by Darminto M Sudarmo
Demi Tuhan, izinkanlah aku bilang, bahwa
akulah anak yang paling bahagia di dunia ini. Umurku baru delapan belas tahun.
Tak punya kakak tak punya adik. Akulah si anak tunggal. Akulah yang menjadi raja
di rumah orang tuaku. Mereka terlalu sayang padaku. Mereka terlalu cinta
padaku. Karena aku anak tunggal. Karena aku anak yang punya tunggul
satu-satunya.
Orang tuaku kaya bukan kepalang. Punya
perusahaan uang, punya peternakan upeti, kerbau, dan belut. Bukan hanya di satu
tempat melainkan tersebar di berbagai tempat di samping sahamnya yang tertanam
di berbagai perusahaan di seluruh dunia. Ayah ibuku jelas masuk kategori orang
sibuk. Itu logis. Aku bisa memahaminya. Untuk bisa bertemu dengan mereka sebulan
sekali saja sudah termasuk karunia. Hari ini mungkin beliau ada di Amerika,
besok di Australia, besoknya lagi di Paris, bukanlah hal yang aneh. Itu semua
bisa kumaklumi. Sebagai anak tunggal aku tak ingin bersikap terlalu cengeng dan
kolokan. Aku berusaha untuk bisa berpikir sejauh-jauhnya. Toh daripada aku
larut dalam sikap kecengeng-cengengan, aku punya banyak peluang untuk
menyibukkan diri pada kegiatan yang bermanfaat.
Ada satu hal yang paling kusenangi dari
cara orang tuaku menunjukkan kasih sayangnya padaku. Di sela kesibukannya yang
luar biasa, beliau selalu mengirimkan rekaman video kepadaku. Rekaman tentang
ayah dan ibuku sendiri. Di situ ibu, terutama muncul dengan wajarnya yang
khusus berdialog denganku sambil menanyakan beberapa hal.
“Halo Dimas, bagaimana kesehatanmu? Kau
tentu baik-baik selalu bukan? Saat ini ayah ibumu tengah berada di London.
Bukan mengerjakan tugas-tugas yang berat, hanya menghadiri seminar tentang
dampak resesi ekonomi dunia terhadap tukang becak. Kau tahu bukan Dimas, ayah
ibu sangat kangen padamu. Tiga puluh lima hari kita belum sempat berjumpa kan?
Tapi kuharap kau juga selalu kangen pada ayah ibu. Beritamu yang kemarin
katanya kau juga tengah sibuk menekuni buku Mahabarata. Sudah selesaikah buku
tebal itu kau lahap nak? Yah, cerita wayang itu sarat dengan pelajaran ulah
budi luhur dan falsafah. Luas sekali wawasan yang dicapai. Ibu terharu sekali
nak dengan kegemaranmu. Kadang ibu juga merasa heran padamu. Kau lebih suka
belajar di rumah daripada melanjutkan kuliah. Tapi itu bukan masalah kalau
keinginanmu yang utama untuk selalu dibelikan buku-buku yang kau senangi tentu ibu tak berkeberatan.
Ibu yakin kau tentunya telah menemukan ke arah mana jalan yang bakal kau tuju.
Ayah ibu cuma mampu berdoa semoga Tuhan selalu memberikan sinar yang terang
kepadamu dan kepada kita sekalian. Oh ya ibu belum tanya, bagaimana dengan Mbok
Nah dan Pak Salim, adakah mereka selalu melayanimu dengan baik? Kami harap
demikian. Mereka orang-orang tua yang baik. Hormatilah mereka sebagai kau
menghormati kedua orang tuamu. Anggaplah jika ayah ibu tak di rumah,
penggantinya adalah mereka.”
“Hei Dimas! Kau tak boleh terlalu
keasyikkan membaca. Sesekali musti berolah raga. Agar tubuhmu tak
sakit-sakitan. Pagi-pagi sekali bangun lalu senam pagi sekedarnya atau
lari-lari keliling stadion, syukur pula kau sanggup berenang lima putaran.
Ibumu benar, kami sudah sangat rindu sekali kepadamu. Istirahat bulan depan ibu
bermaksud mengadakan acara unik buat kita. Nah kau siap-siap saja. Dan jangan lupa
sepulang ayah lusa, kau musti siap-siap, ayah mau nantang kau bermain karate.
Paham? Sekian ya nak, selamat belajar ……… Wassalam kedua orang tuamu.”
