Penglaris


by Darminto M Sudarmo


Engkoh Chui Lan Bhak Phao duduk menopang dagu dengan muka seguram sore itu yang hitam legam bak mendung mencaplok langit biru. Dahinya berkerut-kerut seperti ukiran Jepara kelas satu. Sinar matanya redup seperti minyak kehabisan pelita (eh, sumbu kehabisan minyak!). Pikirannya menerawang jauh, jauh sekali! Sang bini, Cik Lan Thang tak kalah gelapnya. Sehari penuh dia telah berhasil menyumbat mulutnya untuk tidak ngomong pada siapapun. Maka total kopral marsekal, sehari itu restoran yang sekaligus merangkap rumah tempat mereka berdagang berbagai macam minuman plus makanan, telah mencapai rekor tersepi di deretan restoran yang mangkal disitu. Tak seorang pun manusia nylempit jajan! Bayangkan? Buat diapakan tuh makanan masak segudang penuh?!
“Kalau wegini telus-telusan, jangan tanya lagi, owe pasti bisa wunuh dili mah!” kata suaminya membuka percakapan.
Sang bini tak bereaksi. Melengospun apalagi! Cemberut dan semakin kusut.
“Coba pikilkan! Owe udah keluar modal. Owe udah wanyak keluar duit! Tapi mana keuntungan? Mana labanya? Jangankan untung, kembali modal aja sulitnya nggak ketulungan. Aduh thian! Kalau wegini terus-terusan owe bisa bangklut! Hu…hu…hu…!” Engkoh Chui tak kuasa menahan kalutnya, sehingga diseling-seling sesambatnya yang menggunakan bahasa Indonesia versi Mandarin, dibumbui sedikit bahasa daerah, muncratlah air matanya seperti air terjun. Karena semakin lama menangis semakin banyak air keluar nerocos, maka sang jongos yang setia dengan gesit meraih mangkok bakso dan meletakkan di depan Engkoh Chui. Selang lima menit kemudian, penuhlah mangkok itu berisi air mata. Engkoh Chui tak menyadari itu, maka ketika selesai menangis dia merasakan tenggorokannya kering dan sangat haus. Kontan tanpa menunggu ha atau hi, dia comot mangkok itu dan diminum dengan penuh rasa segar. Sejenak dia merasakan sesuatu kemukjizatan. Perasaannya tiba-tiba sangat terang dan cemerlang! Oh! Owe tak seharusnya tak sesedih ini, ya owe tak seharusnya berlarut-larut dalam kesedihan ini. Owe, musti cari jalan keluar! Katanya dalam hati dengan penuh keyakinan.
Sementara itu Cik Lan ketika mengetahui suaminya telah berubah wajahnya, dan sering cengar-cemgir sendirian, tentu tak ada lain dugaannya. Bahwa Engkoh Chui telah jadi sakit ingatan. Oleh sebab itu ketika Engkoh Chui mendekatinya dengan sikap mesra, Cik Lan buru-buru mengelak dan penuh ketakutan.
“Mamah, aku telah menemukan jalan keluarnya mah!”
“Sebodo! Mau jalan keluar kek, mau jalan ke dalam kek, terserah kamu!”
Engkoh Chui kian mempermesra sikapnya. Cik Lan kian takut saja. Karenanya adegan di restoran itu jadi terlihat unik. Engkoh Chui mengejar istrinya untuk memberi pengertian, sementara Cik Lan semakin memperkencang larinya untuk menghindari suaminya, jangan-jangan akan mencelakai dirinya. Adegan kejar-mengejar kian seru. Sedang di pojok Mas Paijo dan Tukinem dua pembantu yang sama-sama konyolnya, cuma menyaksikan adegan itu seraya melempar senyum. Dan diam-diam mereka menyantap beberapa hidangan nikmat, yang dikuatirkan akan mubazir!
“Aneh Nem, kita bukannya ikut prihatin melihat tauke kita berantem dan dagangan sepi, tapi malah enak-enak nongkrong sambil memanfaatkan kesempitan di dalam kesempatan.”
Sambil mengunyah Tukinem menyahut.
“Itu urusan majikan. Urusan kita sebagai pembantu ya, pembantu. Pokoknya kamu jangan mengelak-elak, kita sambung lagi omongan tadi, kapan kau mau mengawini aku? Itu saja yang penting dan segera ingin kudengar pengakuanmu.”
“Kawin?”
“Iya dong! Kamu jangan main-main. Lihat nin, jari ini!”
