Sang Guru


by Darminto M Sudarmo


            MENJELANG tahun ajaran baru!
            Seminggu ini, saya telah menerima lima orang tamu yang mempunyai maksud sereba aneh. Salah seorang yang bertamu sambil memperkenalkan diri dengan nama yang masih asing di telinga saya; berkata dengan suara renyah dan penuh keakraban.
            “Pak Guru, lima tahun yang lewat ayah Anda bersahabat sangat akrab dengan ayah saya. Keduanya seolah tak terpisahkan. Ke mana-mana mereka selalu bersama. Menonton, berburu, memancing dan lain-lain. Pendek kata, keduanya adalah sepasang sahabat yang sangat serasi. Kegemaran sama, berpikiran sama, sehingga tak aneh bila keduanya lalu mengangkat sumpah untuk menjalin persaudaraan hingga akhir hayat. Bahkan untaian persahabatan itu tetap akan mereka wariskan hingga ke anak cucu, jika keduanya telah tiada.” Sejenak orang itu menghisap rokok, lalu mengelus-elus  rambut anak lelakinya yang baru saja lulus sekolah dasar.
            “Maka, seetelah ayah Pak Guru tiada, dan juga ayah saya tiada, saya merasa berkewajiban menyambung tali persaudaraan yang mungkin nyaris…” sinar matanya berkaca-kaca, sebagai bukti ia bermaksud sungguh-sungguh dan tulus hati. Saya menanggapinya dengan mengangguk-anggukkan kepala.
            “Saya mengerti Pak…saya mengerti. Sungguh maksud Bapak sangat saya puji. Saya pun demikian gembira dapat memperluas persaudaraan. Dengan siapapun tak terkecuali!”
            Dia beranjak dengan kegembiraan meledak. Kami saling berjabat tangan demikian erat. Kemudian kami terlibat basa-basi yang amat rapi dan penuh keteraturan. Lalu dia pamit pulang. Lalu tangannya merogoh saku dan membagikan uang kecil untuk ketiga anak saya yang masih tak juga mengerti maksud sang tamu. Tapi setelah sang tamu yang tak mempan mendengar cegahan saya itu, menepuk-nepuk bahu anak-anak saya sambil mengatakan bahwa uang itu sekadar buat beli permen, dan menjamin bahwa saya tak mungkin memarahinya, mereka lalu saling berlarian dengan riangnya.
            Sementara itu, saya menghela napas. Telah lebih dari sepuluh tahun saya menjadi guru di sebuah sekolah menengah , selama itu saya telah begitu kenyang dengan “pengalaman” yang serba unik dari tamu-tamu yang hadir demikian gencar. Terutama, di saat-saat menjelang tahun ajaran baru. Namun saya tak punya kesanggupan untuk bertindak dengan tepat pada tamu-tamu yang hadir dengan cara-cara demikian.
            Maka, ketika itu saya hanya dapat berusaha melayaninya sedapat yang bisa saya lakukan. Yakni, sebagai tuan rumah yang wajib menyambut dan melayani tamu dengan sebaik-baiknya.

*

            ESOKNYA orang itu datang lagi sambil membawa standan pisang. Setengah keranjang buah mangga. Lalu katanya memberi pengantar.
            “Maaf Pak Guru, ini kekedar oleh-oleh tak berharga. Sekedar pernyataan raga gembira kami atas persahabatan yang tersambung kembali.”
            Dan kami, saya dan istri saya, tak dapat berbuat lain selain berusaha tersenyum, dan mencoba menampakkan wajah gembira. Lalu menerima pemberian itu dengan hati berdebar-debar.
            Setelah beberapa jenak kami terlibat pembicaraan yang tak berujung pangkal, sampailah pada titik persoalan yang telah kami duga sebelumnya. Bahwa tak ada maksud lain dari sang tamu tersebut selain dari ingin menitipkan anaknya yang baru lulus sekolah dasar itu, agar bisa diterima di SMP negeri tempat saya mengajar.
            Kami terehenyak. Istri saya menghela napas. Saya hanya dapat merenung-renung. Tak lebih dari itu. Melihat reaksi kami, sang tamu mencoba memberi tambahan penjelasan yang sesungguhnya tak perlu lagi. Karena dari surat tanda tamat belajar anaknya saya telah tahu; nilai yang diperoleh anak itu amat minim.
            Belum habis persoalan yang tak dapat saya utarakan kepada siapapun  selain istri saya, datang tamu kedua; yang mengaku saudara dekat denga keluarga kami. Dan setelah bicara ke utara-selatan, sampailah pada maksud yang tak lain selain ke situ-situ juga; titip anak agar dapat diterima di sekolah tempat saya mengajar. Tak lupa dua kaleng biscuit, tiba-tiba telah nongkrong di almari makan kami.
            Datang tamu ketiga pada esoknya.
            Datang tamu keempat pada esoknya.
            Datang tamu kelima pada esoknya.
            Saya semakin terhenyak. Semakin!
            Sesungguhnya, selain mereka, tak kurang saudara dekat telah lebih dulu “memasung” diri saya. Belum beberapa kenalan yang demikian hebat membuat diri saya tak berkutik. Lalu saya ingin bertanya, Dewa-kah saya? Mengapa demikian banyak orang menumpukan  nasib anaknya pada saya?

