Iklan Duka Lara


by Darminto M Sudarmo

Di senja yang ramah itu saya menikmati kue dan teh manis di kebun samping rumah. Cuaca memang terasa nyaman, meski sebentar lagi malam siap membungkus dengan kegelapan. Saya duduk pada bangku malas yang telah saya rancang sedemikian santainya, sehingga membuat siapa saja yang duduk dapat lupa berdiri. Beberapa rimbunan bunga-bunga di kebun itu gemersik kala angin senja mengkili-kili dan menggoyang-goyangkan dedaunannya.

Di tangan kiri saya tergenggam pipa dari gading gajah Sumatera. Sedang tangan yang sebelah lagi tergenggam koran sore.  Sungguh mati, saya saat itu merasakan detik-detik kenikmatan yang halus dan jarang saya rasakan. Bahkan belum pernah saya temui sebelumnya. Ini memang sebuah surprise, minimal untuk saya pribadi. Sebab belakangan ini tugas-tugas kantor yang menumpuk telah menyiksa saraf dan otak saya. Tugas rutin yang membosankan! Mungkin sekali tanpa usaha mencipta suasana demikian, lama-kelamaan bisa-bisa saya jadi robot berdaging atau mesin ber-BBM darah. Tapi preklah! Dengan semua tugas-tugas yang tak menarik itu. Yang penting sore itu saya sungguh sangat interest. Lahir batin. Seakan ada harapan baru yang menyusup memberi pijatan-pijatan semangat pada pori-pori kelesuan yang saya derita sekian lama.

Menjelang sinar matahari mengabur, saya telah siap-siap beranjak untuk masuk rumah. Tapi ketika sepasang mata saya yang masih awas dan tanpa kacamata minus itu menatap sebuah iklan berduka cita, jantung saya seakan berhenti berdetak untuk beberapa detik. Saya masih belum percaya betul pada bunyi iklan itu. Saya kembali mengeja dengan pelan-pelan dan seratus prosen mata melotot.

Berita Duka
Telah meninggal dunia dengan meronta-ronta pada hari Jumat Kliwon tanggal 31 Des
Ember, suami/ayah/kakak/adik/saudara kami yang tercinta.
Bapak  Cakra  Manggilingan, dalam usia 60 tahun.

Saya mendelik lagi. Membaca ulang lagi. Mendelik lagi, membaca ulang lagi. Tapi yang terbaca tetap saja nama yang tercantum itu, Cakra Manggilingan! Kurang ajar! Sungguh kurang ajar! Sebab itu nama saya. Seratus prosen nama saya. Kenapa saya seyakin ini? Tentu saja, karena alamat rumah duka yang disebutkan juga persis dengan alamat rumah yang saya tempati. Ya, sore itu saya masih beralamat di tempat yang disebutkan oleh iklan berduka cita.

Entah kapan mulainya, tiba-tiba saya merasa ingin murka. Rasa enjoy yang termiliki tadi telah menguap entah ke mana. Sungguh sangat kusesalkan iklan yang merusak kebahagiaanku itu.

Saya melesat masuk ke dalam rumah menjumpai istri saya. Meja kecil di kebun jungkir balik, gelas tumpah dan kaleng roti pun nungging kena senggol.

Saya ketuk meja ruang makan dengan pipa gading yang saya sayangi,. Ting! Ting! Ting! Dan tiba-tiba ”pyaaarrrr!” Sebuah piring telah terbelah menjadi dua. Istri saya ternganga. Tapi kemudian dengan suara lembut dia berkata.

“Sabar Pak … sabar … Ada apa sih sebenarnya?”

“Kurang ajar Bu! Sungguh kurang ajar benar!”

“Iya apanya dong!”

Saya melotot lagi.

“Jangan meledek  Bu! Aku tahu itu bunyi lagu yang sangat tak kusenangi.”

“Lho ….. lho kenapa sampai ke lagu-lagu segala. Saya kan tanya, apanya dong yang membuat Bapak sesewot itu?”

“Oh! Begini Bu, supaya saya tak nervous menerangkannya kau baca saja koran sore ini. Nih, di kolom berita duka. Iklan keluarga sialaan ini!”

Istri saya membaca dengan penuh perhatian. Berkali-kali saya menyaksikan perubahan mimiknya yang menyusut mengembang. Sekali baca tak percaya, dia ulang lagi. Begitu terus-menerus. Akhirnya dia menyudahi dengan kening berkerut.

