Penipu Tertipu


by Darminto M Sudarmo
 
Pulang kuliah dua saudara kembar, Ditya Kalasrenggi dan Ditya Srenggisrana langsung menghadap ibunya dengan sikap uring-uringan. Tas dan buku yang mereka bawa, dilempar di sembarang tempat. Sepatu yang mereka pakai, terlebih dulu mereka benamkan ke dalam got lalu diinjak-injakkan ke kasur yang bersprei putih. Bajunya pun juga dirobek-robek menjadi serpihan-serpihan. Beberapa kaca jendela dan genting rumah juga mereka pecahkan, hingga menjadi puing-puing yang tak mengenakkan hati.

Sang ibu yang penyabar, menyaksikan tingkah kedua putranya yang kembar itu dengan pandangan heran bercampur kaget. Kedua putranya itu memang sering marah dan membuat ulah yang berlebihan, tapi ulah mereka kali ini sungguh di luar dugaannya. Tapi karena Nyonya Jatagini tak bisa berbuat lain, maka salah satu sikap yang diperbuatnya tak lain dan tak bukan selain menangis. Menangis dan menangis!

Kalasrenggi dan Srenggisrana dengan bersilang kaki muka tegang, wajah garang, otot-otot bertonjolan, lalu mulai menjatuhkan pertanyaan beruntun yang membuat ibunya seperti kejepit besi berton-ton.

“Inilah hasilnya gara-gara Ibu selalu merahasiakan kenyataan yang ada pada kita. Kami berdua mendapat malu besar tadi pagi. Sungguh malu besar!” keduanya mengumpat sambil menangis.

“Anakku, ada perkara apa? Datang-datang kau bikin kejutan sehebat ini?”

“Ibu tidak tahu, kami berdua dapat malu besar!”

“Iya, katakanlah nak.”

“Kedua pacar kami tiba-tiba memutuskan hubungan.”

“Maksud kalian Si Else dan Si Nini?”

“Betuuuuuul!”

“Mereka tak melakukan itu seandainya tak ada sebab-sebab atau alasan yang sangat mendasar.”         

“Justru itu! Justru itu Bu! Ibu tidak tahu betapa kami mendapat kesulitan besar!”

“Cobalah kalian ceriterakan dengan jelas, agar ibu bisa memahami kesulitanmu.”

Kalasrenggi sebagai kakak mengambil inisiatif sebagai pembicara. Dadanya masih turun naik. Berkali-kali dia mengambil nafas dalam-dalam. Betapa sakit rasa hati, harus berpisah dengan kekasih tercinta. Betapa dunia ini tiba-tiba menjadi gelap, segelap Luweng Ombo. Harapan terbang bersama hembusan angin malam yang bisu dan kelabu. Kalasrenggi yang nampak agak dewasa mulai membuka suara.

“Begini Bu, secara tak sengaja, ketika kami berempat tengah belajar, bersama-sama di taman kampus, tak kami sangka kami terlibat perdebatan yang sengit. Perdebatan itu berlanjut menjadi saling ejek mengejek. Lalu kami katakan padanya kalau mereka gadis-gadis centil, ganjen, dan brengsek. Padahal maksud kami hanyalah bergurau.Tapi mereka marah besar. Besar sekali! Maka mereka lalu menyerang kami lebih sengkring. Balasannya sungguh di luar dugaan kami. Karena mereka mengatakan dengan serius, bahwa kami berdua adalah haram. Anak jadah! Tak punya ayah. Bahkan mereka bilang, bahwa ibu kami jauh lebih genit, lebih centil, lebih brengsek dari mereka. Otomatis kami bereaksi tak kalah kerasnya. Aku tampar si Else. Adik Srenggisrana menampar si Nini. Kami sungguh menyesal! Karena mereka dengan lebih berani lalu langsung memutuskan hubungan. Saat itu juga di bawah tertawaan kawan-kawan dan para dosen yang sempat melihat pertikaian yang amat prive itu, Si Else dan Nini berlalu dengan gagahnya dari kami. Sementara kami termangu-mangu menyesali apa yang telah terjadi. Sesungguhnya kami tak akan seemosi itu seandainya Ibu mau cerita terus terang perihal Ayah. Betulkah Ibu melahirkan kami tanpa suami yang sah? Betulkah Ibu seorang wanita yang genit, ganjen, dan brengsek seperti yang disangka orang selama ini? Jawab Bu. Jawablah Bu, biar kami puas mendengarnya. Biar kami tahu kenyataan dengan sesungguhnya. Ibu tak usah malu dan takut-takut lalu menutupi kenyataan. Kalau Ibu sampai melakukan itu, berarti Ibu tak sayang kami dan Ibu jangan menyesal kalau saya dan adik tak akan menaruh hormat pada Ibu lagi. Nah Bu, kami menunggu. Berceriteralah ….. jawablah pertanyaan kami.”

