by Darminto M Sudarmo
Senja itu udara diliputi mendung. Tak ada
angin bertiup sepoi-sepoi basah. Yang ada desiran angin puyuh. Menerbangkan
rumput kering menumbangkan ranting-ranting lapuk. Pada saat demikian, biasanya
orang enggan ke luar rumah. Lebih enak tidur menekuk kaki memeluk guling. Atau
tiduran berselimut bulu domba (jika punya). Tapi tidak demikian halnya dengan
Raden Antarja, si putra Bima yang sulung ini. Dia baru saja lulus dari
pendidikan militer yang maha dahsyat. Hasil gemblengan kakeknya sendiri Prof.
Antaboga yang punya istana di bawah tanah.
Saat itu di tangan Antarja telah terjinjing
seperangkat diploma yang menyatakan bahwa pemuda itu telah mampu menempuh
pendidikan dengan sangat memuaskan. Dia juga dibekali beberapa senjata khusus
yang ampuhnya luar biasa. Jika kita mengenal keampuhan tenaga bom atom yang
dijatuhkan di Nagasaki dan Hirosima, maka senjata yang dimiliki Antarja juga
tak beda dengan itu. Ramuan dan inti-inti komponen pemati lawan dibuat
sedemikian rupa oleh Prof. Antaboga yang kepandaiannya jauh di atas Albert
Einstein. Maka menurut Prof. itu, persiapan cucunya untuk menghadapi perang
Barata Yudha cukup sudah.
Dan Antarja berangkatlah dengan penuh
optimisme untuk meraih kemenangan. Khusus kali ini, jika tertawa, nampak
menonjol sepasang taring yang bersinar keemasan. Bukan sembarang taring, atau
sekedar menakut-nakuti lawan biar disangka sesaudara drakula, tapi itu taring
kencana, sebuah pusaka yang amat ampuh. Siapa saja yang kena gigit bakal
mampus. Jangankan manusia, kerupuk saja, eh besi saja bakal hancur jadi debu.
Pakaian yang dipakainya pun juga bukan sembarang
pakaian. Melainkan hasil pemberian sang kakek Profesor. Kebal peluru, kebal
panah, apalagi granat dan ranjau. Masih lebih dari itu, satu hal yang sangat
dicemaskan oleh para dewa dan terutama Prabu Sri Batara Kresna (sponsor perang
Barata Yudha dari pihak Pendawa), yaitu sebuah kesaktian Antarja yang tiada
duanya. Kemautannya dalam mencipok dengan cara menjilat pakai lidahnya. Siapa
saja yang kena jilat, tanggung langsung hangus jadi arang. Jangankan kulit
manusia (eh kulit manusia atau kulit wayang ya …? Atau wayang kulit?), bayangan
dari orang itu saja kena jilat Antarja bakal hangus lalu mampus. Nah bayangkan
…
Tapi senja yang mencekam itu, tetap tak
lepas dari pengamatan Prabu Kresna. Dia satu-satunya manusia yang mengetahui
dan ikut andil dalam penyusunan Kitab Jitapsara, sebuah buku yang berisi
skenario pertempuran Barata Yudha. Siapa yang bakal hidup siapa yang bakal
mati, telah lebih dulu diketahuinya. Maka sebagai orang yang ikut bertanggung
jawab terselenggaranya pertempuran itu, dia merasakan ketakseimbangan kekuatan
antara Astina dan Pendawa jika Antarja ikut perang. Sebab tak pelak lagi
pertempuran bakal batal. Kesaktian Antarja tiada tanding. Jangankan cuma
seorang dua orang Astina yang maju, semuanya maju pun bakal mampus dalam
sekejap. Dan kenyataan ini sangat tidak diharapkan oleh Kresna. Oleh karena itu
dia buru-buru mengadakan sidang kilat yang dihadiri oleh Pendawa Lima.
“Dinda Prabu Puntadewa, menurut para Dewa,
soal Antarja telah diserahkan pada saya. Apa pun yang harus saya lakukan, tetap
Dewa akan merestui. Bagaimana pendapat dinda?”