*


            SEMALAMAN saya duduk dengan pikiran galau. Semalaman saya berpikir dengan sekuat tenaga, dengan harapan memperoleh jalan keluar yang baik. Namun tak sebuah hasil pun yang dapat mendatangkan petunjuk berarti. Saya lalu pasrah. Dan saya bertekad mengambil jalan seperti yang sudah-sudah. Seperti yang dulu-dulu. Dan jalan ini memang pasti menuai risiko yang cukup besar. Maka ketika hal itu saya sampaikan pada istri saya, ia sempat memperingatkan.
            “Ingat, Pak. Jalan yang kita tempuh kemarin-kemarin telah membuat banyak orang menampakkan reaksi tak bersahabat pada kita. Pada keluarga kita. Saya tak sanggup lagi menerima kenyataan seperti itu. Kita hidup di mana? Sementara kita telah berkorban perasaan, sementara itu tetangga-tetangga tetap tak ambil pusing; mereka tetap menganggap apa-apa yang kita miliki sebagai hasil obyekan yang dipanen setiap tahun sekali. Bahkan seorang pemuda berandalan telah begitu kurang ajar menulis di sepeda motor kita dengan kata “upeti”, nah!”
            Saya terhenyak lagi.
            Istri saya bercerita lagi tentang seorang nyonya tetangga yang anaknya tak bisa diterima di tempat saya mengajar, telah dengan terang-terangan melontarkan sindiran di depan orang banyak sepulang dia dari pasar.
            Aneh, tiba-tiba emosi saya bangkit mendengar bagaimana nyonya itu melontarkan sindirannya . Mendengar pengaduan istri saya yang terlontar sambil setengah terisak.
            “Justru itulah, Bu., kita harus mengambil sikap sebagaimana semula. Maka esok pagi kau suruh Bi Inah mengembalikan apa saja yang telah diberikan tamu-tamu itu pada kita. Pada anak kita. Kembalikan semuanya! Jangan tersisa sepeser pun uang! Sebutir pun beras! Kita harus tegas, tak peduli itu saudara dekat kita atau apapun namanya! Segala sesuatu yang membuat kita terikat, yang membuat kita tak bisa bernapas., singkirkan. Jika mereka inginkan anaknya diterima, suruh anak itu belajar. Jika mereka inginkan anak mereka lulus, naik kelas, suruh anak itu belajar. Saya sungguh sudah kelewat jenuh dengan “budaya” model beginian. Kita sudah kelewat jauh terjebak oleh sikap mental narabas yang meracuni anak-anak. Mengapa kita takut berjalan di atas aturan yang benar? Ada memang satu dua orang rekan pengajar yang memanfaatkan situasi semacam itu untuk keuntungan pribadi, tetapi itu kan hanya oknum. Bukan korps. Jadi biarlah rekan yang mau begitu menerima “imbalan” yang sesuai dengan perilakunya. Maka, Bu, kuharap kau tak perlu ragu-ragu mengambil sikap. Biarlah apa kata orang tentang kita; biarlah apa kata tetangga tentang kita; yang penting kita bertindak benar dan tidak ikut-ikutan terseret tradisi yang tidak lucu itu.”
            Dan astaga…saya baru menyadari kalau tinju saya mendarat di permukaan meja makan, sehingga menimbulkan bunyi gaduh. Beberapa benda pecah belah berjumpalitan dan saling berbenturan. Hanya beruntung, tak sebuah pun yang pecah.
            “Sudahlah Pak, kenapa jadi begini akhirnya?”
            Istri saya membimbing saya untuk duduk di sebuah kursi. Dada saya masih terasa  gemuruh. Saya terduduk dengan napas terengah-engah.
            “Saya bukan tak setuju sama sikap Bapak; bahkan saya sangat menghargai sikap Bapak itu. Tapi ingat Pak, kita hidup di mana? Di tengah masyarakat yang majemuk. Latar belakang pendidikan, pengetahuan yang beraneka ragam. Cara berpikir mereka juga beda-beda. Apa tak ada cara yang lebih baik untuk menolak maksud mereka? Sebuah cara yang tidak menimbulkan rasa kaget atau tersinggung? Syukur cara itu bisa menyadarkan mereka, bahwa cara paling baik untuk menolong anak adalah  memberi kesadaran pada anak untuk cinta belajar, kalau ingin mengejar cita-cita secara benar.”
            Kemelut yang menguasai pikiran saya tiba-tiba langsung lenyap. Istri saya bukan hanya cerdik dan pintar, ia juga bijak melihat masalah. Tiba-tiba pula melintas di pikiran saya sebuah gagasan menarik. Memang gagasan itu belum utuh dan final, tetapi saya berjanji akan mencoba menyusun menjadi sebuah runtutan langkah yang rapi dan mudah-mudahan simpatik serta enak dicerna.
           
