Angkawijaya Kawin Lagi

by Darminto M Sudarmo


Tidak ada hujan tidak ada mendung kok terdengar suara geledek apa nggak aneh? Hayo siapa bisa nebak apa sebabnya? Tidak ada? Ugh! Teka-teki segitu aja tidak bisa. Gampang, sebabnya tak lain dan tak bukan selain ini, kebohongan kaum lelaki! Bagaimana mungkin? Begini ceritanya.
Kebiasaan lelaki berbohong ternyata bukan terjadi pada zaman apollo dan teknologi seperti sekarang ini, demikian kata saya, yang berarti juga kata Pak Dalang. Karena sejak zaman dulupun telah banyak kaum lelaki yang melakukan kebiasaan ini. Terutama sekali yang terjadi pada zaman pewayangan. Nah, supaya makin jelas, silahkan menikmati pagelaran wayang humor, yang akan saya ceritakan setahun suntuk. Pertama, episode ini dimulai dari Angakawijaya Kawin Lagi, lalu Wafatnya sang Kalabendana dan berlanjut seterusnya secara bersambung di majalah ini, kisah-kisah seru dan harunya perang Barata Yudha Jayabinangun. Tumpah darah di padang Kurusetra dan Gemuksetra, nah…….pertunjukan akan dimulai. Gamelan dibunyikan.
Dog….dog….dog….dog….jeglur! jeglur! Jeglur! Jeglur! Nong….nong….ning….gung! ning…..nong….ning…..gung! crek…..crek…..crek….crek….plak dung plak! Tiut….tiuuuuuut…… gluuuuuuuuur! (bunyi gong lho! bukan letusan galunggung).
Kocapkacarita…pagi itu udara di taman sari negara Wirata bukan main cerahnya. Tak setitik awan putih nampak. Langit biru bagai lukisan Pablo Picasso dimasa periode birunya. Meskipun demikian, sayang sekali masih kalah biru dengan kampung birunya Ashadi Siregar. O…..o….o….o…o…..o.
Raden Angkawijaya, satria bagus (diatasnya Roby Sugara sedikit) tengah duduk dengan terbit, eh tertib, seraya menyilangkan kedua lututnya. Di sudut lain nampak Dewi Utari, putri Wirata yang cantik jelita bagai bidadari rangkap tujuh, sibuk memilih bunga di rerimbunan taman. Dua remaja ini baru saja melangsungkan pernikahannya (harap jagan sekali-kali menyebut, perkawinan!) mereka masih pengantin baru. Bahkan sangat baru. Dus masa santai ditaman sari itu, jika mereka hidup di zaman kini, orang bilang hane mun, masa bulan madu yang amat mengasyikkan. Tapi jangan kaget, jika saya beri tahu, bahwa Angawijaya, sebetulnya telah berisitri. Dan Dewi Utari itu menurut silsilahnya musti dipanggil nenek oleh Angkawijaya. Nah!
Lebih gawat lagi….ternyata Dewi Utari belum tahu bahwa Angkawijaya bukan suami tunggalnya. Pengantin baru yang menurut silsilah sangat mencengangkan perut itu, ternyata memang mengalami beberapa kejanggalan yang berliku-liku. Sebagai seorang istri tak layak tentunya bagi Utari untuk memanggil suaminya dengan panggilan cucu, dimas, malah kadangkala kulup. Demikian juga Angkawijaya. Dia pertama kali juga merasa risih bagaimana harus mencumbui neneknya, memperlakukan dengan gesit dan lincah…..duhai…..betapa risihnya, demikian keluh Angkawijaya. Bahkan tak sekali dua kali dia salah panggil, yang akhirnya bisa bikin sewot istrinya. Bagimana tidak sewot, seorang gadis remaja yang cantik lagi molek dipanggil nenek….duh, rumit rumit, begitu kata hati Angkawijaya.
Tapi pagi biru itu, tiada istilah rumit bagi keduanya. Mereka lancar bercengkerama.lancar bercanda. Bahkan kekeliruan dalam memanggil justru bisa bikin tambahnya kemesraan. Duhaiiiii.
Syahdan….., Angkawijaya yang masih duduk dengan tertib dan sikap yang tunduk itu justru bikin hati utari makin gemes. Dalam hati Utari tertawa terus. Lalu karena tak tega, dia tarik lengan Angkawijaya untuk diajak duduk bersanding.
“Duhai kanda…..dinda lihat kanda nampak murung. Adakah sesuatu persoalan yang mengganggu….?”
