by Darminto M Sudarmo
Tepat tengah hari. Terik. Aku
mengubah diriku menjadi angin. Seperti kebiasaanku yang sudah-sudah, aku selalu
mudah bergerak dan menyelinap ke mana-mana. Sesuka hatiku. Ke tempat yang
paling tersembunyi atau paling rahasia sekalipun; semua mudah saja kumasuki.
Bisa kusaksikan segalanya. Bisa kudengar semua suara, bunyi-bunyian; bahkan,
bisik-bisik yang sangat halus.
Gorong-gorong, emperan toko,
terminal-terminal bus kota, kafe-kafe yang bercahaya remang, hingga gedung
tinggi, hotel berbintang-bintang, tak ada masalah sama sekali. Aku bisa datang
dan pergi sesuka hatiku. Aku bisa tinggal untuk waktu yang lama atau hanya beberapa
detik saja. Sampai suatu ketika aku berada di sebuah ruang rapat sebuah
perusahaan besar. Aku nyaris terlonjak ketika mendengar suara seseorang dengan
nada tinggi menguasai ruangan.
"Payah! Sepertinya tak ada
prospek apa-apa di tahun depan. Perusahaan ini kita nyatakan pailit saja. Para
karyawan kita PHK. Dan kita pikirkan soal kita di lain waktu..." ujar
seorang direktur utama di sebuah perusahaan. Entah perusahaan apa; kupingku
sudah terlalu ngilu mendengar kata PHK. Dirut itu duduk di kursi paling ujung,
membelakangi white board dan di depannya, duduk melingkar para direktur.
Seorang direktur, sepertinya
direktur pemasaran, mengacungkan tangan, "Sebentar, Pak. Saya rasa,
keadaan tak mungkin bakal menjadi demikian gawat seandainya saran-saran kita
mengenai perbaikan produk dijalankan dengan semestinya."
Seorang direktur lain, tentu saja
direktur produksi, mendadak berdiri dengan wajah merah menahan marah.
"Tunggu! Saudara Direktur Pemasaran, Anda jangan asal ngomong. Enak saja.
Seluruh upaya untuk mencapai tataran mutu yang dikehendaki telah kami upayakan
sebaik-baiknya; bagaimana mungkin Anda bisa begitu ngawur dan asal menyalahkan
pihak lain saja? Saya jadi ragu, apakah Anda pernah membuat proyeksi
program-program pemasaran dan target yang bisa dicapai setiap tahunnya? Apakah
Anda pernah melakukan survei mengenai keinginan konsumen kita; dari cara Anda
ngomong, sepertinya Anda bukan orang yang menguasai bidang yang Anda pegang
saat ini; betul kan, itu?"
"Diammm!" teriak Direktur
Utama sambil menggebrak meja. "Apa gunanya mengungkit-ungkit masa lalu?
Kalian semua lihat, kita sudah gagal. Kita semua. Ya, kita semua tolol! Kita
tidak mampu melakukan efisiensi, tidak mampu melakukan terobosan, tidak mampu
melakukan manuver, tidak mampu menangkap isyarat-isyarat situasi gawat yang
bakal muncul. Kita cuma pintar omong besar. Terlena. Terus menerus utang ke
bank. Lalu...ketika krisis rupiah itu datang, ketika bank memberlakukan
penyesuaian bunga dan fluktuasi rupiah terhadap dolar, kita cuma bisa bengong,
persis kambing congek. Dan setelah neraca kita buat, kita semua merasakan
sepertinya tali tiang gantungan sudah melilit di leher kita
masing-masing."
Ruangan rapat direksi tiba-tiba
hening. Hanya suara jarum jam dinding yang terdengar berdetak. Direktur Utama
menatap wajah para direktur dengan tajam. Tapi semua direktur tak sanggup
menatap sorot mata Direktur Utama yang seperti menyala sesilau matahari itu.
Adegan di hadapanku benar-benar
mendebarkan. Hampir saja aku tak kuat dan nyaris beranjak untuk melihat-lihat
pemandangan lain. Namun ketika tiba-tiba tangan Direktur Utama mencari-cari
sesuatu ke dalam tas kerjanya, aku jadi tertarik ingin melihat peristiwa apa
lagi yang bakal terjadi.
"Ah, tidak mungkin. Aku tadi
sudah merasa membawanya dari rumah. Sudah kumasukkan, persis di bawah
berkas-berkas laporan. Tidak mungkin kalau benda itu hilang begitu saja. Atau
ada di antara kalian yang mengambilnya?"