Tadi aku mengatakan kalau aku menjadi raja
di rumah orang tuaku. Apa sebabnya? Padahal aku benci yang namanya sikap
cengeng dan kolokan. Tentu saja raja yang kumaksud di sini adalah, raja yang
mempunyai kekuatan dan kekuasaan. Kekuatan dan kekuasaan yang kupunyai, mungkin
sekali jauh dari yang kau duga. Karena yang kumaksud kekuatan dan kekuasaan di
sini, yaitu kemampuanku menghalau dan mengusir rasa sepi yang menggigit. Rasa
tersendiri yang mengerikan. Tidak! Aku harus bangkit dari sikap semacam itu.
Kesibukan orang tua lalu dijadikan dalih buat kita melakukan
perbuatan-perbuatan terlarang. Hanyut dalam ganja, teler, minum-minuman keras,
atau melibatkan diri dalam kenakalan remaja yang lain. Itu salah satu sikap
kekanakan. Itu hasil dari sikap yang jauh dari agama dan kesenian. Tubuh selalu
dialiri darah panas dan dendam. Selalu mengutuk pada lingkungan dan diri
sendiri. Dan sikap itu kuanggap salah satu sikap yang sakit dan gagal.
Anak-anak muda yang karena besarnya fasilitas lalu memanfaatkan dan melarikan
diri pada kegiatan yang tak terpuji., adalah remaja yang kering dari imajinasi.
Mereka tak pernah menyentuh dan bersentuhan dengan budaya. Mereka tidak mau
menghargai waktu dan dirinya. Dan sekali
lagi aku merasa menang dari pengaruh semacam itu. Kemenangan ini kuanggap
sebagai kemenangan yang berarti. Dan aku berhak menjadi raja bagi
nafsu-nafsuku. Dan aku boleh berkata, akulah anak muda yang paling bahagia di
dunia ini.
Dua hari lagi orang tuaku datang. Tentu
saja saat menanti seperti sekarang ini merupakan saat yang mendebarkan dan
sekaligus mengasyikkan. Di samping aku segera ingin tahu acara apa yang bakal
ibu pertunjukkan padaku, aku juga selalu merindukan oleh-oleh yang dibawakan
beliau untukku. Buku-buku. Kuanggap aku cukup beruntung, dengan tidak masuk
kuliah ke perguruan tinggi, aku bisa kursus Bahasa Inggris secara intensif pada
seorang guru yang kualifait. Dan hasilnya aku sanggup membaca buku-buku dalam
edisi Bahasa Inggris. Setuju atau tidak dengan pendapatku ini, aku merasa lebih
cepat dan menyenangkan dengan belajar sendiri. Setelah aku merasakannya selama
hanya beberapa bulan. Tiba-tiba saja lalu terbetik satu tekad tertentu yang
belakangan ini selalu mengusik hatiku. Aku masih merasa was-was untuk
mengutarakan pada orang tuaku. Oleh sebab itu aku selalu menginginkan saat yang
tepat untuk bisa menyampaikannya dengan tepat. Dan kuanggap pada acara liburan
orang tuaku mendatang keinginan itu bisa disampaikan.
Hari yang kuidamkan sampai juga. Pagi-pagi
sekali ibu sudah bangun. Kami diajak pergi ke tebat.
“Acara hari ini adalah memancing.” kata
ibu.
Ayah bergegas menghampiri perahu. Lalu
mendayung ke arah kami. “Kenapa musti naik perahu Yah?” tanyaku.
“Di tengah banyak ikan bandeng. Dan lagi
memancing di atas perahu lebih mengasyikkan.”
Selesai memancing, kami membawa ikan ke
gubuk. Ikan-ikan itu kami balut dengan lumpur lalu kami bakar di atas perapian.
Ibu menyediakan bumbu-bumbu yang telah dipersiapkan. Tak ketinggalan
menggaraminya.
Siang hari kami menyantap hidangan unik itu
dengan penuh suka cita. Mulut kami nampak coreng-moreng kehitaman kena jelaga.
Tapi kami biarkan semuanya berlangsung secara alamiah.
“Acara semacam ini terkadang lebih nikmat
daripada menyantap hidangan di hotel-hotel mewah, yang segala-sesuatunya telah
tersedia.” kata ayah dengan mulut mencong ke kanan mencong ke kiri. Tambahan
lagi, coreng hitam di sekitar pipi dan keningnya kian tak beraturan lagi. Ibu
selalu terpingkal-pingkal menyaksikan itu semua.
