betul. Berani sambar geledek, Oom lihat si Angka lagi berbulan madu sama eyang Utari di Tamansari Wirata.”   

Gatutkaca tambah kalap. Otot-ototnya kian mengejang. Mukanya merah hitam. Syahdan menurut sya, digambarkan sebagai berikut. Gatutkaca itu satria linuwih. Berdaging batu, otot kawat, tilang besi, bergigi platina, apalagi bila sedang marah, semua organ kian mengeras dua puluh kali lipat. Maka kekalapannya ini membuat dia tidak sadar, siapa yang dia hadapi, siapa yang sedang dia pelintir lehernya, siapa yang sedang dia cekik dengan jari-jarinya yang seperti gunting. Tahu-tahu dia baru sadar setelah mendengar bunyi : Krek! Dan melihat kepala Kalabendana terpisah dari tubuhnya. Menggelinding ke tanh. Dan melihat darah merah yang muncrat membasahi baju Antakusuma-nya. Dan menyaksikan tubuh yang sudah tak berkepala itu menghempas ke tanah dengan menimbulkan bunyi : Buk!

Astaga! Oom Kala? Kenapa kau Oom ….?!!!” Gatutkaca lalu menubruk mayat Oomnya sambil menangis meraung-raung seperti anak kecil. Sungguh nyesel. Nyesel setengah mati.

”Oh Dewa ……. Betapa sadisnya diriku. Aku telah membunuh Oomku dengan cara yang amat keji. Oom ……. Kau seorang yang berani berkata tentang kebenaran. Kau berani ambil segala risiko dengan kebenaran yang kau pertahankan. Kau sungguh seorang yang berkepribadian mulia. Oom kaulah yang betul. Dan aku …. Keponakan yang durhaka, sungguh terkutuklah diriku. Dewa …. Dewa …. Hukumlah diriku saat ini juga. Cabutlah nyawaku Dewa …. Biar aku segera bisa menyusul Oom Kala ke surga. Rasanya tak ada gunanya lagi orang dengan noda berlepoton seperti aku ini, terus diberi hidup di mayapada.”

Tiba-tiba Gatutkaca dibikin kaget. Tubuh dan kepala Kalabendana berubah menjadi asap, lalu lenyap, muksa. Dan di udara terdengar suara sukma Kalabendana.

“Oe …. Ngger Gatutkaca …., tak ada gunanya kau meratap seperti anak kecil. Ketahuilah anakku …. Kaulah satu-satunya keponakanku yang paling kusayang di dunia ini. Bahkan lebih dari diriku sendiri. Tapi kau tak perlu menyesal yang berkepanjangan. Semua ini sudah digariskan oleh Dewata. Semua ini sudah digariskan oleh Dewata. Semua ini sudah kehendak Yang Maha Kuasa. Karena rasa sayangku padamu … maka aku rela untuk bergentayangan dulu mengembara ke mana-mana sambil menunggumu kelak bersama-sama kita ke surgaloka. Saat ajalmu bukan sekarang. Tut … besuk bila kalian sudah selesai melaksanakan tugas dalam mengemban bakti pada junjunganmu para Pandawa. Di medan perang Barata Yudha, kau bakal diantar oleh senjata Kunta milik Prabu Karna untuk kemudian kujemput menghadap SangHyang Wenang. Kita bersama-sama piknik ke Surga. Dah ya ….. jaga diri baik-baik anakku …….”

Gatutkaca tegak bagai batu. Seluruh sendi tubuhnya serasa kaku. Perasaannya kelu. Tak ada suara angin bertiup. Tak ada terdengar suara burung bercicit. Tak ada terdengar pedagang bakso meneriakkan dagangannya. Tak ada terdengar pedagang kredit nagih utang. Semua terasa sepi. Lalu dengan langkah lungkrah dia berjalan terseok-seok masuk ke ksatrian.

Begitu Gatutkaca sampai di dalam, Siti Sendari sudah mencak-mencak minta diantar ke Wirata. Dia telah siap dua koper pakaian.

“Dik Gatutkaca ….  Kita tak boleh buang waktu lama-lama,” kata Siti Sendari ketika mobil mercy taiger yang ditumpangi mereka telah berada di jalan raya.

“Jangan kuatir mBak. Bersama saya anda aman.”

Kemelut tentang perkawinan Angkawajaya yang tak terus terang kepada bini-bininya itu, setelah Siti Sendari samapai di Wirata, ternyata bisa diselesaikan dengan gampang sekali oleh Prabu Sri Batara Kresna yang ternyata sudah mencium gelagat tak baik seperti itu bakal terjadi. Apalagi dia sebagai mertua Angkawijaya, semestinya yang paling duluan berang dan mencak-mencak. Tapi, nyatanya, dialah yang sangat mendukung perkawinan itu. Alasannya? Semua berlangsung berkat wangsit yang diterimanya dari Dewata.Sebab perkawinan Angkawijaya dengan Dewi Utari kelak bakal menurunkan raja-raja dan pemimpin militan yang siap memegang tugas meneruskan kejayaan dan kegemilangan para Pandawa. Hal ini juga sangat dibenarkan dan disetujui oleh Prabu Matswapati, raja Wirata yang berpandangan luas itu. Hanya yang disesalkan kenapa Angkawijaya mesti berbohong kepada Utari? Dan berani sumpah dengan gegapgembita? Padahal sumpah itu kelak yang akan mencelakan dia. Yah, akhirnya Cuma bisa pasrah kehendak Dewata. Sebab semua itu hasil skenario Dewata dan saya tentu saja, heh … heh … heh … he … he …!*****


Mohon Perhatian!
Dengan penuh kerendahan hati kami mohon pengertiannya agar tidak meng-copy-paste cerita yang termuat di blog ini kecuali seizin dari penerbit - kombatbuku@gmail.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment

Contact