"Be-be-benar, Pak. Sayalah yang
mengambil benda itu. Saya tidak sanggup menyaksikan Bapak tersungkur di lantai
dengan kepala bermandikan darah," ujar sekretaris dengan terbata-bata.
Tiba-tiba tawa Direktur Utama
meledak. "Ngomong apa kau sekretarisku yang cantik? Ha-ha-ha, kau pikir
aku akan menembak kepalaku dengan benda itu? Ah, yang benar saja. Mana mungkin
itu. Sudara-saudara, lihat baik-baik wajah saya; apakah ada tanda-tanda saya
termasuk orang yang mudah bunuh diri karena lari dari krisis dan kesulitan?
Coba jawab, ya atau tidak?"
Para direktur saling pandang. Mereka
tampak ragu. Sesaat kemudian satu dua orang menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ketika ditunggu beberapa saat tak muncul reaksi yang mengkhawatirkan dari
Direktur Utama, para direktur yang lain ikut menggelengkan kepalanya.
Tiba-tiba...
"Kalian bodoh! Dan benar-benar stupid.
Tak ada yang bisa menyelematkan muka dan harga diri kita dari situasi krisis
ini. Satu-satunya cara hanya dengan menembak kepala atau terjun dari gedung 60
lantai ini. Sudah terlalu sering kita memaafkan kesalahan dan kebodohan
sendiri, terlalu sering. Kalian pikir cukup dengan maaf, lalu keadaan akan bisa
kembali normal? Noway! Kita mesti berani memulai sesuatu yang bisa
mengesankan pihak lain:; yakni melakukan pengembalian nama baik dan kehormatan
dengan cara: menembak kepala atau terjun dari lantai 60 ini. Itu saja. Ada
usul?"
Sesaat hening. Para direktur saling
pandang.
"Ada, Pak. Saya pikir, gagasan
Bapak itu bagus. Khususnya untuk upaya mengembalikan nama baik dan kehormatan.
Itu sangat saya dukung. Cuma, caranya saya tidak suka. Bagaimana kalau upaya
itu dilakukan tapi tidak perlu bunuh diri atau terjun dari lantai 60?"
ujar Direktur Penelitian dan Pengembangan.
"Benar, Pak. Saya setuju usul
Saudara Direktur Penelitian dan Pengembangan tadi. Cara-cara seperti yang Bapak
sampaikan tadi itu tidak sesuai dengan budaya bangsa kita. Budaya bangsa kita
tidak mengenal pengembalian kehormatan dan nama baik dengan menembak kepala
atau terjun dari gedung tingkat 60..."
"Lalu dengan apa? Cepat
katakan, dengan apa???!" sela Direktur Utama dengan nafas memburu.
"Anu...anu...setidaknya ada dua
cara. Pertama dengan s-o-m-a-s-i dan kedua dengan k-o-n-s-p-i-r-a-s-i."
"Somasi dan konspirasi? Apa
maksudmu? Awas, jangan ngawur, lho."
"Lho, ya harus ngawur. Kalau
tidak ngawur, mana bisa kita yang jelas-jelas salah ini punya nyali untuk
berdiri sebagai pihak yang paling benar? Mana bisa kita bilang bahwa bencana
yang menimpa perusahaan kita karena ulah pihak ketiga? Karena ulah kambing
hitam dan sebagainya...?"
Direktur Utama tampak
termangu-mangu. Jarum jam dinding tampak terus berputar. Aku menunggu dengan
penasaran. Berharap ada sesuatu yang menarik terjadi. Tapi yang kusaksikan
sungguh sebaliknya. Mereka semua terdiam. Tidak sepatah kata pun keluar.
Sesekali terdengar dehem atau batuk kecil dari salah seorang direktur, tetapi
selanjutnya hanya kebisuan melulu. Aku jadi bosan dan bergerak menuju ke tempat
lain.
*
Dua bulan lebih aku keluyuran dengan
wujud diriku sebagai angin. Bosan juga. Aku ingin mengubah diriku menjadi
sesuatu, tapi aku merasa belum punya ide yang agak menggugah. Untuk sesaat aku
menihilkan diri. Tanpa bentuk, tanpa hasrat, tanpa rasa.