Suasana telah mencapai klimaks. Kerinduan,
kebahagiaan telah tertumpah menjadi satu. Kini giliranku menyampaikan hasrat
hati yang sekian lama kupendam. Lalu dengan mantap semua keinginan itu
kusampaikan. Ayah mendelikkan matanya dengan sikap lucu. Dianggapnya aku cuma
bergurau. Ibu pun tak kalah terpingkal-pingkalnya.
“Yang benar Dimas, kau mau mengembara
keliling dunia dengan bekal seribu perak? Ha … ha … ha! Kau kira mengelilingi
dunia itu semudah menggerakkan khayalanmu?” tukas ayah sambil menelan daging
bandeng terakhir.
Ibu juga masih nampak tertawa. Aku cuma
tertunduk dengan sikap teguh.
“Kalau aku cuma hendak melucu, tentu tidak
kusampaikan dengan cara seserius ini Ayah. Buku-buku yang telah habis kubaca
telah membuka kemungkinan-kemungkinan di depan mata dengan jernih sejernih
mendung yang terkuak dihalau angin Timur. Aku telah melihat segala kemungkinan
yang membentang di depan mata. Kesempatan-kesempatan yang tak boleh kita tunggu
dan rindukan. Semuanya menuntut jerih-payah untuk mencapainya. Apa bedanya uang
sejuta dengan seribu jika jiwa kita takluk pada setiap rintangan. Aku memiliki
bekal yang jauh lebih berharga dari uang seribu perak. Lebih berharga dari uang
sejuta. Lebih berharga dari uang semilyard rupiah.”
“Stop …..! Stop …..! Bu lihat anak kita
bicaranya sudah seperti seorang sufi. Aku sungguh tak menduga acara rekreasi
ini akan berakhir demikian.”
“Jangan begitu Yah, kita beri kesempatan
Dimas mengungkap apa yang ada dalam hatinya. Bagaimana pun cara dia
mengutarakan dan menyampaikan. Malah kalau kupikir, jangan-jangan kita telah
ketinggalan jauh dari cara berpikirnya. Ingatlah, Yah buku-buku berat telah dia
telan dengan mudahnya. Sedang kita setiap harinya cuma kenal uang, money,
fulus, untung, rugi, laba, transaksi, resesi dan lain-lain. Kita tak sempat
menikmati, atau mengecap hal-hal di luar kerutinan bidang kita. Tentang
kebudayaan, kesenian dan lain-lainnya. Itu setidaknya harus Ayah perhitungkan.”
“Oh. Lalu?”
“Biarlah Dimas melanjutkan bicaranya……”
“Sudahlah Ayah, Ibu, yang jelas satu
keinginanku hanya itu. Ayah Ibu tak perlu malu seandainya dalam pengembaraanku
nanti aku musti mengalami jadi gelandangan, kuli angkut, tukang cuci piring di
restoran, atau buruh-buruh kasar lainnya. Ini kesempatan menguji kemampuanku
dalam sekolah yang sesungguhnya.”
“Tapi berapa lama kau akan menjalani hidup
semacam itu Dimas? Lalu apa artinya kami susah payah cari uang kalau bukan
untukmu kelak?”
“Ayah Ibu telah banyak berbuat baik dan
mendidik Dimas dengan sempurna. Itu jauh lebih berharga dari uang yang akan
Ayah Ibu wariskan. Tetapi bukan berarti aku bakal menolak warisan itu, bukan
sama sekali. Lamanya bepergian tak dapat kutentukan. Oleh karena itu Ayah Ibu
dapat mempercayakan semua urusan mengenai harta dan keuangan pada pengacara
Ayah. Ini seandainya ada apa-apa sebelum aku pulang dari perantauan.”
Ayah Ibu saling berpandangan. Aku kurang
tahu apa yang terpikir oleh mereka. Tetapi beberapa saat kemudian keduanya
segera menganggukkan kepala tanda setuju.
“Apa boleh buat Dimas, kami tak ada pilihan
lain. Kami sungguh tak menduga, kau telah seperkasa saat ini. Tapi
mudah-mudahan Tuhan melindungimu.”