“Wah! Bahaya Pak, kalau kita tak gesit, rumah ini besok banyak ketamuan orang melayat. Dan itu merepotkan, sebab jika kesalahpahaman ini tak segera dicairkan, saya khawatir orang bisa berprasangka yang bukan-bukan. Apalagi setelah mereka tahu Bapak dalam keadaan segar bugar.Slompret benar! Saya punya usul Pak, Bapak segera saja telpon ke kantor redaksi bagian iklan. Tanyakan siapa yang pasang iklan itu lalu kalau sudah diketahui kasih permak mukanya. Sembarangan main fitnah!” istri saya berkata sambil terengah-engah. Sebiji dua biji keringatnya mulai berjatuhan. Ugh! Dia pun ikut-ikutan marah.

Usulnya segera saya lakukan. Tapi jawaban petugas malam sungguh di luar dugaan saya. Karena info yang dia berikan orang yang memasang iklan menggunakan nama, Wisanggeni. Nama itu nama anak saya yang sulung. Dan bagaimana saya tidak kheki, Wisanggeni saat ini tengah berada di Iowa Amerika Serikat, memperdalam tentang kesenian. Belajar atas biaya sendiri. Lalu saya balas keterangan petugas itu dengan tawa cekakakan. Dan saya katakan saja padanya bahwa dia bukan sedang bertugas, melainkan sedang mimpi.

“Sudahlah  Bu! Menghabiskan energi saja berurusan dengan mereka. Jelas kita sedang dipermainkan oleh orang lain. Tugas kita yang paling penting kurasa, cepat-cepat bikin ralat di koran yang sama, atau di koran edisi pagi supaya orang-orang dan kerabat dekat segera tahu dan mengurungkan niatnya. Bagaimana?”

“Itu pun juga membuang-buang uang saja Pak. Coba Bapak pikir, di situ djelaskan bahwa pemakaman dilakukan pukul satu siang. Kalau koran sore yang memuat ralatnya lalu apa fungsinya karena orang-orang yang melayat sudah terlanjur datang ke rumah. Seandainya toh dimuat pagi hari,berapa orang yang sempat baca koran pagi hari dengan seksama. Mereka rata-rata sudah disibukkan oleh urusan keluarga yang berjubel. Ngantar anak ke sekolah. Ngantar istri ke tempat kerja. Ngantar babu ke pasar. Apalagi berita itu cuma nongkrong di rubrik iklan.Siapa menaruh perhatian sungguh-sungguh pada berita duka di pagi hari, sementara semua orang butuh suasana yang menyenangkan dan untuk tambahan vitalitas kerja.”

Tiba-tiba saya jadi loyo dan tak tahu apa yang harus saya lakukan. Istri saya memang benar. Usaha meralat itu rasanya tak seberapa punya arti. Saat itu kami cuma bisa saling memandang apa yang bisa kami lakukan. Istri saya diam, saya pun diam. Kami lebih banyak berdiam-diam. Mendadak telpon di samping saya berdering

“Hallo ….. selamat malam!” ujar dari seberang.

“Selamat malam …..”

“Oh ya kami dari keluarga Subroto menyampaikan ucapan selamat berduka cita atas meninggalnya Bapak Cakra Manggilingan. Semoga keluarga yang ditinggal mendapat perlindungan Tuhan Yang Maha Pengasih. Oh ya, benarkah ini rumah keluarga almarhum?”

“Benar.”

“Kalau saya boleh tahu, saya bicara dengan siapa?”

“Dengan saya. Maksud saya, Cakra Manggilingan sendiri.”

“Siapaaaaa?”

“Cakra Manggilingan.”

“Hiiiiiiiii!!!! …… Praak!”

“Eiiit tungguuuuu!”

Wah, sialan saya telah dianggapnya hantu. Istri saya mendekat.

“Ada apa sih Pak?”

“Ucapan bela sungkawa dari keluarga Subroto.”

Istri saya geleng-geleng kepala. Belum habis dia menggeleng datang lagi ucapan bela sungkawa dari kerabat  dan relasi yang lain.Dan ketika saya berada pada puncak terengah-engahnya, telpon toh masih juga berdering.

“Selamat malam …..”

