by Darminto M Sudarmo
Usai pelajaran, kira-kira jam satu siang,
datang seorang siswi ke kantor guru. Dengan sekian rasa gugupnya yang tak bisa
disembunyikan itu, dia celingak-celinguk mencari seseorang yang tak kunjung
ditemuinya.
“Kau cari siapa Nin?” tanya seorang guru.
“Anu Pak … saya hendak menemui Pak Yos.”
Guru itu melemparkan pandangannya ke
seluruh ruangan. Tak juga orang yang dia cari nampak batang hidungnya.
“Pak Yos sedang ke mana sih?” tanya guru
itu ke sembarang orang.
“Lagi ke belakang Pak.” Jawab seseorang.
“Nah, Nina kau dengar kan? Pak Yos sedang
ke belakang.”
“Baik Pak, saya permisi dulu …”
Nina melangkah surut langsung memacu
kakinya ke jurusan yang dia tahu pasti tempatnya. Beberapa saat lamanya dia
menunggu di depan WC, tak juga orang yang ditunggunya muncul. Meskipun begitu
dengan sabarnya dia mengendalikan kata hatinya. Sambil duduk di atas sebuah
bangku, dia membuka buku-buku pelajaran sekenanya. Nina pun tak peduli ketika
perutnya telah memainkan sebuah lagu dengan nada tak beraturan.
Kesabaran Nina membuahkan hasil juga, sebab
tak lebih dari seperempat jam Pak guru yang dia tunggu-tunggu telah muncul di
hadapannya.
“Lho, sudah sesiang ini kau belum juga
pulang Nin?”
“Iya Pak, saya bahkan sedang menunggu
Bapak.”
“Sedang menunggu saya? Ada perlu apa pula?”
Nina menundukkan muka sambil mencari-cari
sesuatu ke dalam tasnya. Pada saat itu Pak Yos sempat menyaksikan sembirat rona
merah jambu yang menghiasi pipi Nina. Bahkan kalau guru itu cermat menyaksikan
tangan mungil milik muridnya yang manis itu, maka terlihatlah jari-jari itu
bergerak gemetar. Lembut sekali.
“Saya hanya ingin menyampaikan ini kepada
Bapak.”
“Surat?”
“Iya Pak.”
“Surat izin?”
“Bukan Pak.”
“Surat apa sih?”
“Pokoknya surat untuk Bapak. Oh ya
nampaknya sudah siang saya permisi dulu Pak, terimakasih lho Pak atas
perhatiannya.”
Nina dengan gesit langsung menuju Honda
bebeknya dan memacu gas dan lenyap dari pandangan gurunya. Pak Yos tertegun
beberapa saat lamanya dengan seperangkat pikiran yang penuh tanda-tanya. Surat
itu pun dia masukkan ke saku celananya. Lalu melangkah ringan sambil
geleng-geleng kepala.
Sesampai di rumah, Pak Yos, guru muda yang
masih single itu, serasa tak sabar hendak membuka surat yang membuat hatinya
tak tenang. Tetapi begitu tangannya meraih ujung amplop, seseorang mengetuk
pintu kamarnya.
“Nak, makan siang sudah tersedia. Keburu
dingin lho.” Ujar ibu kost dari balik pintu.
“Baik Bu, saya segera datang.”
Tak sadar sambil menyuapi nasi pikirannya
melayang ke suatu jurusan yang membuat hatinya berdebar-debar.
Apa maksud Nina anak kelas tiga sos itu?
Beberapa saat lamanya Pak Yos
termangu-mangu, sehingga ibu kost sambil bergurau sempat menyindir. Dan
akhirnya sambil menyembunyikan rasa kagetnya dia memacu sendoknya. Lalu seusai
semua keperluannya dengan rasa penuh dag dig dug dia raih ujung amplop itu dan
siap menyobeknya.
Tanpa diduga seorang.anak kecil, putra ibu
kost masuk ke kamarnya dan ikut nimbrung.
“Surat apaan itu Oom?”
Duh! Gobloknya saya, kenapa lupa ngunci
kamar?
Untuk tidak mengecewakan anak kecil itu,
dia jawab sekenanya.
“Surat dari Ibu Oom yang di sana.”
“Kok amplopnya pakai bunga Oom?”
“Oh tentu, Ibu Oom senang bunga. Seperti
Evi juga senang bunga kan?”
“Iya dong. Entar kalau amplopnya udah nggak
kepakai, boleh dong dibagi buat Evi ya Oom?”
