Tamu Misterius


by Darminto M Sudarmo

Syahdan tersebutlah seorang raja bernama Sinthru, yang memerintah di negeri Qiyu-Qiyu. Raja ini belakangan menjadi pusat pembicaraan orang seluruh dunia karena pernah sesumbar, tak bakal ketawa kendati “digelitik” oleh pelawak paling jagoan sekalipun. Isyu sekitar sang baginda akhirnya merajalela ke mana-mana. Pers negeri Double-Qiyu bahkan melebih-lebihkan kenyataan, sehingga dunia benar-benar dibuat gempar. Radio, TV, surat kabar, dan majalah tak henti-henti menyiarkan Sang Baginda. Seorang pengamat kebudayaan yang tidak keberatan disebutkan namanya (tetapi karena pertimbangan ruang yang tidak cukup, akhirnya tak dicantumkan) mengatakan bahwa Sang Baginda telah ketularan penyakit latah.

“Di dunia ini ada beberapa tipe orang berkarakter aneh. Ada yang ingin selalu terkenal. Ingin selalu jadi pusat perhatian orang. Orang-orang ini ternyata punya jalan ke luar yang cukup kreatif, sehingga bisa mencapai keinginannya cukup dalam waktu yang relatif singkat tanpa bikin huru-hara. Misalnya membunuh orang. Menggantung diri di menara yang tinggi, atau memperkosa nenek-nenek. Jalan ke luar lain yang ditempuh misalnya berjalan kaki terus selama lima hari lima malam tanpa tidur tanpa makan, cuma minum dan kencing atau buang hajat besar. Ada pula yang menempuh jarak jauh dengan jalan mundur, ada yang dengan jalan miring, ada pula yang sambil berguling-guling. Dan Sang Baginda adalah salah satu di antara mereka.”

Pernyataan Sang Budayawan yang netral ini sempat mengetuk hati Sang Baginda, sehingga timbul niat kreatif Sang Baginda, agar tak disangka cuma hura-hura, mengadakan lomba melawak yang bisa diikuti oleh siapa saja dan bangsa mana pun juga. Pokoknya barang siapa bisa bikin dia ketawa, bakal memperoleh hadiah yang cukup hebat.

Pengumuman pun akhirnya disebar ke seluruh dunia!

Reaksi dunia pun tak kalah hebatnya. Negara-negara besar yang juga memiliki pelawak-pelawak besar dibuat penasaran secara besar-besaran. Mereka mengirimkan dutanya secara besar-besaran pula. Satu pesawat terbang berisi tak kurang dari lima puluh pelawak mendarat dengan penasaran di lapangan udara Double –Qiyu. Negara-negara besar itu antara lain, Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Jerman, Indonesia, Uni Soviet, RRC, dan lain-lainnya. Tak terkecuali Gilig, salah seorang pelawak dari kelompok Sri Mbulat-mbulat yang belakangan ini populer bukan kepalang karena gemar membagi-bagikan uangnya kepada orang-orang yang dulu pernah dia utangin., tapi belum sempat kebayar.

Gilig yang datang sendiri, dan berangkat secara mbolos karena tak izin pada ketua kelompok, naik kuda lumping dan berkacamata riben. Orang-orang kampung yang sedang jadi penggemarnya secara membabi-buta, mengelu-elukan perjalanan pelawak yang rada nyentrik ini.

Ketika Gilig dalam perjalanan, lomba itu sesungguhnya sudah dimulai. Para pelawak yang datang dengan naik pesawat kelas supersonik atau minimal sepeda motor, sudah hadir jauh lebih awal dari yang dijadwalkan.

Lomba itu mengambil tempat di alun-alun, di mana didirikan panggung pada tempat yang strategis. Di seberang lain, Sang Baginda dapat duduk dengan santai dan aman sambil menyaksikan jalannya lomba. Sebelum lomba dimulai akan diadakan wawancara yang dilakukan sendiri oleh Sang Baginda. Juri lomba tak ada selain baginda sendiri. Keputusan baginda adalah mutlak. Semua peserta mendapat kesempatan untuk tampil penuh. Jika sebelum peserta habis, telah ada yang dapat membuat baginda tertawa, peserta yang belum tampil tetap dibolehkan muncul. Jika pemenang lebih dari satu, hadiah akan dibagikan secara adil. Jika tak ada satu pun yang menang, ya salah sendiri. Hadiah tetap menjadi milik baginda dan akan dibagikan pada pemenang di lomba-lomba tahun berikutnya. Jika itu memungkinkan.