*

            TIGA  hari kemudian, datang tamu pertama yang dulu begitu gegap gempita berhasrat menjalin persahabatan. Tapi kali ini saya tak menjumpai wajah seperti dulu lagi. Kali ini, dia datang dengan wajah kecewa. Denga raut sedih campur jengkel. Saya berusaha menahan diri. Bahkan saya dapat berbicara dengan tenang dan lancar.
            “Pak kami mengembalikan pemberian tempo hari bukan berarti menolak kesanggupan untuk menolong Bapak. Bukan karena itu. Karena soal menolong, jelas tetap akan saya usahakan sebatas kemampuan . Hanya saja, menurut pendapat saya, sebaiknya soal bingkisan tanda persaudaraan dan semacamnya itu, diberikan nanti setelah nyata-nyata anak Bapak bisa diterima. Tetapi jika tidak diterima, tak perlu Bapak berpayah-payah begitu.
            “Meskipun demikian, tak ada salahnya Bapak menyuruh anak Bapak untuk belajar lebih keras, agar tak menemui banyak kesulitan dalam menempuh test nantinya.”
            Tampaknya orang itu dapat mengerti jalan pikiran saya, meskipun tak sepenuhnya dia mempercayai.
            Terhadap tamu kedua, ketiga, keempat, dan kelima, saya juga katakan apa yang saya katakana pada tamu pertama. Semuanya melongo mendengar pernyataan itu. Salah seorang diam merenung; seorang lagi menggaruk-garuk dadanya; seorang yang lain lagi menatap saya dengan pandangan yang sulit diterka apa maknanya. Seorang yang terakhir tampak paling gelisah. Tapi entah dari mana dan siapa yang memulai, tiba-tiba mereka membicarakan sesuatu yang amat menusuk perasaan saya.
            “Baiklah, kami tahu maksud Pak Guru, tapi kami yakin, Bapak pasti bisa menolong anak saya. Saya sanggup lima puluh ribu , Pak,” kata salah seorang yang paling gelisah.
            “Saya sanggup tujuh puluh ribu, Pak,” ujar yang seorang lagi.
            “Saya sanggup seratus ribu Pak,” ujar yang lain.
            “Saya sanggup seratus dua puluh ribu, Pak,” ujar yang lain dengan nada jumawa.
            “Saya sanggup seratus lima puluh ribu, Pak,” ujar yang paling akhir dengan nada dingin. Justru karena itu jantung saya terasa tersayat-sayat.
            Darah saya serasa mendidih. Ingin rasanya saya menampar mulut-mulut lancang itu satu persatu. Sudah sedemikian rendahnyakah mereka menilai sistem yang ada? Namun beruntunglah, dalam saat-saat yang genting itu, saya masih dapat mengendalikan diri. Istri saya mengintip dari balik tirai dengan pandangan cemas.
            Saya tiba-tiba lalu teringat dua tahun yang lalu, saya telah diperalat oleh seorang rekan guru sendiri. Dia mengatakan bahwa tiap guru, sesungguhnya memperoleh jatah untuk memasukkan anak paling tidak dua-tiga orang. Konon itu kebijakan dari kepala sekolah. Nah, apa salahnya jika rekan guru itu menitipkan seorang dua orang kepada saya? Sebab dia tahu saya tampaknya acuh tak acuh pada “hak” yang absurd itu.
            Karena dia selalu membujuk dan merajuk setiap saat bertemu, akhirnya saya menuruti permintaannya itu. Dan setelah anak itu diterima, tahulah saya bahwa anak itu sesungguhnya bukan saudara atau famili rekan guru tersebut. Yang lebih tragis, di luar tersiar berita yang cukup gencar; berita tentang telah adanya orang yang menitipkan pada rekan guru tadi seorang dua orang anknya dengan uang pelicin sekian ratus ribu. Begitulah, mulut masyarakat, gemar membesar-besarkan perkara.
            Kenyataannya, uang itu mungkin saja dinikmati rekan guru itu seorang diri, tetapi getahnya tak bisa tidak, melekat pada saya. Sungguh saya merasa sangat bersedih. Iktikad baik untuk sekedar menolong, telah diracuni oleh seorang rekan, meskipun ia mengajar di tempat lain. Mengapa sistem itu sendiri sekarang telah menjadi semacam komoditi yang tak dapat ditutup-tutupi lagi; sementara seorang dua orang guru yang tetap ingin menjunjung nilai luhur yang terbeban di atas pundaknya, justru menjadi korban dari sementara rekannya.
            Oh, tidak! Biarlah meski hanya ada seorang dua orang guru yang ingin berusaha menegakkan panji kehormatan. Biarlah kami jadi bahan tertawaan oleh orang-orang yang menganggap bahwa tingkah dan sikap kami tergolong tolol. Biarlah, kami akan tetap bersikap sebagai semula. Sebagai semula!
           