Kalasrenggi mengakhiri kata-katanya dengan deraian air mata seorang anak di depan ibunya. Sementara Srenggisrana menatap dengan tak berkedip reaksi yang muncul di wajah ibunya. Saat itu Srenggisrana merasa kecil di hadapan ibunya, karena dia melihat betapa sang ibu masih nampak kukuh dan perkasa. Bahkan tak setetes air mata pun berguling dari sudut matanya. Bahkan tak seinci emosi bergerak dari pori-pori darahnya. Nyonya Jatagini nampak begitu tenang, setenang air danau. Lalu dia diam untuk beberapa jurus lamanya. Menghela nafas berulang-ulang. Dia tatap mata kedua putranya dengan pancaran seorang ibu, teduh dan penuh kasih.

“Anakku, dengarlah ibu mau bercerita. Dua puluh tahun yang lewat, ada seorang gadis. Gadis itu bernama Jatagini. Sang gadis punya kakak laki-laki yang bernama Jatayeksa. Kedua kakak beradik itu berwajah buruk. Sebab mereka adalah keturunan raksasa. Entah kehendak dewata, atau memang garisnya takdir yang tak bisa ditolak. Pada malam yang bersamaan itu, Si Pemuda bermimpi jumpa dan berkasih-kasihan dengan seorang putri cantik bernama Dewi Kuntulwilanten dari negeri Slagaima. Sedang sang gadis bermimpi jumpa dan berkasih-kasihan dengan seorang satria tampan Raden Arjuna, dari Madukara. Si pemuda mengira bahwa putri cantik itulah yang akan jadi jodohnya, sebab mimpi itu dia tafsirkan sebagai petunjuk dari dewata. Demikian pula halnya si gadis itu menyangka bahwa Arjuna juga sebagai calon jodohnya. Kedua kakak beradik itu tidak saling bercerita lalu pergi mencari jodohnya masing-masing. Yang satu ke Timur yang satu pergi ke Barat. Dan keduanya pun juga tidak tahu bahwa kedua orang yang mereka cari yaitu Dewi Kuntulwilanten dan Arjuna, adalah sepasang suami istri

Pengembaraan si gadis masuk hutan keluar hutan, turun jurang naik tebing. Tak terasa perjalanan yang ditempuhnya melewati berbagai rintangan dan belokan. Hingga pada suatu hari gadis itu berjumpa dengan seorang putri cantik yang baru saja pulang mandi dari telaga taman kerajaan Slagaima. Putri cantik itu sempat memperkenalkan diri, tahulah dia bahwa putri itu adalah Dewi Kuntulwilanten sendiri. Akhirnya pula, karena gadis Jatagini tak kuat menahan gelora hatinya dia utarakan terus terang isi hatinya kepada sang Dewi. Dewi itu mendengarkan dengan tenang semuanya, bahkan akhirnya, meskipun suaminya dikehendaki orang lain dia bukannya marah melainkan malah turut membantu si Jatagini. Menurut saran Dewi kalau ingin diperistri Arjuna wajah si gadis musti dipercantik dulu. Lalu si gadis didandani sedemikian rupa hingga menjadi seorang dewi yang cantik molek. Malah mirip sekali dengan Dewi sendiri. Kemudian si gadis melanjutkan perjalanan ke Madukara, ke tempat Arjuna berada.