“Kenapa Sang Baginda harus melakukan wawancara sendiri?” tanya seorang reporter ti vi kepada sang Budayawan.

“Untuk bukti bahwa baginda tidak dalam keadaan terbius atau tidak sadar.”

Matahari telah nungging di sebelah Barat. Entah apa yang hendak dilakukannya kemudian, break dance atau molor, itu urusannya. Yang jelas lampu listrik dengan kekuatan sekian ratus ribu watt menyala sudah di alun-alun yang super luks itu.

Sang Patih telah membunyikan terompet kertas. Pelan saja sebenarnya, tapi karena dilipatgandakan oleh loudspeaker yang berinci sekian puluh meter, maka semua orang cepat-cepat menutupi telinganya. Lomba telah dimulai! Tepuk tangan penonton yang jumlahnya tak bisa dihitung dengan kalkulator itu bergemuruh laksana gunung berapi runtuh,. Seorang pelawak dengan langkah gagah muncul di atas panggung.

Begitu sampai langsung memberi hormat pada Sang Baginda dengan cara yang amat aneh, menunggingkan pantatnya ke arah baginda. Baginda tidak tersinggung, tetap diam dengan tenang. Maklum, lomba kali ini diikuti oleh orang seluruh dunia. Siapa tahu tiap negara punya kebiasaan-kebiasaan mengenai cara memberi hormat khas negerinya.

“Siapa nama Anda?” tanya baginda.

“Saiman, Baginda.”

“Asal?”

“Dari Amerika.”

“Saiman dari Amerika?” ulang baginda dengan alis berkerut. Semua penonton tertawa lepas-lepas, tak urung suit-suit berhamburan. Tepuk tangan menambah semaraknya suasana.

“Benar, Baginda.”

“Ah masa?”

“Berani sumpah, dah. Lha wong saya anak seorang romusha yang berada di Suriname,” kata pelawak itu agak tersinggung.

Raja pun manggut. Cuma manggut-manggut tapi mimik tetap tenang dan malah agak angker, sementara penonton tak habis-habisnya ketawa.

“Sampean mau melawak apa?” tanya baginda lagi.

“Ya, yang biasa bikin Baginda ketawa.”

Kembali penonton gerrr, tapi raja tetap saja diam.

Pelawak yang mengaku dari Amerika tetapi memiliki logat Jawa yang amat medok itu mulai beraksi. Sambil membanyol tubuhnya tak henti-henti doyong ke kanan doyong ke kiri. Hura-hura penonton kian membahana, tetapi sikap Sang Baginda tetap kukuh. Mimiknya biasa-biasa saja. Tak bergeming barang sejengkal.

Menjumpai kenyataan yang begitu aneh, Sang Pelawak tak habis mengerti. Mau nangis rasanya. Bagaimanapun dia memang tengah dihadapkan pada perjuangan yang cukup berat. Akhirnya setelah tanda waktu habis dibunyikan, dia harus turun panggung sambil diiringi tepuk tangan penonton yang gemuruh.

“Biasanya dengan materi lawak sesegar ini, begitu turun panggung langsung dielu-elukan penonton. Tapi di sini cuma dapat pelototan Baginda.” ujarnya terengah-engah ketika seorang wartawan mewawancarai.

“Bukan Anda yang salah, tetapi Anda menghadapi seorang penonton yang khusus,” hibur manajer Saiman.

Pelawak kedua muncul tak kalah “genit”-nya. Berpakaian ala badut Ancol.

Di belakang tubuhnya (tepatnya di bagian pantat) dipasang sebuah topeng yang bermimik lucu. Mirip wajahnya. Ketika dia beraksi, terutama bila menggoyang-goyangkan tubuhnya, langsung saja penonton dibuat gempar tak tertolong., eh tak terkendali. Tak seorang pun bisa menahan geli, kecuali Sang Baginda sendiri. Dari mulutnya meluncur kata-kata yang sesungguhnya bagi orang normal sudah bisa bikin cekakak-cekikik, tetapi bagi Sang Baginda tiada punya daya sentuh apa-apa.

Setelah pelawak itu kelelahan, baginda bertanya.

“Sudah?”

“Sudah, Baginda.”

“Berhasilkah kau?”

“Tentu saja berhasil, Baginda! Terutama bila penontonnya orang-orang normal.”

“Jadi kau pikir barang siapa tidak tertawa mendengar banyolanmu tidak normal?”

