Ajur-ajer


by Darminto M Sudarmo


SAMBIL melintas waktu, aku hidup sebagai apa saja. Udara, zat, botol, air, kopi, uang, orang, kebo, peluru, bus, becak, atau bom sekalipun. Dimensiku tanpa tepi. Kecepatan berubahku bisa secepat mimpi dan kelambatan perubahanku bisa seajeg keabadian.

Aku masuki jalan-jalan yang lengang atau ramai. Pasar-pasar yang riuh atau tanpa pembeli. Gedung mewah atau gubug kempot. Hotel, motel, mesjid, gereja, pura, candi, rumah bordil, gedung bioskop, atau hanya kamar mungil milik Si Agus. Bayi merah yang belum kering plasentanya.
Suatu siang ketika kulihat para gelandangan sedang mencuci baju dan celana di sungai. Aku merubah diriku menjadi gumpalan uang yang sedang tertiup angin. Mereka menatap dengan terkejap. Baju dan celana satu-satunya itu langsung dipakai lagi. Bergegas mereka berlarian mengejarku. Busa sabun yang masih berlelehan di sekitar pakaian mereka, tak mereka hiraukan benar. Orang-orang yang melihat arak-arakkan para gelandangan itu jadi tergelitik ingin tahu, apa yang telah terjadi. Seribu gelandangan berjalan bergegas dan ramai-ramai memenuhi jalan hingga macet. Setelah mereka tahu apa yang terjadi, yang bukan gelandangan, bahkan orang yang sangat kaya, juga ikut-ikutan mengejarku.
Saat mereka mempercepat larinya, aku juga mempercepat lariku. Sampai pada batas pantai, aku berhenti sebentar, berputar-putar, yang kemudian juga diikuti oleh mereka, lalu aku balik lagi, tanpa terpegang oleh mereka ke arah semula. Mereka pun berlari-lari mengejarku lagi. Dan menjelang jembatan paling besar yang di bawahnya dijadikan tempat para gelandangan itu, aku melenyapkan diri. Mereka semua mengeluh. Termasuk orang paling kaya di kota itu. Tapi aku bernafas lega. Beberapa orang yang menderita sakit nafas, kini telah merasa sembuh. Beberapa orang yang selalu sakit-sakitan dan sering masuk angin, kini juga telah merasa sembuh.
“Aku telah berhasil mengajak kalian berolah raga jalan santai dan jalan cepat dengan penuh minat,” ujarku dengan senyum yang kulihat sendiri.
Malam harinya, mataku tiba-tiba tertumbuk pada sebentuk bangunan yang amat mewah. Di depan rumah terdapat halaman yang dihias taman begitu moleknya. Segala perabot yang ada di rumah itu bisa membuat orang-orang miskin takut menatap, apalagi memegang. Segalanya penuh wibawa hawa materialis. Ketika aku bergerak ke dalam terlonjaklah aku dengan girangnya. Di dalam ruangan khusus itu kulihat si pemilik, seorang laki-laki gendut dengan kepala sedikit botak. Begitu kubaca pikirannya, segera tahulah aku bagaimana reputasinya.
Laki-laki yang kelihatan begitu bahagia itu tengah sibuk bercanda dengan anak-anak dan istrinya. Tak lama kemudian sang anak minta distelkan video. Aku terlonjak makin girang.
“Film apa, sayang?” tanya lelaki itu.
“Killing Fields, Papa.”
“Wah! Kau masih terlalu kecil untuk mengenal penderitaan, sayang?”
“Once Upon A Time In America!”
“Itu bagus, sayang... tetapi terlalu berat untukmu, Nak.”
“Lalu apa, dong?”
“Cobalah kau sebutkan lagi.”
“Ateng Minta Kawin, ya Papa?”
“Wah, tak ada persediaan, sayang.”
“Ranjang Bergoyang, ya Papa?”
“Huss! Itu saru. Tak bagus untuk anak-anak.”
“Lalu apa, dong Pa? Ririn bingung jadinya.”
“Coba kau tebak, ini Papa habis beli film baru, apa judulnya?”
“Nggak tahulah!” ujar si anak menyerah.
“Tepat sekali!”
“Apa, Pa? Tepat sekali?”
“Ya, itulah judul film video ini.”