Di tengah perjalanan si gadis berjumpa dengan seorang satria tampan. Lalu sang gadis bertanya, ternyata satria itu adalah Arjuna. Tanpa ragu-ragu si gadis mengutarakan isi hatinya. Di luar dugaan satria itu juga bermaksud sama. Dia juga sudah lama merindukan sang dewi. Arjuna dan dewi itu kemudian segera menikah di catatan sipil. Keduanya pun segera berbulan madu ke mana-mana. Satu tahun kemudian  dewi melahirkan dua orang anak kembar. Laki-laki. Yang membuat keduanya kaget setengah mati, dan juga para juru rawat di runah sakit, kedua anak kembar itu ternyata berupa raksasa. Padahal ayah ibunya mulus. Cantik dan tampan. Karena tak tahan, Arjuna itu menarik istrinya ke kamar dan mengatakan dengan penuh penyesalan, bahwa sesungguhnya dia itu bukan Arjuna sungguh-sungguh melainkan Jatayeksa, raja muda raksasa dari negara Guwa Selamangleng. Yang berarti juga kakak Jatagini. Setelah dia membuat pengakuan, tiba-tiba berubahlah wujudnya menjadi Jatayeksa. Dewi itu kaget setengah mati. Dia pun berteriak-teriak histeris, dan tak berapa lama kemudian berubahlah wujud sang dewi menjadi raksasa wanita Jatagini. Jatayeksa lebih kaget lagi. Dia lalu menceriterakan riwayatnya ketika bertemu Arjuna. Ternyata mirip dengan pengalaman Jatagini. Kedua kakak beradik itu berpelukan dengan hati hancur dan pilu, bercampur sekian rasa berdosa yang tak terampunkan,. Ternyata mereka berdua telah tertipu mentah-mentah siasat Dewi Kuntulwilanten dan Arjuna. Maka sejak saat itu Jatayeksa bersumpah hendak membunuh Arjuna. Berangkatlah dia ke Madukara. Sayang sekali, usahanya untuk membunuh satria tampan dan maha sakti itu tak tercapai, karena dia dengan mudah dapat dikalahkan oleh Arjuna, bahkan yang pulang ke negeri Guwa Selamangleng cuma namanya. Tubuhnya telah membusuk di ujung panah Arjuna.

Jatagini tetap merawat kedua anak kembar itu hingga besar. Kendati bagaimana dia tetap menyayang anaknya karena, dia memang tak bisa mengelakkan diri dari takdir yang Maha Adil. Tahukan kalian siapakah Jatagini itu?

Kalasrenggi dan Srenggisrana termangu-mangu penuh penyesalan. Mereka baru kini bisa memahami persoalannya. Tetapi setelah sejenak mereka berpikir-pikir dan menimbang-nimbang, tahulah betapa besar dan jauh lebih banyak aib serta penderitaan yang ditanggung oleh ibunya. Dan setelah pikirtan mereka terpusat pada seorang satria yang bernama Arjuna, yang telah mengukirkan sekian penderitaan bagi Ibu, Pak De (sekaligus ayahnya) dan diri mereka sendiri, menggelegaklah kemarahannya. Keduanya bersumpah hendak membunuh Arjuna. Tapi sayang seribu kali sayang, keduanya pun belum tandingan Arjuna. Karena dendam yang membara itu cuma bisa mengantarkan nyawanya ke ujung panah Arjuna.*****


Mohon Perhatian!
Dengan penuh kerendahan hati kami mohon pengertiannya agar tidak meng-copy-paste cerita yang termuat di blog ini kecuali seizin dari penerbit - kombatbuku@gmail.com

 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment

Contact