“Saya tidak berkata begitu. Baginda.”

“Oh ya, kau dari mana? Tadi aku kurang jelas menangkap keteranganmu.”

“Saya dari Italia, Baginda, saya ulang lagi nama saya Hernia.”

“Apa? Namamu Hernia?”

Tawa penonton meledak lagi! Hernia berdiri dalam posisi salah tingkah.

“Slompret! Nampaknya baginda ini punya bakat melawak yang besar. Dia jauh lebih menggemparkan pengunjung daripada aku.” gerutu Hernia sambil ngeloyor turun.

Pelawak ketiga, keempat, kelima, kesepuluh, kesekian dan kesekian terus bermunculan. Namun tetap saja mereka gagal menunjukkan kebolehannya, membuat Sang Baginda tertawa. Jangankan tawa, senyum secuil pun tak juga nampak dari mulut Sang Baginda.

Peserta yang dapat giliran tinggal satu orang. Jika yang satu ini gagal lagi, maka tidak seorang pun yang mampu memboyong hadiah baginda. Padahal jumlahnya bisa bikin kaya mendadak tanpa harus beli lotere atau dapat warisan nenek moyang. Pelawak yang bertubuh tinggi semampai dan berkulit putih itu muncul ke panggung dengan ekspresi sedingin salju. Caranya berjalan mengesankan sifat yang angkuh dan tinggi hati. Bagi penonton kesan pertama yang timbul adalah bahwa pelawak yang terakhir ini lebih tepat muncul sebagai seorang mandor yang diktator, ketimbang pelawak apalagi tukang berhumor.

Tapi nanti dulu! Tanpa diduga oleh siapa pun, dia melakukan gerakan surprise yang mengejutkan semua penonton, termasuk Sang Baginda sendiri. Pelawak itu dengan gesit, duduk bersimpuh lalu melakukan sembah sebagaimana kebiasaan para kawula alit menghadap junjungannya.

“Hong wilaheng sekaring bawono langgeng!” pekik baginda tak sadar.

“Kau dari mana, wahai Anak Muda?”

“Ampun, baginda! Ampun beribu ampun. Hamba yang hina dina ini telah berlancang-lancang ucap dan tata-kerama, sehingga membuat Sang Baginda tak berkenan karenanya …..”

Belum habis pelawak itu bertutur kata, beberapa orang penonton yang tak sabar melihat sikap bertele-tele dan mengesankan kandungan pamrih yang besar itu, segera saja berteriak.

“ABS!! Ya, penjilat! Biar dapat menang kali. Kamso! Kampungan dan ndesani! Turun, turun!”

Tetapi pelawak itu tak menggubrisnya.

“Ampun, Baginda! Hamba yang hina ini datang dari negeri yang amat jauh.”

“Di mana itu?”

“Di seberang lautan dan jauh di Utara sana.”

“Iya, dari mana persisnya?”

“Dari Soviet, Baginda.”

“Namamu?”

“Kentir Salakov, Baginda.” 

Begitu suasana hening, Salakov tiba-tiba bangkit dengan gesit dia berdiri tegak bagai orang modern yang penuh percaya diri selanjutnya, dia bertolak pinggang menatap baginda. Wajahnya membeku sedingin es, dan dengan gerakan tangan yang jitu, tahu-tahu di tangannya telah tergenggam sepucuk revolver. Larasnya menunjuk tepat ke jidat Sang Baginda. Tentu saja semua penonton kaget bukan main, termasuk Sang Baginda sendiri.

“Hai, Baginda! Kau harus ketawa!” perintahnya sedikit membentak. “Kalau tidak ….. maka dor!”

Keringat dingin mengalir deras dari kening Sang Baginda. Wartawan dan petugas kamera menatap dengan tegang. Penonton menahan nafas.

“Apa-apaan ini, Anak Muda?”

“Cepat ketawa!”

Sang Baginda tetap duduk dengan pandang mata penuh tanda tanya. Sejauh itu tetap saja dia bersikukuh untuk tidak mau ketawa. Suasana tegang dirasakan oleh semua penonton.

“Mau ketawa tidak, Baginda?” tanya pelawak itu datar.

“Tidak mau? Sesuai apa yang saya katakan tadi, maka sudah saatnya saya harus membuktikan ucapan saya ….. Dor!”