“Betul nek, eh dinda. Kanda murung karena memikirkan rakyat kita di daerah Barat yang saat ini sedang tertimpa musibah gempa bumi. Berhektar-hektar ladang dan tempat tinggal beserta seluruh harta bendanya yang tak bisa dibawa ketika mereka mengungsi, hangus dimakan bubur merah yang maha panas itu.”
“Bubur merah itu apa kanda….?”
“Kau pernah lihat Kawah Candradimuka kan…? Nah itu isinya ynag tumpah melanda rakyat beserta segala yang ada. Bukan hanya itu, berminggu-minggu rakyat sekitar gunung yang meletus itu dalam radius puluhan kilometer, dilanda hujan debu yang sangat mengganggu. Banyak rakyat sakit tenggorokan…dan sakit paru-paru, untunglah sedikit yang sakit ingatan.”
“Tapi kalau saya tak salah dengar, papa Prabu Matswapati sudah kirim bantuan ke sana.”
“Siapa yang menyerahkan….?”
“Paman Patih Nirbito. Apa kanda tak percaya…?”
“Bukan tak percaya. Tapi siapa tahu, saya justru akan semakin bersedih jika yang menerima bantuan bukan sesungguhnya yang berhak. Paham toh…?”
“Ya…ya. Oh ya kanda, bolehkah saya sedikit bertanya, tentang persoalan kita tentu saja. Maaf ya, urusan gempa bumi kita kesampingkan sejenak. Tak marah kan…?”
“Jelas tidak dong. Siapa yang tega memarahi istrinya yang cantik!”
“Akh! Kanda sih bisa aja. Pagi-pagi sudah merayu. Begini ya say… betulkah kanda masih perjaka ting ting dan belum beristri…?”
Angkawijaya setengah kaget, tapi karena dia sudah jagoan menjaga mimik mukanya, soal sedih, kaget, atau gembira maka saat itu yang nampak dimata Utari seperdelapan kaget.
“Lho….kenapa dinda jadi larinya ke situ…?”
“Lho! Kenapa tidak boleh…?”
“Sabar dong sayang….maksud kanda begini….kanda tak menyangka bakal dapat pertanyaan seperti itu darimu.”
“Iya, soal tak menyangka dan menyangka itu kan bisa ditempatkan dibelakang bukan kanda…? Yang paling penting yang perlu diletakkan di muka itu kan jawabnya iya kan….?”
“Iya deh.”
“Nah…mulai dong!”
“Apanya…?”
“Jawabnya dong.”
“Jawab yang mana…?”
“Itu pertanyaan dinda tadi.”
“O…oooo..oo. baiklah, begini..”
Belum dua patah kata diucapkan oleh Angkawijaya, mendadak terdengar deru buldoser masuk ke pertamanan. Kedua laki bini muda itu kaget bukan kepayang. Tapi setelah ditunggu dua detik kemudian yang datang ternyata Ditya Kalabendana, seorang raksasa dari Pringgadani, paman Gatutkaca. Raksasa yang satu ini mempunyai reputasi bagus dibidang moral dan etik. Sebab dia terkenal jujur dan saklek. Kalau ngomong apa adanya. Nggak banyak muter-muter, apalagi munafik. Tu de poin-lah, kata orang sekarang. Kedatangannya kemari diutus oleh Dewi Siti Sendari istri Angkawijaya, dan sama sekali tidak tahu kalau Angkawijaya bakal kawin lagi. Sendari tahunya cuma suami pamit mau lokakarya di tempat jauh selama waktu tak terbatas. Itulah yang membuat Sendari gundah, sehingga mengutus Kalabendana untuk mencari. Bagi Kalabendana sendiri hal itu tidak susah, dia dengan kesaktiannya, dan memiliki sebuah komputer yang bisa menjawab pertanyaan apa saja (soal betul dan tidaknya urusan belakang, yang penting sudah menjawab) tentu saja dengan mudah lalu tahu keadaan yang sesungguhnya perihal Angkawijaya. Tetapi ketika dia mau memberi tahu Siti Sendari tentang Angkawijaya, buru-buru Gatutkaca telah pasang ancaman padanya, sehingga Kalabendana terpaksa mengalah. Dan kedatangannya ke Wirata ini mau kasih tahu sama Angkawijaya, supaya lekas pulang.
Begitu dilihatnya Angkawijaya tengah berduaan dengan seorang putri cantik, kontan saja dia buka suara.
“Oiii…keponakanku ngger Angka tahukah kau apa maksud kedatanganku kemari…? Nah…kenapa melongo….kamu ini gimana toh di rumah yang nunggu sampai banjir air mata, di sini enak-enak ber…..”