Inikah keadaan yang sering disebut
orang sebagai kondisi Alfa? Sebuah keadaan yang sangat dekat dengan pintu
ilahiah. Seorang guru ahli meditasi pernah berkata padaku, bila seseorang
memiliki keinginan dan mampu mengutarakan keinginan itu, kendati dalam batin,
maka keinginan itu akan dengan sendirinya membentuk semacam energi. Dan energi
itu akan dengan sendirinya pula "bekerja" dan berupaya keras agar supaya
bisa terwujud.
Banyak orang suci mampu menciptakan
keajaiban-keajaiban semacam itu. Mungkin itu bermanfaat bagi diri sendiri
maupun orang-orang di sekelilingnya. Tapi aku tak mau terseret ke misteri yang
sering disebut orang sebagai rahasia gaib itu. Aku bukan orang suci. Bukan juga
orang jahat. Tapi, benarkah aku ini orang? Belum tentu juga. Ah, aku tak mau
pusing karena soal itu. Aku hanya ingin tidak ngapa-ngapain; itu saja.
*
Pertengahan Desember Jakarta sudah
mulai diguyur hujan. Lumayan lebat. Beberapa tempat yang tergolong rendah dan
saluran airnya jelek, mulai diganggu banjir. Banjir lokal, memang; tapi, kalau
orang berjalan kaki sambil menuntun sepeda motor, maka yang tampak adalah dada
dan kepala orang itu. Tempat-tempat yang tergolong sial semacam itu bisa
dijumpai di mana-mana; berpencaran. Tapi, tak semua tempat di Jakarta banjir
pada saat musim hujan. Ada saja yang aman. Musim hujan maupun musim kemarau
tetap bersih; tidak becek maupun berdebu. Selain jalan-jalan itu beraspal,
biasanya karena diuntungkan oleh lokasi yang strategis. Misalnya di daerah yang
lebih tinggi, saluran airnya bagus dan warganya hidup secara baik; tidak
membuang sampah sembarangan, tidak mengotori lingkungan seenak perutnya
sendiri.
Desember, Jakarta, hujan dan banjir
selalu berkaitan dengan perasaan dan hati nurani warganya. Tetapi pada Desember
ini, konon warga Jakarta bukan saja sedang dilanda "duka" karena
terjadinya berbagai musibah dan kejahatan yang gencar diberitakan televisi
dengan sangat rakusnya, tetapi ada "duka" lain yang sangat menikam
mental mereka; yakni, semua warga menderita rabun. Dekat maupun jauh. Terutama
pada saat mereka melihat angka-angka nominal uang mereka. Kadang jelas, kadang
tidak. Celakanya lagi, berita bahwa yang menderita rabun itu hanya orang
Jakarta dan sekitarnya, segera dibantah oleh sumber-sumber dari daerah; karena
nyaris orang seluruh negeri yang terkena wabah rabun dan datang dengan sangat
dadakan itu.
Sudah puluhan, ratusan bahkan ribuan
dokter mata dimintai konfirmasinya, tetap saja mereka bingung menjawabnya;
karena mereka sendiri juga sedang menderita penyakit serupa.
"Kok tiba-tiba jadi buram
begini, sih? Mau apa-apa aku jadi bingung. Serba ragu. Yang kusangka aci
ternyata gandum; yang kusangka nasi ternyata tiwul. Tadi malam, aku membayar
ongkos taksi dengan uang yang pasti nilainya tidak kecil. Aku jadi kaget,
ketika sopir taksi dengan garang membentak bahwa jumlah itu masih kurang.
Kutambah lagi. Kemudian sopir itu tersenyum. Aku tak tahu pasti, bagaimana
perasaan yang berkecamuk dalam dirinya; kurasa ia juga ragu-ragu bahwa
angka-angka yang tertera dalam uang itu pasti belum jelas benar baginya. Ia
juga khawatir, jangan-jangan ongkos itu kebanyakan atau bahkan masih kurang?
Payah benar. Mengapa tak ada dokter mata yang tahu secara pasti motif di balik
wabah yang tiba-tiba dan membuat orang seluruh negeri bertanya-tanya,"
ujar seorang laki-laki dengan rambut acak-acakan, dasi miring dan jas terpuruk
di lantai sebuah cafe kepada seorang temannya yang tampak sudah setengah mabuk.
"Apa? Kamu ngomong apa, tadi?