“Apa lagi dengan jarimu?”
“Hitung tolol! Belagak bego aja kamu. Coba hitung!”
“Satu…dua…tiga….ya, tiga. Apa artinya tiga?”
“Apa artinya tiga?!! Kau sungguh bikin aku mau nagis aja! Tiga itu artinya tiga. Kita sudah tidak berdua lagi! Kita sudah bertiga. Ngerti nggak?!!” Tukinem meninggikan suaranya.
“Iya, aku ngerti, tapi siapa dong yang satunya itu?”
“Yang satunya ini monyong! Perut ini yang satu.”
“Iya aku juga tahu perut kamu memang satu.”
Tukinem marah bukan main, dia raih pisau daging, seraya mengancam dengan sengit.
“Pokoknya kalau kau tak mau mengawini aku, maka sekarang juga aku akan menghabisi nyawaku.” Tukinem berkelit, Paijo kaget bukan main, dia melompat mengejar.
“Tunggu Nem…! Nemmmm! Tunggu!”
Tukinem berlari, Paijo mengejar. Mereka kejar-kejaran di restoran itu juga. Sehingga menurut catatan data statistik, diruangan itu ada dua pasang manusia yang tengah mengadakan sebuah acara unik. Yang persis nampaknya tapi berbeda motifnya.
“Mamah…cobalah kau mengerti sedikit. Kendalikan amarahmu, jernihkan dulu kau punya otak.” Engkoh Chui berkata dengan nafas ngos-ngosan. Jantungnya berdegub laju.
“Alaaa banyak mulut doang! Biarkan aku sendiri, jangan ganggu…aku ngeri! Ngeri….!”
Dua sosok bayangan lain melingkar diantara mereka.
“Nem! Tunggulah Neem” kau harus bisa bersabar sedikit. Perkawinan itu bukan main-main. Kita harus punya bekal yang cukup…”
“Alaaa gombal! Bertele-tele! Kalau mau, mau. Kalau tidak, tidak! Kasih ketegasan dong, biar nyawaku nggak penasaran dan menkaut-nakuti kau terus. Ayo yang sportif dong!”
Perasaan Paijo seperti diaduk-aduk mendengar perkataan Tukinem. Sedih, cemas, tapi juga geli bergalau menjadi satu. Akhirnya dipuncak kesabarannya dia tubruk kuat-kuat bayangan Tukinem yang berkelebat didepan keningnya. Dan Auuuuu! Paijo menangkap sosok tubuh kuning langsat dan mulus. Hati Paijo agak tenteram karena tubuh yang dia tubruk itu tak berusaha mengelak.
Sementara itu, Engkoh Chui yang sudah tak sabaran lagi untuk memberitahukan rencananya mengenai program selanjutnya bisnis mereka, menjadi kian ambisi berdekat-dekat dengan bini tersayang. Dia tangkap dengan kedua tangan terbuka tubuh bininya yang semampai itu, dengan perasaan penuh kasih, ketika bayangan tubuh bininya berkelebat didepan bibirnya. Dan Auuu! Engkoh Chui menangkap sesosok tubuh hitam manis dan berambut panjang tergerai. Perasaannya pun menjadi kian tenteram karena tubuh yang dia tangkap tak berusaha mengelak. Apalagi protes!
Saat itu, antara Engkoh Chui dan Paijo tengah dilanda perasaan yang sama terhadap seorang wanita yang dicintainya. Akhirnya sebagai realisasi dari perasaan hati seorang Adam terhadap lawan jenisnya, mereka segera menumpahkan kerinduannya. Mempertemukan lip dengan lip dengan penuh perasaan bergairah. Konon menurut laporan tokek dan cicak serta tikus yang sempat mengcover peristiwa itu, acara pembersihan bibir itu sempat berlangsung beberapa menit dan berjalan teratur tanpa huru hara maupun kegaduhan yang berarti. Tetapi beberapa menit kemudian ada sesuatu perubahan yang amat mendadak. Sampai-sampai seekor kucing yang tengah mendengkur di emperan tiba-tiba terlonjak bangun. Sebab Cik Lan berteriak nyaring sambil mendelik. Sebab Paijo berteriak nyaring sambil melotot. Sebab Tukinem berteriak nyaring sambil mendelik. Sebab Engkoh Chui berteriak nyaring sambil pura-pura mendelik. Sebab saat itu sudah pukul tujuh petang. Sebab saat itu mereka lupa menyalakan lampu.