“Oom! Jaga mulutmu!” hardik Angakwijaya sambil melotot. Tentu saja sikap ini tidak diketahui oleh Utari. Utari yang belum kenal tamu itu buru-buru tanya.
“Kanda tamu raksasa itu kau kenal, dan siapa dia?”
“Tentu dong. Dia Oom kalabendana dari Pringgadani, adik tante Arimbi.”
“O. o. o jadi kau Kalabendana adik Arimbi?”
“Betul nek. Eh, eyang Uut.”
“Kulihat tadi kau kesini naik kendaraan yang suaranya gemuruh seperti pabrik berjalan. Kendaraan apa itu Kala…?”
“Anu…saya menyebutnya kerbau tua nek.”
“Kerbau tua bagaimana maksudmu…?”
“Maksud saya, buldoser.”
“Oh! Ada maksud penting mestinya menghadap kemari Kala…?”
Begitu Kalabendana mau buka suara, kontan Angkawijaya menghela tangan raksasa itu dan mengajaknya keluar.
“Kalau kau perlu omong padaku Oom. Diluar saja kita bicara.”
Kalabendana sedikit meronta dari pegangan keponakannya.
“Jangan sadis-sadis dong Angka. Jelek-jelek begini juga aku ini Oom-mu kan…? Nah singkat saja, saat ini perlu kau ketahui bahwa istrimu dalam keadaan menderita kesepian. Dia sudah rindu setengah mati padamu. Dia kangen, pagi sore nangis melulu. Orang tua jadi sedih apalagi kini dia dititipkan di Pringgadani, kau tahu sendiri kan…? Nah, saran Oom, lebih baik kau selekasnya pulang.”
“Hal itu sudah kupikirkan Oom. Sebaiknya Oom cepat saja pulang, beritahu aku dalam keadaan baik-baik.”
“Oom mau pulang tapi musti bersamamu dong.”
“Tidak oom cepat pulang sendiri.” Berkata begitu Angkawijaya sambil melayangkan tinjunya ke pelipis Oom-nya (betapa bandelnya anak muda ini). Tentu saja Kalabendana langsung tancap gas.
Sementara itu, Angkawijaya setelah berada disamping istrinya, Utari, terus dia mendapat desakan untuk buka suara.
“Ayo dong kanda jawabnya…!”
“Okey..okey!”
“Betulkah kanda masih perjaka dan belum beristri?”
“Betul.”
“Akh bohong! Berani sumpah nggak?”
“Berani dong. Coba dengar kanda mau sumpah. Punya Algur’an atau kitab perjanjian lama? Oh, maksudku Wedha…?”
“Tak usah kitab-kitaban, toh Dewa juga dengar toh?”
“Okey…bersama ini saya bersumpah didepan istri saya. Bahwa saya memperistri dia dalam keadaan masih perjaka, eh, maksud saya, saya ketika memperistri dia dalam keadaan masih jejaka dan belum beristri. Akh tolol saya, kalau masih jejaka jelas belum beristri ya toh? Oleh karena itu jika ternyata sumpah saya ini mengandung kebohongan, saya bakal menerima sangsi sebagai berikut :
  1. Gaji saya selama setahun penuh boleh disunat 50 prosen.
  2. Jika kelak maju perang dalam perang besar Barata Yudha, tubuh saya bakal dicincang senjata musuh. Seribu panah maupun mesiu bakal menancap di seluruh dada saya.
  3. Saya bakal mengalami tewas yang sangat menyedihkan.

Nah, saya kira sumpah ini sudah cukup. Sudah puas dinda?”
“Ssudah kanda. Dan jangan lupa, langit bumi, dan seluruh isi jagat menyaksikan dan mendengarnya lho kanda.”
“Jjustru itu yang sangat kuharapkan.”
Setelah mendengar sumpah suaminya yang sungguh-sungguh itu kontan Utari sangat terharu. Dia bergegas memburu dan memeluknya.
“Kanda….tahukah kau bahwa dalam hatiku sesungguhnya tak merelakan kau berpisah dariku.”
“Aku pun demikian sayang. Oh ya perutku sudah lapar kita makan dulu yuk.”
“Dinda belum masak apa-apa kanda.”
“Alaaa jajan aja di warung. Sekali-kali kan tak apa.”
“Tapi….kenapa kanda bawa kunci kontak pesawat jet papa?”
“Kita beli di restoran Indonesia di New York.”
“Oh!”*****


Mohon Perhatian! 
Dengan penuh kerendahan hati kami mohon pengertiannya agar tidak meng-copy-paste cerita yang termuat di blog ini kecuali seizin dari penerbit - kombatbuku@gmail.com



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment

Contact