*


            PADA akhirnya, keempat tamu itu tak mampu berbuat lebih untuk mempengaruhi saya. Mereka lalu pulang dengan langkah lunglai, dan sedikit harapan yang ada di benak mereka. Harapan samar-samar. Sebab mereka tahu, nilai anak-anak mereka demikian memprihatinkan. Tetapi apa boleh buat; mungkin itu lebih baik daripada anak-anak itu diterima, nantinya toh hanya jadi penonton ketika mengikuti pelajaran di kelasnya masing-masing.
Lalu apa artinya mereka diterima? Karena di akhir tahun ajaran, seringkali “kelompok” ini tinggal kelas alias tidak naik. Kalau toh akhirnya tertatih-tatih dapat mencapai kelas tiga, juga itu ditempuh dengan waktu ekstra panjang. Sudah begitu, masih ada kendala lain lagi, tidak lulus atau belum lulus. Untuk menolong kelulusannya, haruskah orang tua jumpalitan cari duit lagi; sampai kapan anak itu akan tergantung pada sistem karbitan orang tuanya?
Anak-anak itu perlu belajar lebih keras, lebih serius untuk dapat mandiri sebagai siswa. Siswa yang mengandalkan upaya dan kemampuannya sendiri untuk menapaki tangga tingkat dan kesulitan yang harus dihadapinnya.
Tak terlalu jauh dugaan saya, ternyata tak seorang pun dari kelima tamu yang pernah datang ke rumah, mengalami keberuntungan seperti yang mereka idamkan. Mulanya saya dibayangi rasa gelisah. Saya toh manusia biasa; yang juga tak senang dibenci dan dimusuhi orang lain.
Syukurlah, ternyata mereka cukup arif menerima kenyataan itu. Mereka cukup puas menyekolahkan anaknya meskipun tidak di sekolah negeri. Dan yang paling membuat saya lega, mereka ternyata masih berbaik hati pada saya. Mereka bahkan juga menuturkan akan seperti apa masa depan anak mereka jika untuk menuju ke jenjang yang lebih tinggi harus di-karbit orang tuanya. Mereka mulai dapat melihat kemungkinan-kemungkinan di depan dengan jernih dan tidak emosional.
Mencermati itu semua, saya tiba-tiba merasa sangat bersyukur dan bahagia. Sungguh, sangat bahagia!*****

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

1 comments:

taelynbabiak said...

Best Casino | JTHub
Play the best real money slots & games from around the 남원 출장샵 world! We offer you a variety 파주 출장샵 of games 남양주 출장안마 for a chance to win cash prizes. 공주 출장마사지 Slots, 이천 출장샵 blackjack, Roulette & more.

Post a Comment

Contact