Puntadewa cuma menjawab anggukkan, lalu
menoleh ke Bima. Bima senyum diplomatis. Kresna membalas senyuman itu., tak
kalah diplomatisnya.
“Apa kira-kira Dik?”
“Kau bakal menyingkirkan, anakku kan …?”
Kresna masih tetap tersenyum.
“Mestinya kau bisa memahami persoalan ini
Bima …”
“Katakanlah terus terang, aku akan berusaha
memahaminya.”
Kresna lalu menjelaskan panjang lebar. Bima
manggut-manggut. Harus menekan perasaannya. Karena bagaimana pun sebagai
seorang ayah tetap tak tega membiarkan anaknya hendak dihabisi riwayatnya oleh
orang lain. Dan orang lain itu ternyata sahabat Pendawa dan sekaligus sponsor
Pendawa. Tetapi Bima cukup berpikiran jauh, maka meskipun sambil
termangu-mangu, dia tak berusaha mencegah ketika Kresna telah melesat ke luar
dari persidangan untuk menjemput Raden Antarja.
Sementara itu Raden Antarja yang tengah
berjalan menuju Amarta untuk menjumpai junjungan-junjungannya, dalam perjalanan
iseng-iseng mencoba kesaktiannya dalam hal cipok mencipok itu. Suatu ketika
dari balik gerumbul muncul seekor harimau besar dan dengan garang menerkam ke
arahnya. Antarja mengelak, lalu mendaratkan pukulan ringan ke tubuh harimau
itu. Raja hutan itu pun berkelit, tak kalah gesitnya. Antarja tentu saja agak
berang dipermainkan hewan usil ini. Maka dia berusaha memegang ekornya dan siap
menjilat salah satu bagian tubuh binatang itu. Usahanya sia-sia karena hewan
itu pun mampu mengelak dengan manis sekali. Bahkan Antarja kehilangan
keseimbangan diri dan akhirnya terjatuh. Di luar dugaannya, mulutnya mencium
tanah bekas tapak kaki harimau itu dan lidahnya cuma sedikit menyentuh tapak
kaki hewan perkasa itu. Tapi hasilnya luar biasa. Harimau itu mendadak hangus
lalu mampus. Antarja sejenak terkesiap melihat kesadisan ilmunya. Lalu dia pun
melanjutkan perjalanan lagi.
Di tengah jalan dia berjumpa dengan Prabu
Kresna, sang Uwa. Maka dengan hormat dia menyampaikan sembah.
“Oiiiii selamat datang anakku ngger Antarja
… bagaimana kabarmu …?”
“Kabar baik-baik saja Wa. Cuma belakangan
ini istana kakek sering dapat gangguan oleh bor-bor yang mencari minyak bumi,
sehingga banyak genteng istana pada berlubang dan remuk.”
“Aii … itu kabar menarik anakku. Kau tahu
sumber-sumber minyak bumi sekarang banyak yang sudah kering. Dunia mulai
dilanda krisis energi dan bahan bakar. Tapi jangan kuatir, kelak kalau Pendawa
menang dalam pertempuran Barata Yudha, pasti para sarjana dan para ilmuwan
dapat kesempatan lebih banyak untuk mengadakan eksperimen guna mendapatkan ganti
bahan bakar yang hampir habis. Oh ya, omong-omong … sekian lama kau sekolah
militer sudah dapat sesuatu yang kau andalkan untuk menghadapi Astina nanti?”
“Tentu saja Wa. Hamba sudah sangat siap.”
“Uwa dengar kau punya jimat ampuh berupa
‘Bisa Anta’ pemberian Oom Profesor Antaboga. Benarkah itu Antarja?”
“Benar Wa.”
“Bagaimana menggunakannya anakku?”
“Hamba cukup menjilat tapak kaki musuh,
lalu dia bakal mati hangus.”
“Betulkah itu?”
“Betul Wa.”
Kresna dengan lihai menunjukkan tapak kaki
Antarja sendiri yang diakui tapak kakinya.