“Selamat malam.”

“Kami dari keluarga Pragota menyampaikan ucapan selamat berduka cita. Eh, maksud kami turut berduka cita atas wafatnya Bapak Cakra. Boleh kan?”

“Oh, boleh saja.” Saya jawab sekenanya.

“Kalau begitu saya bicara dengan siapa?”

“Dengan hantu.”

“Dengan siapaaaaaa?”

“Dengan hantu.”

“Ha … ha … ha… ha … ha … Anda sungguh hebat dalam suasana berkabung masih juga sempat membadut.”

“Sungguh mati, saya tidak membadut. Saya bersungguh-sungguh. Apa Anda tak ingat suara saya? Suara Cakra Manggilingan sendiri?”

“Jadi?”

“Sayalah Cakra Manggilingan sendiri.”

“Hah!” lalu telepon dia banting. Masih tertangkap oleh telinga saya, bagaimana dia lari pontang-panting.

Karena kesal saya banting pula tubuh saya sendiri di kursi malas. Istri saya mendekat seraya mengurut kening dan tengkuk saya yang mendadak mulai kumat cekot-cekot.

“Therapy Pak ….. jangan biarkan ketegangan menguasai emosi.” Lalu dia pijit lagi, pijit lagi. Dan tiba-tiba pula saya merasa perut telah minta diisi. Istri saya segera mengajak bersantap malam. Tapi, ketika sesuap saja saya hendak memasukkan butir-butir nasi ke mulut, telpon berdering lagi. Saya kesal bukan kepalang. Lalu istri saya mengambil inisiatif untuk sementara malam ini, setiap bel telpon berbunyi kita biarkan saja. Begitu katanya. Saya sih setuju saja. Biar soal bising atau tidak bising itu urusan belakang. Semuanya harus kita hadapi dengan biarin, biarin, biarin dan seterusnya.

Malam hari sebelum kami memejamkan mata, istri saya sempat membisikkan sesuatu. Saya terbelalak! Ah, sebuah ide yang unik. Saya manggut-manggut saja. Lalu kami tenggelam dalam keletihan. Tidur pulas. Tanpa mimpi, tanpa ngelindur, tanpa terjaga. Sebelum Subuh tiba, saya telah melakukan dengan baik usul istri saya. Bangun, mengambil tape recorder dan cassette. Lalu saya berpidato dengan bahasa yang amat manis plus penuh permohonan pengertian dari semua saudara maupun tetangga yang esok pagi hendak melayat. Saya katakan demikian dalam rekaman :

“Bapak-bapak ibu sekalian yang terhormat, terimakasih atas kesediaan bapak maupun ibu untuk hadir memberi penghormatan terakhir kepada Bapak Cakra Manggilingan yang kemarin telah diberitakan meninggal dunia lewat iklan koran sore. Tetapi sebelum upacara pemakaman berlangsung, ada baiknya kami beritahukan bahwa sesungguhnya berita iklan kematian itu tidak benar. Berita itu cuma fitnah dan hasil pekerjaan orang usil. Maka sebagai gantinya untuk menebus kekecewaan Anda sekalian, kami justru ingin menghapuskan keikutsertaan Anda dalam berduka cita, menjadi bersuka cita. Caranya? Gampang sekali, kami ajak Anda sekalian bergembira sambil menikmati musik dan sekedar hidangan prasmanan. Anggap saja, dan memang kami menganggap, hal ini justru suatu karunia bagi keluarga kami. Nah, sekali lagi, Cakra Manggilingan tetap masih hidup dan sehat wal afiat. Dan juga masih bisa berteriak-teriak seperti ini. Bapak ibu sekalian, marilah kita bersuka cita!”

Benar juga, strategi yang diusulkan istri saya memang luar biasa tepatnya. Kenyataan, semua orang sesungguhnya lebih senang bersuka cita daripada berduka cita. Itulah, tapi barangkali masih ada hal yang membuat Anda penasaran, ya toh? Yakni siapakah sesungguhnya yang telah berbuat usil pasang iklan di koran sore itu? Dapatkah Anda menebak?*****


Mohon Perhatian!
Dengan penuh kerendahan hati kami mohon pengertiannya agar tidak meng-copy-paste cerita yang termuat di blog ini kecuali seizin dari penerbit - kombatbuku@gmail.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment

Contact