Pagi-pagi buta dengan naik bis kota aku
jatuhkan pantatku di kursi bis yang sudah robek-robek. Aku mengambil
ancang-ancang rute lewat Barat. Kemudian menyusuri Pulau Sumatera. Menyeberang
ke Singapura, lalu terus ke Utara dan berkeliling lewat India ke arah Barat.
Selagi pikiranku dilanda keasyikkan yang tak
ada duanya, seseorang yang duduk tepat di sampingku, menekankan sebilah pisau
tepat di punggungku. Ujung pisau itu terasa bergerak mengerikan di balik baju
tipisku.
“Kalau kau ingin selamat, ikuti kami. Dua
orang temanku ada di belakangmu.” katanya dengan suara serak dan berat.
Pada sebuah halte bis kota berhenti. Orang
itu menusukkan sinar matanya tepat ke bola mataku, sambil bersikap mengancam.
Aku tak berkutik. Bagai kena sihir, aku menuruti dia turun. Sementara dua orang
lelaki yang lain, berkali-kali menekankan ujung jarinya ke punggungku.
Setiba di bawah salah seorang di antara
mereka segera memanggil taksi. Aku tak tahu hendak dibawa ke mana. Berkali-kali
salah seorang yang pertama kali mengancamku, mungkin ketua mereka, menekankan
ujung pisau belatinya sehingga membuat pikiranku melayang-layang.
Setelah melalui berbagai belokan dan
tikungan yang memusingkan kepalaku, taksi itu masuk ke sebuah bangunan kuno
yang masih terawat. Di dalam bangunan itulah tangan dan kakiku diikat. Semua
berlangsung dengan cepat. Tapi karena aku masih dilanda keheranan yang tak
kunjung terjawab, aku beranikan diri bertanya pada salah seorang di antara
mereka.
“Apa maksud kalian sesungguhnya? Aku tak
pernah berurusan dengan kalian, kenapa tiba-tiba mengancam dan kini menyandera
aku?”
Orang itu tertawa.
“Kau bisa ditukar dengan uang jutaan.
Paham?!”
Aku kini ganti tertawa. Sedikit meringis,
karena tali yang menjerat lenganku terasa sakit.
“Kalian keliru. Kepada siapa kalian mau
minta tebusan? Aku anak orang miskin.”
“Jangan ngaco. Tuan Brontoyudo itu ayahmu.
Dia termasuk jutawan di negeri ini. Itu semua orang tahu.”
Aku terkejap. Rasa letih tiba-tiba merayapi
sekujur tubuh. Lalu aku tertidur. Ketika aku bangun tiba-tiba aku seperti
mimpi. Karena begitu aku membuka mata, aku telah berada di kamar tidurku. Ayah
dan ibu menunggui di pinggir pembaringan dengan sedih. Tapi karena rasa ngantuk
masih merayapi dengan sempurnanya ke seluruh tubuh, aku biarkan mataku setengah
mengantuk setengah tertidur. Kupikir persoalannya telah beres. Tentu Ayah yang
telah menebusku pada ketiga penculik itu.
Namun selewat beberapa menit kemudian,
kudengar Ayah Ibu bertengkar di ruang sebelah.
“Mestinya Ayah tidak mengambil jalan
seperti itu. Kasihan Dimas. Memang mereka orang-orangmu juga, tapi kalau sampai
terjadi hal-hal yang di luar perkiraan kita, kan Dimas sendiri yang menderita.
Coba hampir sehari suntuk dia belum juga sadar. Kupikir mereka memberi bius
kelewat banyak.”
“Sudahlah, Bu. Ini semua juga demi Dimas.
Mana ada orang tua tega melihat anaknya disiksa. Tapi, tekad Dimas yang tanpa
perhitungan matang itu bisa jadi mendatangkan malapetaka baginya dan bagi kita.
Harapanku, pengalaman Dimas dengan kesulitan yang tak pernah dia bayangkan
sebelumnya itu, setidaknya bisa mengurangi niatnya.”
Tiba-tiba, entah mengapa aku seperti ingin
tertawa sepuas-puasnya. Memang, aku lalu tertawa segelak-gelaknya. Tapi itu
cuma mampu kulakukan dalam hati. Karena aku pun tak tega melakukannya di depan
orang tuaku.***
Dengan penuh kerendahan hati kami mohon pengertiannya agar tidak meng-copy-paste cerita yang termuat di blog ini kecuali seizin dari penerbit - kombatbuku@gmail.com
0 comments:
Post a Comment