Sejenak dia termangu-mangu. Memandangi anak
kecil itu dengan bola mata kosong. Dan setelah menemukan jawaban yang tepat dia
pun segera menyahut,
“Oh tentu nanti Evi boleh memiliki amplop
ini setelah Oom tak memerlukannya lagi. Nah, Evi sekarang boleh bermain di
luar. Tuh, teman-temannya sudah pada manggil.”
Anak kecil itu dengan tawa riang lalu
bergegas dari kamar tidur Pak Yos, dan menghambur menuju teman-temannya yang
bermain di luar rumah.
Guru muda itu menghela nafas lega. Tak
urung secuil rasa gugup menggelitik sarafnya. Maka agar tak terlalu nampak bagi
orang lain, atau terutama bagi dirinya sendiri, dia bunyikan tape recorder
dengan suara sedikit keras. Lalu dengan hati-hati dia menutup pintu kamarnya.
Sekaligus menguncinya. Seperti belum lama dia alami, kali ini, begitu ujung
jarinya menyentuh amplop itu terdengar pintu kamarnya diketuk orang.
“Maaf nak Yos, ada tamu untuk Nak.”
Dengan jantung nyaris mencolot, dia lalu
segera menyahut.
“Oh ya Bu, sebentar saya ke luar.”
Guru muda itu keluar kamar dengan sedikit
tergopoh-gopoh. Dan menemui tamunya dengan segudang kekecewaan. Sebab tamu itu
datang tanpa dengan maksud yang praktis. Hanya seorang yang merasa memiliki
sepotong hati tua, yang merasa tersingkir dari keluarganya. Anak istrinya, dan
merasa pula menemukan teman ngobrol yang pas. Yang bisa menyejukkan hatinya.
Yaitu Pak guru muda Yos. Siang itu, yang sesungguhnya saat yang baik bagi orang
kantoran yang gemar istirahat siang, telah disabot habis oleh tamunya. Tamu
yang datang dengan segudang keluhan dan permintaan perlindungan. Setidaknya
persetujuan. Atau kadang pula dia cukup merasa sangat berbahagia jika dia
menumpahkan sekian uneg-uneg, lalu guru muda yang arif itu mau
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu membenarkan semua ucapannya. Atau kadang
pula mengucapkan sepotong dua potong kalimat yang pas dan membuat hatinya aman.
Biasanya setelah itu, orang tua itu lalu
pamit pulang dengan wajah bersinar dan penuh rasa percaya diri.
Tapi siang ini dia tak melakukan itu. Siang
ini orang tua itu begitu kerasan meletakkan pantatnya di bantalan kursi dan
berbincang-bincang dengannya. Berkali-kali Pak Yos memberikan isyarat halus,
lewat menguapkan mulutnya sambil ditutup jari-jari tangannya, tak juga tamu itu
menangkap maksudnya.
Meskipun demikian karena dia tak tega
mengecewakan tamunya, dia layani orang itu sampai kapan pun. Meskipun pula saat
dia berusaha melayani itu, tak urung lolos juga khayalannya, terutama tertuju
pada surat mungil dan si pemberinya. Muridnya sendiri! Si Nina yang kelas tiga
sos dua es em a lima. Peristiwa tak lebih dari lima detik siang tadi begitu
mengusik pikirannya. Dan membuatnya sibuk bertanya-tanya.
Guru muda itu menengok arloji yang
dikenakannya, sejenak dia menghela nafas. Telah lebih dari dua jam. Gila juga!
Padahal seperempat jam lagi dia harus mengajar di es em a sore. Maka kali ini,
setelah dia mengeluarkan sekedar minuman dan hidangan kecil, berusaha
setega-teganya untuk ‘mengusir halus’ pada tamunya yang nampak semakin riang
dan interest.
“Maaf Pak Kurdi jam tiga seperempat saya
harus mengajar lagi. Bapak boleh bersantai di sini sambil mencicipi sekedar
roti. Saya akan ke belakang dan menyiapkan buku-buku.”
Orang tua itu ternganga dan melongo
lebar-lebar. Lalu merasa sangat bersalah. Pak Yos menyesal juga, padahal dia
sudah berusaha sehalus mungkin menyusun kalimat. Masih juga orang tua yang
memang berhati rapuh itu, menjadi tersinggung karenanya. Tetapi apa boleh buat,
toh ketergesaan sang tamu yang langsung minta pamit, bisa diobat dengan ucapan,
kapan-kapan atau sering-seringlah pak main ke mari atau pula saya sangat
menunggu kedatangan Bapak, dan sebagainya. Dan nampaknya guru muda itu mampu
memberi kemampuan pada sang tamu, sehingga orang tua itu bisa memakluminya.