Sang anak girang bukan kepalang. Lalu diikuti adik-adiknya, mereka bertepuk tangan. Lalu sang ayah memasukkan kaset video itu ke tempatnya. Layar TV tersibak biru, laki-laki itu segera meraih lengan istrinya, tapi pikirannya melayang ke sekretaris baru yang molek, dan sebentar lagi bakal jadi piaraannya. Yang kesekian. Mereka tersenyum gembira. Sambil menunggu munculnya gambar, anak-anak ribut mencari coklatnya masing-masing.
Tak ada sepersekian detik, aku pun masuk dengan jitu ke pita kaset itu. Lalu dengan kecepatan supersonik aku memprogram riwayat hidup lelaki itu. Begitu gambar pertama muncul, wajah lelaki itulah yang tampak. Tentu saja ruangan itu jadi gempar mendadak.
“Horeeeee! Papa!”
“Ya, Papa jadi bintang film.”
Suami istri itu, terlebih-lebih lelaki itu, kaget bukan kepalang. Tetapi layar TV itu terus menampilkan ‘lakon’ yang aneh. Terutama pekerjaan yang sebenarnya dari lelaki itu. Yang pinter main sulap, servis bisa jadi uang. Tanda tangan bisa jadi uang. Anggukkan kepala bisa jadi uang. Gelengan kepala bisa jadi uang. Senyuman bisa jadi uang. Kemarahan bisa jadi uang.
“Papa hebat! Pandai main sulap!” teriak anak-anak dengan riuhnya. Mereka memang tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Dan ketika layar itu terus menampilkan gambar, Ririn mengeluh.
“Tapi... Siapa tante itu, Papa? Dia sudah besar kok minta gendong. Tak boleh, dong!” yang lain-lain akhirnya juga ikut memprotes. Istri lelaki itu telah pingsan dua menit yang lalu.
Dengan kemarahan segunung, lelaki itu meraih tombol. Ceklek!
“Mestinya tidak begini! Anak-anak bubar. Ada kesalahan teknis!”
Tetapi layar itu tetap hidup. Dan anak-anak segan meninggalkan tempat itu. Bergegas laki-laki itu berlari mematikan listrik. Semua lampu padam, tetapi video itu tetap hidup. Bahkan di luar dugaannya, anak-anak berteriak dengan gembiranya.
“Ayiiiiik! Itu Ririn, Heny, dan Nancy. Ya, itu kita lagi jalan-jalan. Kita naik mobil, ya kita berebut coklat. Kita menyanyi. Kita bergembira!”
Karena berbagai upaya tak berhasil, akhirnya lelaki itu dengan berang mengambil martil dan menewaskan si TV yang bandel. Aku cuma tersenyum, dengan mudah aku menyelamatkan benda itu. Karena tak juga berhasil, akhirnya laki-laki itu benar-benar tak berdaya dan masa bodoh. Dia terduduk di sofa dengan loyo dan bengong.
Anak-anak menikmati acara sampai larut malam. Sampai mereka tertidur di permadani.
Pagi harinya, laki-laki itu berangkat ke kantor sangat awal. Menyiapkan segala berkas. Dan ketika beberapa personal stafnya berkumpul. Dia mengadakan rapat kilat. Pembenahan di semua bagian. Semua yang terlanjur bengkok harus segera diluruskan, perintahnya. Ketika dia melihat beberapa anak buah resah dan gelisah, dengan suara mantap dan serius dia berteriak.
“Ini perintah! Tidak boleh ada pertanyaan. Aku siap menutup segala kekurangan. Ingat, semua tanggung jawabku, mengerti?!”
“Baik, Pak!!!”
Rapat pun bubar.
Beberapa hari kemudian, melayanglah lima mobil milik lelaki itu, menjadi gumpalan uang yang kemudian menghuni kas sebagaimana semula. Sekian puluh hektar tanah di daerah pegunungan juga menggumpal menjadi uang dan menghuni tempatnya semula. Rumah mewah itu, segala perabot dan bahkan benda-benda berharga yang selama ini menjadi gelang, leontin dan kalung para piaraannya, kembali dengan fantastis ke tempatnya semula.
Alam pun menjadi damai dan tenteram.
Aku menghirup nafas lega. Burung gagak terbang menjauh, tanpa berani bersuara.
Di sudut-sudut kota, aku rajin mengunjungi tukang-tukang becak, pedagang kaki lima, makelar dan penjual jamu si tukang ngibul. Pagi itu mereka riuh membicarakan tentang hak azasi. Sungguh serius, pikirku.
“Penggusuran di Simpruk itu sungguh keterlaluan,” ujar seseorang. Lalu yang lain menimpal dan memberi bumbu. Yang lain juga, yang lain juga, yang lain juga.
