by Darminto M Sudarmo
DI kamar yang agak lembab dan
sempit itu, terdengar batuk Pak Kasman melengking bertubi-tubi. Batuk yang
melekat lengket di usianya yang lebih dari setengah abad. Usia tua yang kata
orang seringkali akrab dengan berbagai macam penyakit.
Batuk itu terus melengking lagi. Sesekali dia
berusaha mengeluarkan dahaknya yang terasa gatal dan sangat mengganggu ke dalam
sebuah kaleng yang berisi pasir. Dadanya yang telah keriput dengan tonjolan
tulang-tulang seakan bergetar menahan goncangan yang menyakitkan itu. Nafasnya
terengah-engah. Kadang-kadang mendesis-desis bagai orang kecapaian. Dan
sesekali terdengar pula bunyi mendenging seperti orang sakit asma layaknya.
Gurat di wajahnya demikian mencolok dengan
garis-garis penderitaan dan kekecewaan. Seolah beban derita yang ditanggungnya
terekam dengan pasti, membentuk lekuk dan mimik yang cukup menghiba hati.
Apalagi di saat sorot mata yang letih dan kosong itu menerawang jauh, seakan
pancaran pasrah yang memilukan.
Angin pagi bertiup semilir. Menyelinap lewat
jerejak besi jendela kamarnya. Sesaat lamanya Pak Kasman menghirup udara
berulang-ulang sambil bangkit dari tempat duduknya. Dari jendela dia bisa
menatap keadaan luar. Langit yang cemerlang, rimbun-rimbun hijau dan gerombolan
tanaman bunga di samping rumah.
Udara pagi yang sejuk sempat pula mendatangkan
rasa segar dan nyaman bagi paru-parunya. Mendadak sesuatu yang amat gatal
terasa lagi mengkorek-korek di tenggorokan. Tak ayal, bunyi lengking batuknya
bergema lagi di kamar itu dengan disudahi bunyi dahak yang masuk ke dalam
kaleng.
“Memang keterlaluan! Kenapa tidak bisa sedikit
menahan. Kita yang sedang makan jadinya jijik dan tak berselera. Dasar.....”
Terdengar suara setengah mengumpat. Mula-mula samar kemudian kian jelas. Suara
itu datang dari kamar makan yang letaknya hampir bersebelahan dengan kamar Pak
Kasman. Bagi Pak Kasman sudah bukan hal yang baru lagi mendengar suara seperti
itu. Suara yang hampir tiap hari menukik ke hulu hatinya. Suara dari isterinya
sendiri. Isterinya yang masih menampakkan sisa-sisa kecantikan, yang usianya duabelas
tahun lebih muda darinya. Dan terkadang suara itu diikuti sebagian anak-anaknya
yang kebetulan sedang duduk melingkar di meja makan.
Seperti biasanya Pak Kasman hanya bisa berdiam
diri sambil berusaha mengendalikan goncangan perasaannya. Tetapi usahanya itu
justru membuat dadanya terasa makin sesak. Yang akhirnya mendesak-desak dan
membuat rasa gatal yang lebih hebat di tenggorokan hingga.....
“Huk... huk... huk...! Hueeeeek!” Pak Kasman
terengah-engah.
“Weee lha! Kok jadi makin nekad!” Isterinya mengumpat
lagi. Lebih keras.
“Huk... huk... huk! Hueeeek!”
“Terus... terus!” Terdengar sebagian anaknya
berteriak sambil memukul-mukul meja.
“Huk... huk... huk... huk...! Hueeeek!”
“Sialan! Tua bangka tak tahu diri!” Lalu diikuti
suara piring yang dibanting di atas lantai.
“Grompyang!!!”
“Sudahlah Bu... kasihan Ayah kan sedang sakit!”
Pinta anaknya yang terbungsu Asri dengan nada ketakutan.
“Ya ndoro putri... kasihan Den Kakung. Batuknya
amat parah.” Bujuk pembantunya Bi Inah.
Isteri Pak Kasman cuma menoleh sambil bersungut.
Lalu mengambil tas dan bergegas ke luar.
“Hambali! Ini kunci kontaknya! Antar Nyonya ke
toko.”
“Ya Nyonya.” Sahut sopirnya.
Kakak-kakak Asri sebanyak lima orang, yang
sebagian sudah kuliah dan sebagian lagi masuk sekolah di SMA, terus meninggalkan
meja makan lalu menghambur mengambil sepeda motornya masing-masing.
Di ruang makan itu tinggal Asri dan Bi Inah yang
diam mematung tak mengerti. Asri, gadis kecil yang perasa ini segera menyeret
lengan Bi Inah.
“Bi, lekas tolong ambilkan obat Ayah yang baru
beli kemarin. Asri mau sediakan sarapan pagi buat Ayah.”
Pak Kasman terbaring di tempat tidur yang tak
begitu buruk. Beralas kasur dan sprei batik. Wajahnya pucat dan keletihan.
“Ayah...” Asri memegang tangan ayahnya.
Pak Kasman tersenyum. Menatap lama-lama kepada
putrinya yang bungsu. Kau lain benar dengan semua kakak-kakakmu Asri. Bahkan
lain sekali dengan ibumu. Suara Pak Kasman hanya nyangkut di tenggorokannya.
Kemudian suara itu dia telan kembali. Kendati demikian Asri tahu apa makna dari
sorot mata ayahnya yang pilu itu.
Asri tersenyum menghibur.