Tetapi karena penghuni tempat itu adalah pribadi-pribadi yang unik dan khas, maka kejadian semacam itu bisa dianggap sebagai kesalahan teknis belaka. Kesalahan teknis adalah suatu hal yang wajar di Indonesia.
“Sudahlah….yang sudah ya sudah! cuma owe minta kalian semua dengarkan owe punya bicara ini. Khusus untuk mamah, begini…kita sudah lama buka restoran ini, tapi sampai saat ini kita punya waktu, ternyata kita belum memperoleh keuntungan yang berarti. Kadang kita jadinya ngiri ama restoran tetangga sebelah yang luarisnya nggak ketulungan. Semula owe pikir-pikir, apakah soal kelezatannya yang kita kalah, atawa soal serpisnya yang kita kurang bonapit, semua telah kita coba dan usahakan persis menyamai restoran tetangga itu, tapi apa nyatanya? Restoran kita tetap tidak bisa selaris yang dia punya. Owe jadinya pusing dibuatnya. Owe pikir tentunya pembeli-pembeli itulah yang bodoh-bodoh, karena nggak bisa membedakan  mana barang yang baik, dan mana yang yang kurang baik. Tetapi pikiran semacam itu cuma bisa hidup beberapa hari di otak owe punya.
Karena itulah owe punya otak terus owe putar. Akhirnya owe jadi ingat sesuatu. Dan sesuatu itu memang amat rahasia, karena hal yang rahasia makanya owe harap lu Paijo ama Tukinem main aja deh kalian berdua di belakang….”
Paijo dan Tukinem saling lirik kemudian undur ke belakang. Tangan Paijo meraih bahu Tukinem. Tukinem mengelak. Tanga Paijo menarik lengan Tukinem, Tukinem mengelak tapi keburu ketangkep. Tukinem melotot, Paijo nyengir.
“Kang cepat jawab dulu kapan…?”
“Sabarlah….”
“Sabar…..sabar! keburu main drumband!”
“Tak usah kuatir, beri sedikit waktu buat berpikir dong.”
“Iya deh, tapi jangan lama-lama ya.”
Paijo tak menjawab. Keduanya lenyap ditelan kegelapan.
Engkoh Chui dan Cik Lan saling lirik, saling melemparkan senyum.
“Rahasia apa tuh pah? Kau jangan bikin gara-gara lagi ya?”
Engkoh Chui meraih bahu istrinya dan mendudukkan bininya dan dipangkuannya. Duilah! Mesra betul, gumam sang bini.
“Sssst mah…dengerin owe bisikan ya?!”
Cik Lan terlonjak, selesai suaminya membisikkan sesuatu. Matanya bersinar terang benderang.
“Eiii pah! Kenapa yah tidak sejak dulu!”
“Iya ya mah! Kenapa tidak sejak dulu!” karena suka citanya keduanya saling tubruk dan saling peluk dengan yahuuuudnya. Tetapi pertemuan kedua suami istri itu terlalu keras. Sehingga tepat disaat pertemuan itu terjadi, terdengarlah bunyi: dug!” dan dua kening sama-sama benjol.
Matahari telah hampir mandi di laut barat ketika kedua laki bini itu tiba didesa lereng gunung Lawu. Sedan yang dibawanya cuma bisa didaerah yang bisa ditembus mobil. Selebihnya naik becak dan jalan kaki.
Setelah naik turun gunung mereka baru sampai di sebuah padepokan yang asri tapi menyendiri, pukul sepuluh malam. Seorang juru kunci (catat, bukan ahli bikin kunci!) yang bertugas khusus di lereng, mempersilahkan mereka masuk. Dan mereka sempat kaget bukan main sewaktu menyaksikan Mbah Dukun yang nongkrong disitu dan buka praktek, ternyata tidak seseram yang dia buka. Orang yang disebut Mbah Dukun itu ternyata sangat tampan dan berusia belum lagi tua. Bahkan berpakaian jas yang rapi bukan main, bak orang kantoran tulen. Dan yang lebih membuat laki bini itu bertambah tak habis herannya, interior ruangan itu disusun sedemikian rupa. Persis hasil karya dosen-dosen seni rupa ITB yang menggarap interior di hotel Horison, Jakarta. Sisi lain terdapat video tape, proyektor film-film blue, kulkas, tivi, radio plus seperangkat komputer mini yang gunanya tak seorang pengunjung pun tahu. Dan ruangan itu diterangi lampu listrik. Bayangkan! Listrik sudah masuk gunung.