Belum semenit sang tamu meninggalkan
ruangan itu, terdengar jam wekker di kamarnya berdering nyaring. Pak Yos
cepat-cepat membersihkan diri lalu bergegas ganti pakaian dan tak lupa meraih
surat mungil itu sebelum dia berangkat ke sekolah sore. Tentu saja sambil
mikir-mikir barangkali ada waktu kosong yang bisa dimanfaatkan untuk membaca surat.
Tetapi masih juga kesialan yang harus dia terima. Sebab tak semenit pun dia
punya waktu enak dan situasi memungkinkan untuk membaca surat itu. Akhirnya
hanya bisa menghela nafas dan geleng-geleng kepala.
Dan sore itu Pak Yos pulang dengan langkah
ringan sambil berharap dan sangat berharap malam nanti bisa membacanya. Dan
sejentik kecemasan menghantuinya jika saat membacanya sudah terlambat. Siapa
tahu surat itu berlaku untuk keperluan malam itu. Tapi apa daya. Sebab
kenyataannya memang harus demikian.
Sebagaimana yang dia harapkan, malam
harinya ada cukup waktu buat membaca sepucuk surat yang masih menyimpan tanda
tanya. Dan juga sekian signal yang membuat hatinya berdenyut-denyut. Seperti
apa sesungguhnya isi surat itu. Tentang itukah …? Sebab guru muda itu tahu
betul, sikap Nina memang belakangan ini agak lain. Sering ketangkap basah lagi
ngelamun. Dan lebih gemar berdiam diri. Padahal dulu dia ‘kemrewek’-nya nggak
ketulungan. Lincah, segar dan tukang omong. Namun kali ini, seolah tengah
menyangga suatu beban yang tersimpan di dalam kalbunya. Kalbu yang penuh kabut
dan misteri. Dan kenyataan itu justru semakin membuat hati Pak Yos menggelepar
tak keruan rasanya. Sebabnya tak lain … karena dia mulai menghubung-hubungkan
semua itu dengan kenyataan yang barusan di hadapinya. Dengan kenyataan yang
sedang dialaminya.
Dan dengan segenap perasaan yang amat
dipersiapkannya, mulailah Pak Yos membuka surat itu dan membacanya dengan
jantung berdebar-debar.
Pak Yos yang terhormat,
Pertama sekali Nina mohon maaf
sebesar-besarnya, karena mungkin sekali surat Nina ini akan banyak mengganggu
Pak Yos. Sengaja Nina menempuh lewat cara ini, karena kalau mau mengutarakan
secara langsung Nina tak sanggup.
Sebabnya tak lain karena Nina malu. Ya,
Nina sangat malu jika masalah ini sampai ketahuan teman-teman Nina atau Bapak
Ibu guru yang lain.
Sejurus lamanya Pak Yos, guru muda itu,
menghirup asap kreteknya dengan jantung kian menggayut-gayut. Dan karena tak
sabar, dilanjutkannya dia meneruskan kalimat demi kalimat dengan tangan
gemetar. Ya, tangan gemetar!
Begini Pak Yos,
Belakangan ini keluarga kami dilanda
kericuhan total. Itu terjadi sejak ayah kawin lagi. Ibu saya telah diceraikan.
Beliau seperti orang yang nyaris kehilangan kesadarannya. Beliau sering hanya
berdiam diri di kamar berlama-lama. Anak-anak tak ada yang ngurus. Otomatis
saya sebagai anak tertua harus menghadapi problem yang bertumpuk itu sekaligus
mengambil alih fungsi ibu, sementara tugas-tugas sekolah pun kian memberat.
Saya sadar, sebab saya sudah kelas tiga!
Terus terang saja, saya hanya mohon
bimbingan Bapak, sebab selama ini saya pandang Bapak sebagai guru Bimbingan dan
Penyuluhan di sekolah kami, telah banyak membuahkan hasil dalam menolong
menyelesaikan masalah.
Sehubungan dengan itu, saya mohon kesediaan
Bapak untuk melamar Ibu saya, saya tidak mengharapkan orang lain menjadi ayah
saya selain Bapak Guru.
Atas perhatian Bapak, tak lupa saya
mengucapkan banyak terimakasih.
Hormat saya,
Nina
Sesaat lamanya guru muda itu termangu-mangu
dengan pandangan yang amat kosong. Lalu sekenanya dia berusaha membalikkan
total rasa yang sempat mampir tadi. Lalu dia pandangi wajahnya sendiri di
cermin. Dia merasa sangat menyesal dan malu pada hatinya sendiri!
0 comments:
Post a Comment