“Kalau begitu Uwa ingin menguji, coba kau
jilat tapak kaki Uwa ini …”
Antarja tanpa pikir panjang, lalu melakukan
perintah Uwanya itu. Dan tanpa dia duga, tubuhnya tiba-tiba hangus, lalu dia
pun menemui nasib seperti harimau di semak-semak tadi. Mati. Tapi tubuhnya
segera muksa. Lenyap dan Dewa segera menjemputnya untuk diantar ke surga.
Tak lama kemudian datang rombongan dari
Astina yang dipimpin oleh Baladewa dan Adipati Karna. Tak ketinggalan pula
patih Sengkuni. Sedianya mereka hendak menjemput Kresna untuk dibawa ke Astina,
karena diketahui Kresna sudah bangun dari tapa tidurnya.
Maksud mereka hendak memutasikan Kresna
ternyata diam-diam telah diketahui oleh Arjuna yang tiba-tiba sudah berada di
situ. Maksud mereka segera ditolak Arjuna dengan tegas. Baladewa yang terkenal,
dalam soal berang-memberang, segera mencabut senjata Nenggalanya lalu
diterjangkan ke tubuh Arjuna. Arjuna mengelak, Nenggala yang ampuh itu menancap
di bumi. Bumi yang merasa kesakitan, mencoba kasih pelajaran sama Baladewa, dia
jepit kuat-kuat senjata itu, sehingga Baladewa tak mampu mencabutnya, bahkan
tubuhnya pun juga ikut terjepit tanah. Baladewa teriak-teriak minta tolong sama
Kresna.
“Kres … Kres …! Waktu kecil kalau kau rewel
minta es krim aku yang belikan. Kalau kau mau pipis aku yang buka celanamu.
Kalau kau pengin mandi aku yang menimbakan air. Kini kau lihat saudaramu dalam
kesulitan kau tega diam saja…?”
Kresna segera mendekati abangnya.
“Mas Bala … you sebenarnya tak usah mengungkit-ungkit
masa lalu. Kalau soal menolong … jangankan kau kakakku sendiri, biar kau musuh
bebuyutanku pun kalau dalam kesulitan lalu minta tolong dan aku bisa
menolongnya, tentu aku tolong. Nah … Mas, kau bisa lolos dari amarah bumi, jika
kau mau sumpah dan janji untuk sedia memberi apa saja kepada orang yang meminta
sesuatu kepadamu. Bagaimana?”
“Baiklah …” jawab Baladewa sambil menahan
rasa nyeri.
Tak lama kemudian Baladewa terlepas dari
jepitan bumi, tiba-tiba muncul seorang Cantrik yang dekil dan bau apek yang
minta sesuatu padanya.
“Kau mau minta apa he Cantrik?”
“Hamba tak hendak minta emas maupun perak,
cukup hamba minta Permaisuri Mandura, Dewi Erowati istri paduka.”
Mendengar permintaan Cantrik yang nyentrik
ini, tentu saja Baladewa kumat lagi bluderknya. Dia ambil Nenggalanya lalu dia
lemparkan ke tubuh Cantrik itu. Cantrik dekil itu berubah jadi Arjuna,
sementara senjata ampuh tadi menancap lagi ke perut bumi. Dijepit lagi.
Baladewa hendak mengambilnya lagi. Kali ini dia justru terperosok tubuhnya
hingga sebatas leher. Dia lalu teriak-teriak lagi persis anak kecil. Sesekali
juga keluar air matanya. Entah air mata buaya atau bukan. Yang jelas kalau
tidak buaya darat, ya buaya putih hasil sulap yang bikin keqi itu.
“Aku mau menolongmu Mas jangan kuatir,”
jawab Kresna,”tapi ketahuilah ulahmu yang kedua ini, kau telah berbuat dosa
untuk yang kesekian kalinya pada bumi. Maka hukumannya juga semakin berat.”
