by Darminto M Sudarmo
Seorang
gelandangan tua berjalan terseok-seok sambil membawa sebuah bungkusan besar.
Tak ada yang tahu apa isi bungkusan itu (selain saya yang membuat cerita).
Wajahnya keruh, mulutnya berkali-kali mengucapkan kata-kata : Masya Allah….
Hampir tak terhitung lagi. Sebelah tangannya yang memegang tongkat dengan
gemetaran itu, berlelehan keringat panas dingin yang telah membasahi sebagian
lengan bajunya yang telah robek dan bertambal sulam.
Di dekat tikungan ada sebuah pohon
besar dan teduh, lelaki itu bergegas dan meletakkan bungkusan besar di bawah
pohon. Cukup melelahkan juga menempuh jarak dua kilo meter dengan berjalan
kaki. Belum habis dia menghirup udara siang yang kelewat terik itu, seorang
wanita cantik mendekatinya. Lelaki itu semula kaget, tapi kemudian dia menarik
nafas, ketika menyaksikan bagaimana wanita itu berdandan.
“Tak salah lagi….bapak tentu Pak Kasim ya….? Lurah Desa Gede Sahuwat
sini kan…?
Lelaki itu bengong.
“Alaaa….kenapa sih Pak pura-pura lupa….?”
Wanita itu membuka dompet, lalu mengeluarkan lipstik dan memolesi
bibirnya agar nampak bergairah.
Lelaki itu masih bengong.
“Seharusnya Bapak tidak bisa melupakan kenangan malam itu….ya, malam
itu.” Wanita itu tertawa cekikikan. “Bapak memang jempolan. Bapak hebat
deh….dan Mas Marno…ooh, dia telah meninggalkan aku kini. Hi….hi…..hi….dia cemburu,….dia
cemburu sama…..bapaknya sendiri hi….hi…..lelaki muda, tampan, sudah sarjana,
tapi bloon kayak Jojon hi….hi…..hi. nah, kini seharusnya bapak tidak usah risau
dan malu-malu lagi. Come on sir, you are my darling clementain.
Hi….hi…..hi…..ai lap yu…..” Wanita itu meninggalkannya sambil menari-nari
sepanjang jalan. Sesekali terdengar juga dia berteriak: Jangannnn! Jangannnn!
Oh… lalu menangis tersedu-sedu.
Gelandangan tua itu mengeluarkan bungkus plastik yang berisi
tembakau dan kertas sigaret. Dia berkali-kali menarik napas berat. Dadanya
berasa sesak sewaktu, asap rokok itu menyentuh paru-parunya. Kali ini pun dia
dikejutkan lagi oleh sebuah hiruk-pikuk dari dua orang perempuan yang cekcok
sepanjang jalan. Lelaki itu memasang telinga.
“Warni, mestinya kau tidak begitu. Lelaki toh tidak hanya satu. Kau
sungguh tega merebut dia dari sisiku….” Seru perempuan yang lebih tua.
“Tapi Mbak, aku mencintainya….sungguh mati aku tidak main-main. Aku
selalu merindukannya….”
“Gila kau Warni…..! Dia sudah punya istri. Aku ini istrinya, aku
kakakmu sendiri.”
“Tapi Mbak Ayu toh istri ke sembilan…..”
“Memang kalau istri kesembilan kenapa…..?”
“Apa salahnya kelak aku dijadikan istri ke sepuluh…..”
Perempuan yang lebih tua memekik.
“Kau sudah gila Warni. Kau sudah gila….!!!”
“Tidak! Aku masih waras!!” Kilah adiknya tak kalah sengit.
Sang kakak menampar adiknya. Menampar pipinya. Adiknya diam saja.
Yang lebih tua kian gemas, dia jambak rambutnya kuat-kuat. Tapi si adik tak
pernah menampakkan wajah takut atau menyesal. Dia tetap tenang-tenang saja.
Setelah puas menengkari adiknya, perempuan yang lebih tua itu menangis
terbata-bata. Si adik menghampiri sambil tersenyum.
“Mbak….aku sudah hamil empat bulan….”
Kemudian kakak beradik itu lalu berpelukan. Kemudian berlalu dari
tempat itu. Lelaki tua yang sempat mendengar dan menyaksikan jalannya episode
itu lagi-lagi cuma bisa menarik nafas.