Jangan bicarakan lagi soal Direktur Utama yang gebleg itu. Dia itu sama saja
dengan kita: pengecut. Siapa itu yang nembak kepala, siapa itu yang terjun dari
gedung tinggi dan jatuh ke bawah dengan kepala remuk? Tidak ada. Berani benar
dia bilang kalau kondisi moneter saat ini sedang krisis; emangnya dia
dewa? Yang jelas, pikirannya, kesehatannya,
sedang krisis. Dia harusnya konsultasi ke psikiater. Itu pasti akan
lebih menolong situasi. Bicarakan baik-baik sama si psikiater. Katakan kalau
dia merasa berdosa karena ada main sama sekretarisnya. Katakan kalau hatinya
sedang hancur, karena istrinya di rumah ada main sama Paijo, si tukang kebun.
Katakan dengan jujur, kalau dua anak perempuannya dibawa lari play boy kampungan
dan tiga anak laki-lakinya tenggelam di kubangan ecstasy. Apa sih
sulitnya berbicara jujur? Semua orang punya masalah bukan? Eh, ngomong-ngomong
kok wajahmu tampak makin kabur dan kelihatan empat?" geremengan laki-laki
yang semakin mabuk itu makin tak keruan dan akhirnya terkulai, lalu diam.
Si rambut acak dan dasi miring
menatap kawannya sambil tertawa kosong. Ia tak peduli, orang-orang yang duduk
melingkar di kelompok meja masing-masing kafe itu juga tenggelam dengan
urusannya masing-masing. Ia tetap nekad bicara. Buka mulut. Setidaknya, sebagai
manusia ia merasa agak lengkap, telah mencoba mengungkapkan isi hatinya dengan
keberanian yang tumbuh dari dalam. Ia bicara dan pada saat berbicara itu
wajahnya dia arahkan pada kawannya yang telah terkulai tanpa suara itu.
"Benar, Kawan. Kamu benar.
Benar sekali. Hari ini aku kagum padamu. Tak kusangka kamu betul-betul pandai.
Kamu memang pantas menjadi seorang direktur. Punya anak buah banyak.
Kadang-kadang bisa mengambil keputusan sendiri pada saat Direktur Utama gebleg
itu lengah. Ha-ha-ha. Aku jadi malu. Bagaimana aku bisa jadi direktur? Selama
hidupku menjadi direktur, belum pernah aku mengambil keputusan sendiri.
Setidaknya belum pernah aku dipercaya mengambil keputusan untuk pekerjaan yang
menjadi tanggung jawabku. Aku malu juga kalau ingat, betapa anak buahku
kumaki-maki, kutunjuk-tunjuk jidatnya, padahal mereka benar dan aku salah. Tapi
itulah, namanya instruksi dari dirut, ya harus dilaksanakan sesuai perintah.
Bodo amat salah atau benar! Uhu-hu-hu, sungguh memalukan sekali diriku ini. Aku
sebenarnya tak punya kemampuan yang memadai. Ijazahku saja aspal, gelarku gelar
tembakan. Oh, akulah sesungguhnya yang membuat perusahaan kita jadi kalang
kabut dan tidak populer. Hampir seluruh pekerjaan laknat dan terkutuk pernah
kulakukan: nepotisme, kolusi, korupsi, dan memfitnah rekan direktur lain yang
bekerja secara baik dan jujur. Gila! Bagaimana aku bisa melakukan semua itu
dengan muka tanpa dosa, dengan wajah polos dan seolah tulus hati?" si rambut
acak dan dasi miring terus meratap-ratap dan menyesali diri.
Musik mengalun makin sayup. Malam
makin runcing. Aku jadi sebal juga melihat adegan itu. Belum habis ribut soal
krisis moneter, banjir dan rabun mata, kini harus dihadapkan pada pemandangan
yang sangat hebat. Seorang laki-laki yang mengira dirinya sedang menjadi
kesatria sejati hanya karena telah berani mengakui seluruh perbuatan busuknya
pada seorang rekannya yang sedang mabuk dan tak mampu mencerna informasi dengan
benar.
Agak gemas juga aku menyaksikan itu.
Lalu aku ke belakang dan mengubah diriku menjadi wartawan. Kudekati laki-laki
itu. Kuajak dia ngobrol tentang semua hal yang dia ketahui, semua hal yang dia
sesali, semua hal yang dia maki-maki. Tetapi kepala laki-laki itu sudah terpuruk
di atas meja. Lampu kafe yang temaram terasa makin menggigit mata. Aku pulang
dengan langkah gontai. Dingin udara dinihari serasa menusuk tulang. Kubayangkan
diriku berjalan sendirian. Apa-apaan ini? Apa yang kucari? Mengapa aku rela
sedemikian repot untuk sesuatu yang aku sendiri tak tahu tujuannya.