“Selamat datang tuan dan nyonya!” sambut Mbah Dukun yang ramahnya seperti orang-orang Yogya. Laki bini itu memberi anggukan. Belum sempat laki bini itu membuka suara, Mbah Dukun itu telah menyerobot lagi.
“Selamat jalan tuan dan nyonya. Terima kasih atas perhatiannya.”
Kedua laki bini itu saling pandang. Engkoh Chui mau buka mulut.
“Tapi…tap…”
“Selamat jalan tuan dan nyonya. Terima kasih atas perhatiannya.”
Kedua suami istri itu saling pandang lagi tak mengerti. Melihat hal itu sang juru kunci  segera memberi isyarat. Dan kedua suami istri itu menurut. Di luar padepokan dia menerangkan.
“Sudahlah Engkoh sama Encik nggak usah risau, sekarang juga musti pulang. Kalau Mbah Dukun bilang begitu, tandanya beliau sudah tahu maksud kedatangan tamunya. Dan permintaannya dituruti.”
Meskipun dengan perasaan heran campur bingung. Mereka toh menurut juga. Diperjalanan pulang keduanya tak banyak cakap. Hanya Engkoh Chui sesekali tersenyum sendiri sewaktu menyaksikan daun-daun hijau didaerah rimbun. Warna hijau itu mengingatkan dia akan sesuatu yang berwaran hijau. Biasanya setiap ada warna hijau berarti tak jauh dari situ tentu ada uang.
Sesampai dirumah mereka mulai kerja keras dibantu dua pembantunya yang setia untuk mempersiapkan hidangan hari itu. Aneh bin ajaib! Restoran itu belum buka, kurang lebih seratus pengunjung telah siap menunggu didepan pintu. Begitu dibuka, kontan brool! Pengunjung melimpah.
Esoknya keadaan lebih yahuuudd. Pengunjung selalu meningkat. Tambah pegawai, masih kuwalahan. Tambah lagi tetap kurang tenaga. Akhirnya lokasi ditingkat lima. Pegawai ditambah sepuluh kali lipat. Beberapa tahun keadaan itu berlangsung dengan menggembirakan.
Tak terasa laki bini pemilik restoran itu sudah punya tujuh anak. Semuanya cewek-cewek. Ayu-ayu pula, yang jelas dibawah Sang Kuang Ling Fung sedikit. Kemewahan yang dimiliki oleh Engkoh Chui dan Cik Lan itu, membuatnya sedikit lupa akan asal-usul keberhasilannya. Maka ketika anaknya yang sulung telah berusia tujuh belas tahun ke atas, si remaja jelita ini pulang sekolah tiba-tiba merasakan kepalanya amat pening. Lalu muntah-muntah. Demikian seterusnya, hingga beberapa bulan kemudian, perutnya membengkak. Papah mamahnya mengamuk hebat. Si sulung ini dituduh ini itu. Akhirnya karena penasaran diperiksakan ke dokter. Hasil pemeriksaan dokter membuatnya semakin kalang kabut. Sebab ternyata anaknya masih perawan. Tetapi anehnya dia betul-betul mengandung. Jadi membengkaknya itu bukan tumor atau sejenisnya. Tepat sembilan bulan bayi mungil keluar dari rahim si sulung. Dan jadilah dia seorang ibu.
Yang lebih mengherankan, sejak kelahiran bayi itu, usaha Engkoh Chui kian melangit dan selalu serba mujur. Tambah mengorbit. Pendeknya hasil kekayaannya untuk beli separo pulau Jawa saja masih tersisa.
Demikian seterusnya, ketika anak nomor dua mencapai usia tujuh belasan juga mengalami hal serupa dengan kakaknya. Sementara kakaknya sendiri tiap setahun selalu melahirkan anak satu. Akhirnya ketujuh anak perawan Engkoh Chui selalu melahirkan anak tanpa suami. Tanpa pernah merasakan prosedur konvensional. Sehingga sampai meninggalnya Engkoh Chui dan bininya, total brutal ketujuh perawan itu telah memproduksi anak tujuh puluh bayi. Sebuah keluarga besar dengan kekayaan yang besar.

Mohon Perhatian! 
Dengan penuh kerendahan hati kami mohon pengertiannya agar tidak meng-copy-paste cerita yang termuat di blog ini kecuali seizin dari penerbit - kombatbuku@gmail.com



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment

Contact