Matahari agak condong ke barat, ketika lelaki tua itu melanjutkan
perjalanannya. Di teras sebuah kedai yang paling besar di daerah itu, gelandangan
tua yang tak pernah ngomong itu melepaskan lelah sambil menyantap sepincuk nasi
berkuah. Lima belas meter dari tempatnya bersantai, dia mendengar keributan
lagi. Seorang suami mengajar habis-habisan istrinya yang molig dan cantiknya
seumur hidup. Suami itu menggelandang istrinya dengan darah terbakar.
“Keparat…..! Kalau kau tidak mau mengatakan laki-laki yang
menidurimu kemarin malam…..kubunuh sekarang juga. Ayo cepat! Biar semua rakyat
yang berkerumun mendengarnya. Ayo manisku, istriku tercinta….siapa lelaki
itu…..?!!”
Wanita itu cuma menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Bahunya berguncang-guncang menahan tangis yang tak sanggup dia keluarkan.
“Cepat katakan…..!!!” Teriak suaminya dengan geram tertahan wajahnya
merah, otot-ototnya menonjol. Urat lehernya serasa akan keluar. Tetapi wanita
itu tetap bertahan dalam kebisuannya. Beberapa saat suami itu menunggu suara
keluar dari mulut istrinya. Tetap tak ada suara, orang yang berkerumun
menyaksikan peristiwa itu diliputi ketegangan yang memuncak. Akhirnya :
“Plak! Plak! Plak! Plak!!!”
“Ughhhhh….!” Wanita itu tersungkur pingsan.
“Istriku….!!!!” Teriak si suami, lalu meletakkan kepala wanita itu
di atas pangkuannya. Dia memberi isyarat kepada salah seorang yang berkerumun
membuat lingkaran. Tak lama kemudian seseorang membawa segelas air putih menuju
ke arah lelaki itu. Ketika si istri sudah siuman kembali, lelaki itu mencoba
membujuk dengan lemah lembut. Mungkin saja di kepalanya sudah tak ada setan
bertengger, meskipun rasa sakit telah menggerogoti ulu hatinya.
“Istriku….. cobalah, katakan dengan terus terang, aku akan berusaha
memahami persoalanmu. Bicaralah sayang…..siapa lelaki itu katakan saja, tak
perlu kau simpan dan sembunyikan.”
Si istri itu membuka matanya, lalu menatap mata suaminya dengan
sayu. Si suami menangkap isyarat istrinya lalu dia mengangguk.
“Lelaki itu…..Pak Kasim….Mas, ya, Pak Kasim Lurah desa kita.” Hampir
saja suami itu pingsan mendadak. Dia tatap muka istrinya dengan seribu perasaan
yang bergalau. Akhirnya tak sebuah suara pun sempat terdengar. Sepi. Lelaki itu
memapah istrinya dengan loyo kembali ke rumah. Desa itu seperti dicekam tirani
halus. Dan orang pun bubar dengan dada berisi sejuta persoalan yang berkecamuk.
Gelandangan tua yang tak pernah berpisah dengan bungkusan besarnya,
berjalan tersaruk-saruk. Sesaat dia menghilang dibalik gerumbul. Dia tengok
kanan kiri, tak ada seorang yang layak dicurigai. Dia keluarkan beberapa benda
yang selama ini disimpan dalam bungkusan besar itu. Sebuah tape recorder, walky
talky, kamera dan beberapa berkas catatan. Serta sepasang pakaian seragam yang
beratribut gemerlapan. Lelaki itu tersenyum sejenak. Dia copot kumis dan
jenggot palsunya. Dia copot semua yang serba palsu. Dari rambut hingga pakaian
dan apa saja yang dikenakannya.
Di depan Lurah Kasim yang terkesima menerima kunjungan seorang bapak
dengan amat sangat dan terlalu tiba-tiba itu, terdengarlah sebuah suara-suara
yang bagaikan jarum menusuk jantung. Setelah sang tamu memperdengarkan tape
recordernya yang istimewa itu, dia keluarkan pula beberapa lembar potret dari
kamera polaroidnya dan beberapa catatan yang perlu diketahui oleh Pak Lurah.
Dalam saat yang amat muskil itu Pak Lurah Gede Sahuwat merasakan dirinya
terbang ke langit dan menembus bumi tujuh lapis.
0 comments:
Post a Comment