“Oh, ya sebaiknya Ayah makan pagi dulu biar nggak
masuk angin. Setelah selesai lalu minum obat.”
Ayah Asri
mengangguk.
“Pagi ini Bi Inah belum sempat masak lauk. Tapi
Ayah nggak usah khawatir. Sebab yang membuat lauk pagi ini adalah Asri, Yah.”
“Lauknya apa Asri?”
“Tebak saja coba...”
“Kesenangan Ayah tentu saja.”
“Oh ya...? Wah tentu Ayah habiskan semuanya
nanti.”
“Ada lagi Ayah...”
“Apa Asri...?”
“Nasinya masih hangat dan... empuk.”
Pak Kasman tersenyum gembira.
“Kau tak masuk sekolah, Nak...”
“Kan hari ini masuk siang, Yah.”
“Oh...”
Seusai Asri mengurusi keperluannya, kembali Pak
Kasman menikmati kesendiriannya. Kesendirian yang selalu akrab dengan dirinya
di usia yang telah renta bersama batuk-batuk dan pesakitannya. Dia telah hampir
lebih dari limabelas tahun menikmati hari-harinya yang penuh mendung itu. Sejak
dia dipecat dari pekerjaannya gara-gara fitnah seorang rekan sekerjanya. Fitnah
yang ternyata membuatnya tak bisa berkutik sama sekali. Dia tak berdaya membela
diri. Itulah yang membuat isterinya tak tahan untuk mengawali cemooh dan
ejekan. Isterinya yang cantik dan terbiasa dia manjakan. Terbiasa dia dabyang-dabyang.
Tapi setelah ia meringkuk bersama pesakitan dan dendam kepada rekannya yang
ternyata cuma bersarang menimbulkan duri di ulu hatinya, sikap isterinya
sedikit demi sedikit makin mengalami perubahan.
“Kau tak bisa memahami perasaanku, Bu.”
“Apa...? Persoalan yang sudah begitu jelas kenapa
harus dibuat ruwet sendiri. Kalau Bapak memang tak bersalah kenapa tak mau
menyelesaikannya?”
“Maksudku...”
“Atau barangkali tak berani...? Tak mampu...?
Hih... lelaki macam apa baru persoalan begitu sudah menyerah.”
“Bu...!”
“Itu bukti dan kenyataannya.”
“Buuu!!!”
“Apa lagi...?”
“Cukup!”
“Apa...? Cukup...? Lalu anak-anak harus makan
keluhanmu saja...? Lalu kita akan cukup makan dengan bertengkar saja...? Di
mana letak tanggung jawabmu sebagai seorang suami...?”
“Plak!
“Baik! Kelak kau akan tahu. Ternyata bukan hanya
lelaki saja yang mampu cari uang.”
“Oh...” Keluh Pak Kasman.
“Aku telah menyakiti isteriku.”
Ah, itu sudah lewat! Bantah Pak Kasman seperti
berdialog dengan dirinya sendiri. Aku ternyata laki-laki yang tak punya arti.
Aku laki-laki sial. Aku tak punya harga bagi kehidupan ini. Sepantasnya semua
ini kuterima. Buktinya, keadaan keluarga ini tak sebaik sekarang. Dulu dan kini
berbeda sekali. Lewat usaha isterikulah keadaan sudah tersulap menjadi demikian
mentereng. Dulu, tak ada gedung seindah ini. Dulu, tak ada taman dan kolam ikan
sebagus ini. Dulu, tak ada mobil dan sepeda motor seperti sekarang.
Yah, ternyata isteriku membuktikan ucapannya. Dia
betul-betul pandai berusaha. Tapi usaha apa yang telah dilakukannya...? Hal ini
tak pernah diceritakan kepadaku. Juga pada anak-anak. Bagiku yang kutahu sejak
bintang suram melanda diriku, hanya kamar pengap di ujung rumah gedung ini,
batuk-batuk dan pesakitan. Selebihnya apa...? Diriku sudah dianggap seperti tak
pernah ada di rumah ini. Pantaskah jika aku harus heran menjumpai kenyataan
yang demikian...?
Pantaskah jika aku menjumpai sikap isteriku yang
luar biasa itu... Pantaskah aku menegurnya...? Sedang aku sekian lama harus
menjadi beban baginya. Juga bagi anak-anakku. Tapi... bagaimanapun toh aku ini
adalah suami dari isteriku sendiri. Aku toh ayah dari anak-anakku sendiri. Tapi
kenapa aku merasa demikian asing dengan pengakuan ini. Oh!
Pak Kasman terkejap sesaat. Dadanya terasa sesak
lagi. Tenggorokannya gatal lagi. Dan bunyi batuknya pun mulai melengking lagi.
Akhirnya disudahi dengan bunyi dahaknya yang jatuh ke dalam kaleng. Sejenak
hening. Kemudian terdengar bunyi nafasnya yang tak asing lagi itu mengantar
letihnya untuk tidur dengan sekian persoalan yang tak pernah selesai mengisi
otaknya.*****
Mohon Perhatian!
Dengan penuh kerendahan hati kami mohon pengertiannya agar tidak meng-copy-paste cerita yang termuat di blog ini kecuali seizin dari penerbit - kombatbuku@gmail.com
Dengan penuh kerendahan hati kami mohon pengertiannya agar tidak meng-copy-paste cerita yang termuat di blog ini kecuali seizin dari penerbit - kombatbuku@gmail.com
0 comments:
Post a Comment