Guru dan Murid


by Darminto M Sudarmo

SEBAGAI guru muda yang masih bujangan, saya merasa tak bisa membohongi diri. Saya telah tejerat benang asmara pada salah seorang siswi; murid saya sendiri. Anak itu cantik dan manis dengan rambut menggerai sebatas bahu. Kulitnya kuning dan halus dengan tinggi badan yang amat serasi. Dan lagi, sinar matanya itu! Sering saya lihat menerawang jauh seraya mengerutkan alis dan memancarkan gelombang perasaan yang sulit diterka. Saya sering menghela nafas jika mengingatnya dalam keadaan demikian.

            Seharusnya saya tahu diri. Dia masih ingin dibawa larut dalam alam kebocahannya. Masa keremajaannya. Jauh tak pantas jika disentuh benang-benang asmara. Belum lebih dari kelas dua sekolah lanjutan pertama. Ah, tapi…segala yang ada padanya nyaris merebut simpatiku. Tulisannya yang rapi dan tegas. Tingkah lakunya yang sopan dan budi bahasanya yang halus. Ketenangan sikapnya dibanding remaja seusianya; setidaknya sebuah gambaran tentang seorang wanita yang kuidamkan menjadi pendamping hidup, cukup sudah. Namun mungkinkah idaman saya ini menjadi kenyataan?
            Jauh sebelum saya bertugas di tempat saya mengajar sekarang saya telah terikat dengan seorang gadis yang hingga kini resmi menjadi kekasih saya. Tetapi karena tempat kami berjauhan, maka pertemuan dengan kekasih paling cepat sebulan sekali. Itu pun jika tak ada halangan yang mungkin saja muncul sewaktu-waktu. Dan sebagai gantinya, kami hanya bisa memupus rindu lewat surat. Ati, kekasih saya, tinggal dan bekerja di kota A, sedangkan saya tingga dan bekerja di kota G. Jarak ini mestinya dapat ditempuh dengan kendaraan umum tak lebih dari tujuh jam; namun kenyataannya, saya hanya dapat mengunjunginya paling banter sebulan sekali.
            Keterlaluankah?
            Kurasa tidak! Seandainya sebagai seorang guru saya bisa sedikit berkantung “gemuk”, tujuh jam perjalanan tentu bukan hal yang harus membuat kening saya berkerut.
            “Apa kabar Mas Yanto?” sambut Ati setiap saya berkunjung ke rumahnya. Senyumnya selalu tersungging dengan sinar mata berusaha menyembunyikan kerinduannya. Pada saat demikian, saya lebih sering menatapnya dengan perasaan luruh. Ati seorang gadis penyabar. Selalu berusaha memahami leadaan saya, tetapi saya selalu merasa bersalah. Karena sebagai kekasih saya belum pernah menjanjikan pengharapan padanya. Padahal usia, telah secara pelan-pelan tapi pasti, menggerogoti kami. Tiga tahun, bukan waktu pendek untuk hubungan yang telah kami jalin. Dan saya sebagai guru yang berpangkat calon pegawai, membayangkan sebuah perkawinan bagai dunia yang penuh tanda tanya. Jika ingat kenyataan ini, saya sering membuat gurauan padanya meskipun hati cukup getir.
            “Ati, ,,,, mestinya pernyataan cintaku dulu kau tolak agar kau tak terombang-ambing oleh kebimbangan dan ketakutan sebagaimana yang kau tulis di suratmu. Hidupku pas-pasan; bahkan seringkali justru kekurangan. Di kota tempatku bertugas, segalanya serba lebih mahal daripada di sini. Dan lagi….aku tak berbakat jadi orang kaya.”
            “Apalagi Mas Yanto Cuma golongan dua A. Iya, kan?” Lalu ia mengambil sebuah majalah dan memukulkannya ke punggungku. Hanya itu saja hubungan yang berlangsung di antara kami. Saya berkunjung ke rumahnya. Duduk-duduk di teras, lalu kami ngobrol. Lalu setelah agak larut, saya pamit pulang. Lalu saya menunggu sebulan lagi. Lalu saya menyalahkan diri lagi, menyalahkan lagi. Saya tak pernah mengajaknya nonton bioskop, menraktirnya makan di restoran, membelikan majalah atau buku-buku yang disenanginya. Saya juga tak pernah memberinya hadiah di hari ulang tahunya. Lalu, apakah saya pantas disebut seorang kekasih? Seorang laki-laki?
            “Dan yang lebih membuat hati makin ciut, saya tak akan memberikan sesuatu padamu kalau itu hanya sekedar impian!” kataku lagi kepadanya. Tapi itu hanya terlontar dalam hati. Dan Ati hanya berusaha menebak-nebak makna sinar mataku. Aku meremas jemarinya dengan perasaan prihatin. Kehidupan memang sedang menantang kami. Lalu saya bercerita tentang sepasang suami istri yang hidupnya melarat dari cerpen O Henry. Ati menatap ke mulut saya dengan pandangan ternganga. Dan ia mengangguk sebagai tanda setuju pada jalan cerita yang dirangkai O Henry itu, ketika saya selelsai bercerita.
            “Cerita yang baik, mestinya demikian Mas, mengajak pembaca berpikir jernih tentang kehidupan. Sungguh aku setuju sekali dengan konsep yang dipaparkan secara tersirat oleh O Henry itu,” katanya bersemangat.
            “Lalu cerita yang tak baik itu seperti apa, sih?”
            “Jangan memancing perdebatan, lho. Bagiku, cerita yang tak baik, tentu saja yang …gimana, ya? Ah, sulit aku mengatakannya Mas. Tapi aku bisa membedakannya, mana yang baik dan tidak. Semua itu terasa sekali. Dan…jangan suruh aku mengatakannya.”
            Pembicaraan kami pun berlangsung hingga larut. Saya lalu pamit pulang. Saya cuma mengelus bahunya. Tidak lebih dari itu. Dan saya belum pernah sekalipun mencium pipinya. Apa lagi yang lain. Saya membayangkan, kisah kami ini bagaikan sepasang remaja kolot yang hidup di zaman free sex dan free love merajalela. Tapi kami tak pernah menyesalkan apa yang secara tak langsung telah menjadi konsensus tak tertulis itu. Saya tak pernah merasa harus memprotes dan dia tak pernah merasa harus memprotes pula. Tetapi jika sesekali saya teringat adegan-adegan film remaja masa kini, saya lalu tertawa sendiri. Barangkali saja kami berdua masih sama-sama bloon. Ah, peduli amat. Cinta mereka, cinta mereka. Cinta kami, cinta kami.Dan kebahagiaan tak dapat diukur dari kaca mata orang lain.