Terdengar bunyi dor! Semua penonton, termasuk Sang Baginda sendiri, merasakan seolah-olah jantungnya copot mendadak. Rasa ingin tahu dari penonton, menyebabkan mereka memusatkan perhatian ke sesosok tubuh junjungannya, yakni Sang Baginda. Bagaimana nasibnya? Matikah dia? Dengan kepala berlumur darah tubuhnya menggelepar di lantai balkonkah?

Tetapi ternyata Sang Baginda tetap duduk dengan wajah pucat pasi. Bunyi dor tadi keluar dari mulutnya doang.

Dengan langkah sebagaimana tadi dia muncul, dia bergerak ke Sang Baginda, memasukkan pistolnya ke balik jaket, lalu menghaturkan sembah dan turun melenggang sambil senyum-senyum kecil pada hadirin.

Tepuk tangan penonton menggelegak! Mereka dilanda teror mental yang cukup serius. Reaksi gemuruh yang muncul di antara penonton itu bukan respon gelak tawa atau kemarahan, tetapi tak bisa disebutkan namanya. Kecewa, gemes, itu Sang Baginda masih bengong. Dirinya masih utuh, masih hidup, dan yang barusan tadi, akting lawak model Soviet. Kenapa sengeri itu? Atau, jangan-jangan pelawaknya mengidap maniak.

Baginda masih melakukan dialog dengan dirinya sendiri, ketika tiba-tiba dari arah depan muncul seorang yang memakai pakaian aneh, naik kendaraan aneh, dan bertingkah laku aneh. Orang itu tak lain ialah Gilig.

“Sorry, saya agak lambat sedikit. Baginda, ha … ha … ha!”

Baginda mengerutksan alisnya. Goncangan batin belum pulih, kini muncul makhluk aneh. Jangan-jangan mau bikin ulah lebih mengerikan.

“Masih bolehkah saya ikut lomba ini, Baginda?”

Baginda tergagap.

“O … o … bo … boleh! Masih terbuka kesempatan untukmu.”

“Lho, kenapa Baginda berkeringat dan pucat seperti ini?” tanpa minta izin siapa pun, dia langsung mengambil saputangan dan menyeka wajah Sang Baginda. Penonton diam. Hm, kurang ajar benar tingkah manusia yang satu ini, pikir mereka. Tetapi anehnya baginda menurut saja. Aneh memang, entah pakai ilmu klenik produk mana si Gilig itu.

“Sudah adakah yang bisa memenangkan lomba ini, Baginda?” tanya Gilig sambil berbisik. Sikapnya bagai seorang ayah yang membujuk-bujuk anaknya. Baginda menggeleng dengan pasrah. Goncangan batin yang barusan diterimanya cukup serius.

Ternyata Gilig tahu kelemahan Sang Baginda ini. Dengan teknik tinggi, dia mengambil seekor orong-orong, seekor lipas, dan seekor cicak kecil dari kantong celananya yang kedodoran. Pelan-pelan, makhluk-makhluk itu dia masukkan ke pinggang Sang Baginda lewat sela-sela pakaiannya. Tak seorang pun melihat.

Setelah Gilig memperhitungkan suasana dengan cermat, mulailah dia beraksi di atas panggung. Belum mengucapkan sepatah kata pun, Sang Baginda telah nampak meringis-ringis. Dan, ketika dia mulai beraksi dengan kelincahannya yang luar biasa, penonton menjadi geger bukan kepalang. Mereka tak melihat Sang Baginda yang tengah ribut sendiri dengan para “tamu misteriusnya”. Dan pada titik klimaks, tak seorang pun tak menjadi saksi bagi kesuksesannya. Sang Baginda terpingkel-pingkel sampai terbungkuk-bungkuk, bahkan karena tawanya yang super itu, meledaklah tawa dan tepuk tangan penonton! Gilig dinobatkan sebagai pemenang, dan digotong-gotong mirip Ellyas Pical yang baru nonjok Mulholland.

Seusai menerima hadiah, Gilig yang dermawan lalu membagi-bagikan sebagian hadiahnya kepada rekan-rekan pelawak lain negara dan juga masyarakat penonton yang kelihatannya sangat miskin.

Suatu perubahan besar terjadi pada diri Baginda setelah, lomba itu. Dia tidak lagi memegang pandangannya yang keliru selama ini, yaitu bahwa kewibawaan hanya bisa dipertahankan dengan wajah angker dan dingin. Ternyata tawa yang los dan rela tak mengurangi penghormatan rakyat kepada dirinya, bahkan sebagian dari mereka malah nampak lebih bergairah bekerja.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment

Contact