“Mestinya ada jalan ke luar yang lebih manusiawi,” ujar seseorang. Seseorang melintas membawa pikulan dan barang dagangannya.
“Bakso...! Bakso...! Ting ting ting!”
Tukang becak, turun lalu berkacak pinggang, lalu meliuk-liukkan pinggangnya. “Kratak... krrratak... krrrrtttk!”
“Tapi apa daya? Kita rakyat kecil bisa apa? Kemarin Paijo ditendangi petugas karena membawa becaknya melintasi jalur terlarang. Siapa yang bakal membela?”
“Paijo memang bandel. Sok benar dia. Kadang menyepelekan sekali dengan aturan, maka wajar saja kalau terima buahnya. Itulah hasilnya orang yang sok.”
“Tapi kalau mbakyu bakul-bakul itu ditumpahkan dagangannya, siapa yang tega melihatnya? Tak tersentuhkah rasa kemanusiaan kita?”
“Sudah kukatakan kita bisa apa? Kalau kita berpikir menurut kepentingan kita, maka terasa sekali orang lain yang salah. Tetapi kalau orang lain berpikir menurut kepentingannya, juga nampak sekali kalau kita yang salah. Nah, kita harus adil melihat keadaan,” ujar orang itu lalu lenyap ditelan lautan manusia. Tukang becak, sopir, kenek, pedagang kaki lima, penjual koran, pedagang barang loak, penjahit rombengan, penjual rokok, dan kerumunan manusia yang ada di sudut itu memandang laki-laki yang lenyap itu dengan tatapan mata garang.
“Siapa dia? Bicaranya seperti utusan Dewa dari langit. Kalian kenal?” ujar seseorang.
Semua menggelengkan kepala. Orang itu lalu berkata dengan lantang.
“Kalian tahu, sejak gerak kita dipersempit, penghasilan jadi merosot total. Tetapi sempitnya kita justru menjadi leluasanya kemunculan seperti supermarket dan sebagainya. Mereka menjajah di mana-mana, semua uang orang-orang yang hidupnya pas-pasan disadap total. Ludes! Sebab apa? Di tempat seperti itu, orang-orang miskin justru seringkali bertingkah-laku sok kaya. Akibatnya? Mereka keluarkan segala simpanan dan persediaan. Dan...”
“Stop! Bicara jangan menyorot sepihak! Kamu bisa gila sendiri nanti.”
“Heiiii! Berani benar kau menghentikan bicaraku. Kau pikir, kau ini siapa?”
 Aku? Ha ha ha! Jadi kau belum kenal aku?”
“Tak ada tampang pantas untuk diperhatikan.”
“Lhadhalah! Kalau begitu, kau tak usah tanya.” Orang itupun kemudian menyelinap dan lenyap ditelan lautan manusia lain.
Wajah orang-orang yang ada di situ jadi tegang. Para penjual melihat calon pembelinya bagai seorang raksasa yang hendak menelan mangsa. Para tukang becak juga bersikap begitu kepada calon penumpangnya. Para sopir, para kenek, dan semuanya saja yang teringat akan nasib dan kemalangannya.
Melihat itu semua aku jadi gemas. Aku lalu mencari orong-orong. Kubawa sekantong plastik penuh. Satu persatu kumasukkan ke sela-sela baju mereka. Semua orang merasa tergelitik dan kegelian. Tanpa sadar mereka jadi banyak senyum. Para penjual yang semula laris, kini tambah laris. Para tukang becak yang semua sial kini kerepotan melayani penumpang. Para sopir juga, para kenek juga, para penjual yang lain juga.
Kadang hidup begini sederhana, tetapi anehnya orang sering membuatnya ruwet sendiri. Telaga yang bening diaduk-aduk. Kaca yang jernih diusek-usek.
Lhadhalah! Lha wong manusia, sih...***                                 

Keterangan:
Ajur-Ajer: Salah satu ajian di kisah pewayangan yang mempunyai kemampuan dapat mengubah diri menjadi sesuatu.

Mohon Perhatian!
Dengan penuh kerendahan hati kami mohon pengertiannya agar tidak meng-copy-paste cerita yang termuat di blog ini kecuali seizin dari penerbit - kombatbuku@gmail.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment

Contact