*


            PUKUL empat sore, ketika saya asyik membaca koran, datang seorang gadis. Menyampaikan surat.
            “Surat apa ini, Dik?”
            “Dari Ayah, Pak. Adik saya, Fitri, sakit demam. Besok pagi tak dapat masuk sekolah. Kami mengharap agar diberi izin. Bapak wali kelasnya, kan?” gadis yang memperkenalkan diri sebagai kakak Fitri , tampak lebih lincah ; dia pun mengambil tempat duduk sebelum saya persilakan. Lalu mengambil koran yang baru saja saya baca, sementara saya membuka surat izin.
            “Sejak kapan sakitnya?”
            “Tadi siang sepulang dari sekolah. Fitri memang sering sakit-sakitan. Dia tak gemar berolahraga. Tiap hari kerjanya membaca melulu. Paling kalau lagi mau, sesore penuh dia menyiram bunga di sekitar rumah.”
            “Sudah dibawa ke dokter?”
            “Ah, kurasa tak perlu, Pak. Dia cuma butuh istirahat yang cukup. Sesudah itu, sembuh dengan sendirinya.”
            Ketika waktu sudah menginjak senja, gadis itu pamit pulang. Tapi sedikit dia meninggalkan pertanyaan.
            “Pak, sayasering menjumpai kesulitan bahasa Inggris, boleh kami; saya dan Fitri ambil kursus privat? Kata Ayah, kalau Bapak bersedia, Ayah sangat berterimakasih.”
            “Waktunya?”
            “Terserah Bapak sajalah.”
            “Baik. Tapi beri saya waktu untuk mempertimbangkannya.”
            Sudah dua hari Fitri ternyata belum masuk sekolah. Tak ada kabar menyusul pula. Padahal izinnya cuma sehari. Sore hari itu, saya berkunjung ke rumah orang tua Fitri, sekaligus memberi jawaban tentang jadwal kursus bahasa Inggris.
            Fitri terbaring dengan tubuh yang amat lemah. Kelopak matanya tampak sedikit lebih cekung. Kamar Fitri bercat biru muda, memberi kesan luas. Di dinding hanya tergantung dua lukisan repro; keduanya melukiskan seorang ibu yang sedang memangku anaknya. Suasananya teduh. Di dekat meja belajarnya, berjajar buku-buku bagus yang teratur rapi. Fitri menatap kedatangan saya dengan senyuman lebar dan sinar matanya berkaca-kaca.
            “Selamat sore Pak Yanto…” sapanya sambil berusaha bangkit.
            “Selamat sore. Sudahlah jangan tertalu banyak bergerak. Bagaimana dengan sakitmu, sudah banyak, eh, maksud saya, kesehatanmu sudah mengalami banyak kemajuan?”
            “Lumayan Pak.” Fitri meraih tangan saya dan menggenggamnya erat-erat. “Pak, kebetulan sekali Pak Yanto mau singgah kemari ke mari. Fitri sudah lama sekali ingin mengadu kepada Bapak.”
            “Mengadu? Mengadu tentang apa pula?”
            “Beberapa hari ini pikiran Fitri terasa kalut. Fitri sering merasa sedih sekali. Fitri tidak tahu sebabnya.”
            “Kenapa Fitri?”
            “Fitri sering teringat mendiang Ibu. Tapi setiap Fitri sehabis sembahyang sering berdoa dan mengadu kepada Ibu; tapi Pak, Kak Laela sering mengolok-olok Fitri dan mengatakan anak cengeng. Fitri sedih sekali. Lalu Fitri jatuh sakit.”
            “O…o…o. Lalu, kau mestinya tahu kira-kira sebabnya apa kau jadi mudah teringat ibumu yang sudah lama meninggal?”
            Fitri berusaha mengambil sesuatu dari bawah tempat tidur; kemudian menunjukkan beberapa kertas biru muda yang ditulis rapi sekali.
            “Fitri sedih dan bingung karena gangguan ini, Pak.”
            Saya meneliti dengan cermat. Dada saya, enatah kenapa tiba-tiba ikut berdegup.
            “Surat-surat cinta? Dari siapa Fitri?”
            “Dua orang teman sekelas. Tiga lainnya anak-anak kelas tiga.”
            “Hah! Bukankah kalian masih kanak-kanak?”
            “Itulah sebabnya Pak. Saya takut menyakiti hati mereka dan sangat bingung bagaimana harus berbuat.  Mereka semua mengharapkan balasan dan kesediaan saya . Pak, tolong…Pak, saya sungguh bingung dan sama sekali belum menghendaki hal ini terjadi atas diri saya. Cita-cita saya masih jauh. Saya ingin menaruh perhatian pada pelajaran dulu.” Lalu Fitri menangis dan genggamannya semakin erat.
            “Sudahlah Fitri, itu perkara mudah. Besok kau berangkat seperti biasa. Kau jangan bersikap lain pada mereka. Kau harus tetap baik.
            “Tapi Pak, kalau mereka selalu mendesak?”
            Entah kenapa , saya tiba-tiba tertawa lepas-lepas.
            “Kenapa mesti bingung? Katakan pada mereka , saya mau pacaran kalau sudah menjadi dokter.”
            Fitri terdiam, menyeka air matanya.
            “Tapi Pak, saya kepingin jadi guru.”
            “Yah, katakana saja, saya mau pacaran kalau sudah jadi guru. Gampang, toh?”
            Fitri tersenyum cerah. Lalu melempar selimut dan bergegas ke belakang.
            “Saya mau bikin minuman untuk Pak Guru.”
            “Jadi kau tidak sakit, Fitri?”
            Sambil berlari Fitri menjawab, “Sekarang sudah sembuh.”
            “Hmmmmm….”
 