Baladewa berjanji, apa saja yang dinasihatkan adiknya bakal dia ikuti. Asal
selekasnya bisa dibebaskan dari jepitan bumi yang luar biasa itu. Baladewa lalu
disuruh bertapa, sebab dia memang tak memihak mana pun, maka tak ada musuhnya
dalam perang Barata Yudha.
Sementara itu Adipati Karna dan Patih
Sengkuni yang merasa berada di bawah angin segera bergegas mengangkat sarungnya
tinggi-tinggi, lalu memerintahkan bala tentara bergerak mundur.
“Benar Oom Sengkuni, jika kita turutkan
kata hati bisa berabe, saat ini posisi kita sedang kurang good. Maka menurut
hemat saya, kita laporkan hal ini pada Adik Prabu Duryudana. Siapa tahu jika
yang berkenan membujuk Kanda Kresna Adik Prabu Duryudana sendiri, bisa
berhasil. Bukankah begitu Oom …?” tukas Adipati Karna seraya membetulkan celana
kolornya yang berkali-kali melorot ke bawah.
“He … he … he kurasa pendapat Nak Karna
juga sama dengan pemikiran Oom. Nah, Astina sudah dekat!”
Karna dan Sengkuni memberi isyarat pada
komandan barisan. Iring-iringan itu terus bergerak ke Alun-alun istana,
sementara Karna dan Sengkuni sambil sedikit mengendap-endap bergegas menuju ke
Steambath.
“He manajer! Sediakan dua nona manis. Kami
berdua habis bertempur hebat, kami butuh ahli pijat yang bisa mengembalikan
otot-otot pada fungsinya semula ngerti!” gertak Sengkuni sambil menyeka
keringat di dahinya, yang cuma sebiji jagung acan.
“Baik … baik Oom Seng …” sahut manajer
tergopoh-gopoh.
“Apa? Kau panggil aku Oom …? Tuanku! Bisa
nggak? Kalau tidak kucabut izin usahamu.”
“Ya … ya … ya maafkan Tuanku.”
Terburu-burunya cerita, rombongan kali ini
dipimpin langsung oleh raja agung binatara Prabu Duryudana dan sampai di
wilayah Pendawa sekitar pukul delapan belas waktu Pendawa Bagian Timur.
Kedatangan raja besar itu disambut langsung oleh Prabu Kresna. Setelah
berbasa-basi sejenak, Duryudana menyelipkan seikat amplop ke balik jas Kresna
seraya membisikkan sesuatu. Kresna menolak dengan halus. Duryudana menyerahkan
kunci mobil. Kresna menolak dengan halus. Duryudana menyerahkan sebuah potret
wanita cantik, Kresna menolak dengan agak kasar.
“Sudahlah Adik Prabu Duryudana, saya punya dua
alternatif yang harus Adik pilih salah satu. Yakni, mana yang Adik pilih satu
orang atau sejuta pasukan lengkap dengan persenjataannya.” Selesai berkata
demikian Kresna lalu mencipta sejuta pasukan yang seolah-olah tampak berbaris
dengan rapi di Alun-alun.
“O .. o .. o kalau itu yang Kanda Prabu
Kresna sodorkan, tentu saja saya lebih cenderung pilih sejuta pasukan dong!”
Seusai menerima sejuta pasukan Duryudana
segera mundur ke Astina. Tapi setelah sampai di wilayah Astina, pasukan sejuta
itu hilang lenyap. Bukan main marahnya Sang Duryudana, maka sejak saat itu dia
telah mengancam suatu saat pasti mau balas sakit hatinya pada Prabu Kresna yang
keterlaluan itu.*****
Mohon Perhatian!
Dengan penuh kerendahan hati kami mohon pengertiannya agar tidak meng-copy-paste cerita yang termuat di blog ini kecuali seizin dari penerbit - kombatbuku@gmail.com
Dengan penuh kerendahan hati kami mohon pengertiannya agar tidak meng-copy-paste cerita yang termuat di blog ini kecuali seizin dari penerbit - kombatbuku@gmail.com
0 comments:
Post a Comment