Sebuah bangku di pinggir taman telah
berembun. Aku duduk sambil berupaya melepaskan lelah. Pada saat-saat seperti
ini, orang biasanya sedang tidur dengan sangat nyenyaknya. Tangan mereka terus
menggapai-gapai bantal, guling dan orang-orang yang tidur di dekatnya. Lalu
menyelinap di balik selimut dengan perasaan sangat aman karena terhindar dari
dingin yang menyekap. Anehnya, garong, perampok, maling dan semua kobaran
angkara sedang sangat bersemangat menjalankan aksinya; ya, pada jam-jam seperti
ini.
"Ugh...dingin sekali, punya
rokok, Pak?" tanya seseorang mengangetkan lamunanku. Aku tergagap
menatapnya. Seorang pria berpakaian lusuh mendekap dadanya sendiri dengan
menggigil. Seorang gelandangankah? Aku merogoh saku dan menawarkan padanya.
Gelandangan itu mengambil sebatang rokok dengan tangan menggigil sambil
berulang-ulang mengucapkan kata terimakasih. Setelah ujung rokok itu menyala,
ia menghisapnya dengan sangat nikmat.
"Pagi yang segar, ya?"
ujarnya sambil duduk di bangku.
"Begitulah..." sahutku
pendek.
"Bapak baru pertama duduk di
taman ini, ya?"
"Lho, kok, tahu?"
"Ha-ha-ha! Saya 'lurah'-nya
taman ini, ha-ha-ha!"
"Sejak kapan?"
"Sejak saya sadar saya ada di
taman ini."
"Lho, dulu Bapak di mana?"
tanya saya heran.
Laki-laki itu menghisap rokok lagi
dengan dalam. Wajahnya menengadah sejenak. Lalu ia tersenyum dengan gerak bibir
yang tak terlihat karena tertutup bayangan tiang listrik.
"Saya dulu seorang direktur
utama sebuah perusahaan..."
"Tunggu!" aku buru-buru
memotongnya. Aku mematikan rokok yang hampir habis dan mengambil yang baru. Aku
memberi isyarat agar ia melanjutkan ceritanya setelah rokok di sela-sela jariku
menyala.
"Begitulah...krisis telah
menjadi gelombang yang memporakporandakan semua tatanan. Akhirnya, saya cuma
jadi beginian."
"Tapi...bagaimana mungkin itu
menimpa Bapak?" pelan-pelan aku seperti ingat wajah yang ada di depanku
ini.
"Semuanya mungkin, Nak. Maaf,
ya, saya panggil Nak, karena usia saya jauh lebih tua dari Nak...siapa
namanya?"
"Raib."
"Nak Raib? Ah, pasti Nak Raib
bercanda?"
"Benar, Pak. Itu nama
saya."
"Banyak orang yang nasibnya
lebih sial dari saya. Bayangkan, usai rapat umum pemegang saham, direktur utama
dan tiga direktur lain, izin ke toilet, tapi sesudah itu mereka tak pernah
kembali."
"Mengapa mereka?"
"Melompat beramai-ramai dari
gedung berlantai 60."
"Oh!"
"Ada lagi yang lebih
mengerikan. Sepulang dari kantor, seorng suami mengajak istri dan anak-anaknya
pergi ke Puncak. Tapi suami malang itu menjalankan mobilnya dengan kecepatan
yang sangat tinggi. Sampai suatu ketika tiba di tikungan, mobil tak bisa
dikendalikan lagi; terguling ke jurang, lalu tamat sudah riwayat keluarga
itu."
Aku tergagap. Bah! Sudah pagi. Bus
kota, mobil, motor dan suara orang-orang terdengar nyaring dari jalan raya. Ke
mana laki-laki gelandangan tadi? Ah, bodoh, aku. Aku tidak dengan siapa-siapa.
Sendirian dan kini terbangun dari mimpi atau lamunan atau apalah namanya. Aku
buru-buru berdiri dan ambil langkah untuk pulang.
Pulang?
Ke mana? Terpaksa aku mencari tempat yang sepi lalu mengubah diri menjadi
angin. Ya, ini satu-satunya cara yang paling enak dan leluasa. Sesudah itu
melayang atau mengembara mengikuti gerak hati; siapa peduli?
0 comments:
Post a Comment