*
           
             MALAM harinya saya pulang dengan setumpuk tanda tanya. Tidak jauh-jauh, tanda tanya untuk diri saya sendiri.  Belakangan ini, bayangan Ati selalu muncul dengan gencar. Begitu juga, bayangan Fitri pun selalu muncul dengan gencar. Ati muncul dengan kesabaran dan kebaikannya. Fitri muncul sebagai anak manis yang menyenangkan dan mendebarkan. Saya harus berjalan ke mana? Cinta, kasih sayang, seperti inikah?
            Keduanya sama-sama menjerat dan menyita perhatian. Keduanya selalu meluruhkan. Tapi belakangan ini pula perhatian saya sedikit tercurah lebih banyak pada kursus. Kehadiran Fitri dan kakaknya di ruang tempat kursus, tempat saya mengajar, adalah kehadiran dua orang gadis  kakak beradik yang selalu ingin berlomba. Keduanya memiliki otak dan daya tangkap yang mengagumkan. Keduanya sama-sama pintar.
            Saya jadi sedikit lega; ternyata perhatian Fitri pada ilmu pengetahuan, bahasa, dan segala yang bersangkut paut dengan ilmu, sangat besar. Itulah yang membuat dia sedikit tampak lebih dewasa dari anak gadis seusianya, barangkali. Dia selalu tampak asyik pada hal-hal demikian, sehingga kekhawatiran saya tentang ikatan yang terjalin antara guru dan murid tidak terlalu berlebihan. Meskipun kenyataannya, tetap ada rasa ketergantungan tertentu yang kian memberat.
            Maka, suatu ketika, saya telah bertekad menentukan sikap untuk sesegera mungkin bertunangan dengan Ati. Barangkali penyelesaian ini menjernihkan kerisauan yang seringkali mengganggu pikiran saya. Kenyataannya memang demikian. Saya berharap agar Fitri  memandang saya sebagai gurunya. Tidak lebih dari itu. Dan ketika undangan pertunangan itu saya sampaikan padanya dia menyambut dengan gembira dan bernjanji pasti hadir. Tapi sesudah mengucapkan kata itu, saya menangkap cahaya  matanya yang bersinar amat lain. Saya kemudian membujuk agar dia rajin belajar supaya cita-citanya menjadi guru segera terwujud. Tapi jawabnya kemudian, “Mungkin juga saya belum tentu jadi guru, Pak.”*****



Mohon Perhatian!
Dengan penuh kerendahan hati kami mohon pengertiannya agar tidak meng-copy-paste cerita yang termuat di blog ini kecuali seizin dari penerbit - kombatbuku@gmail.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment

Contact